<$BlogRSDUrl$>

Friday, March 26, 2004


Friday, March 19, 2004

Selamat Tinggal Kucingku….
Faiq Aminuddin

Kucing… Ah aku suka sekali binatang itu. Binatang kecil berkaki empat, berbulu dan berekor. Dulu aku punya kucing, dua. Kucingku itu lucu. Lucu sekali. Dia adalah temanku. Aku bermain dan tidur bersamanya. Yang berekor panjang kuberi nama Korjang, Si Ekor Panjang. Yang satu lagi kuberi nama Kruwel karena ekornya pendek sekali dan melingkar di belakang tubuhnya. Korjang dan Kruwel itu kupelihara sejak kecil. Akulah ibunya. Akulah yang merawatnya sejak kecil. Aku menemukan dua kucing itu waktu masih kecil. Waktu masih sangat kecil.
Waktu itu, pagi-pagi sekali aku dibangunkan bapak. Bapak mengajakku jalan-jalan. Aku berjalan mengikuti bapak. Aku ikut berlari-lari kecil di belakang bapak. Aku melihat langit timur yang kemerahan. Aku melihat matahari yang sedang muncul dari balik gunung.
Ketika pulang, aku mendengar suara tangis. Ya seperti ada bayi yang menangis. Mungkin bayi itu ingin menetek tapi ibunya tidak ada. Tapi… ini bukan suara bayi. Aku mencari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari bunga-bunga di depan rumahku. Ah tidak mungkin bunga-bunga bisa menangis seperti bayi. Ya, tanaman memang mungkin bisa menangis… tapi kalau dia menangis pasti tidak mengeluarkan suara. Tanaman kan tidak punya mulut. Suara ini pasti bukan suara bunga yang sedang menangis…. Eh tapi kok ada titik-titik air….di daunnya ? Apakah itu air mata ?
”Hai bunga, apakah kamu menangis ?” Aku tidak mendengar jawabannya. Kudekatkan telingaku ke bunga itu tapi sama saja. Aku tetap tidak mendengar apa-apa. Bunga itu diam saja. Aku tidak tahu mengapa bunga tidak mau menjawab. Titik-titik air itu berjatuhan ke tanah.
Suara tangis itu masih terdengar. Kupandangi bunga itu. Aku bertanya lagi. Kulihat daun bunga bergoyang-goyang sekarang aku tahu. Dia sudah menjawab dengan gelengan. Ya bunga ini tidak sedang menangis. Tapi… suara itu jelas berasal dari sini. Ah mungkin ada yang menangis dan bersembunyi di belakang bunga ini.
Kusibak bunga itu. Benar sekali tebakanku. Ada yang sedang berjongkok di belakang bunga ini. Ya, ada dua ekor kucing kecil. Dua kucing kecil itu menangis.
”Di mana bapakmu ?” Dia tidak menjawab tapi menangis terus.
”Mana ibumu ?” Dia tidak menjawab. Tetap saja menangis.
”Mengapa kamu menangis?” Mereka tidak menjawab. Mereka terus menangis.
”Apakah kamu tidak punya orang tua ?” Ah … dua kucing itu menangis semakin keras. Ya, mungkin kucing ini yatim piatu. Ah… Kasihan sekali. Mungkin bapak dan ibunya sudah mati tertabrak motor di jalan. Ya kemarin ayam ibu juga tertabrak motor. Jalan di depan rumahku semakin ramai. Sekarang sudah diaspal. Ya jalan di depan rumahku ini semaikin ramai. Sering sekali motor lewat. Kadang ada juga mobil. Ngeng !!! Cepat sekali. Kadang ada yang ngebut seperti pembalap.
Aku juga pasti akan bersedih bila bapak dan ibuku mati tertabrak motor di jalan. Ah… kasihan sekali dua kucing ini. Mereka kedinginan. Mungkin tadi malam juga dia tidur di sini. Ah pasti sangat dingin. Tidur di luar rumah, tidak pakai selimut, tidak ada kasur, bantal dan guling… aduh.. kasihan sekali…
Aduh… kucing malang ini hampir tidak bisa membuka matanya. Ya, matanya tertutup blolok kuning. Bloloknya besar sekali.
”Mengapa matamu seperti ini?” Kucing itu diam saja.
”Matamu sakit ya ?!” Kucing itu menangis. Dia pasti lapar. Ibu yang menyusuinya tidak ada. Dia pasti haus. Bapak yang mencarikannya makan juga tidak ada. Dia pasti belum makan. Aduh… kasihan sekali.
Kuambil kedua kucing itu. Aku segera berlari ke dalam rumah. Aku cari obat tetes mata. Aku pernah lihat obat tetes mata. Biasanya ditaruh di lemaari. Kedua kucing itu kuobati matanya. Kemudian aku segera berlari ke dapur. Aku ambil mangkuk kecil. Mangkuk itu kuisi air.
”Maaf ya aku tidak punya susu. Ayo minumlah air putih ini. Nanti kuberi makan. Ayo minumlah dulu. Ibu sedang menggoreng ikan. Nanti aku beri ikan. Kamu suka ikan kan?!”
Kucing itu minum tapi hanya sedikit. Lalu menagis lagi. Meong….meong… Kubersihkan blolok yang menutup matanya dengan air. Lalu kutetesi matanya dengat obat tetes mata. Kucing itu meronta. Dia menangis lebih keras.
”Aduh… maaf ya. Memang agak perih… tapi…. Nanti matamu akan cepat sembuh.”
Oh sambil menunggu sarapan, aku membuat tempat tidur untuk kucing itu. Aku ambil kardus. Kukumpulkan kain-kain perca yang berserakan di bawah mesin jahit…… itulah kasur untuk kucingku.
Sarapan sudah siap. Aku tidak lupa memberi makan kucingku. Ya mulai saat itu aku seperti seorang ibu. Ya, seorang ibu yang punya dua orang anak. Korjang dan Kruwel. Awalnya kucing itu memang lemas. Ya seperti bayi. Tidur terus. Tapi dua hari kemudian kucing itu sudah sehat. Korjang dan Kruwel sudah berlari-lari di rumahku. Aku selalu bermain bersamanya. Kruwel suka mencakar-cakar ekor Korjang yang selalu bergerak-gerak. Mereka juga bisa main sepak bola. Aku lemparkan kelereng. Kelereng itu menggelinding di lantai. Korjang dan Kruwel mengejarnya. Mereka rebutan bola kecil itu. Pernah aku beri kalung dari tali rafia. Kojang kuberi kalung warna merah. Kruwel kuberi kalung warna hijau. Tapi akhirnya kalung itu aku lepas. Aku takut kalung itu mencekik lehernya. Aku tidak mau kucingku mati.
Aku tidak lagi seperti ibu yang punya dua anak. Tapi aku seperti tiga bersaudara. Ya aku seperti kakak yang punya dua adik. Ya Korjang dan Kruwel seperti adikku. Kami selalu bermain bersama. Kami pernah tidur bersama. Sayang sekali ibu melarangku tidur bersama dua adikku itu. Kata Ibu tidur bersama kucing itu tidak sehat. Bisa sakit batuk….
Setiap aku pulang sekolah, Korjang dan Kruwel selalu menyambutku di depan pintu. Tapi…. Suatu siang, ketika aku pulang sekolah, Korjang dan Kruwel tidak menyambutku di depan pintu. Kupanggil-panggil tapi tetap tidak ada. Ku cari di tempat tidurnya, juga tidak ada. Kucari di kamarku juga tidak ada. Kucari di dapur, di halaman rumah, dimana-mana…tetap tidak ketemu. Aku bertanya pada ibu tapi ibu malah memarahiku. Ibu bilang kucingku kurang ajar. Kucing itu mengotori rumah ini. Kucing itu berak di dalam rumah. Kotorannya bau. Ibu bilang kucing itu harus diusir dari rumah ini.
”Jangan !!! Kucingku jangan dibuang, Bu. Biar nanti aku yang membersihakan kotorannya…” Ibu malah membentakku. Ibu bilang aku tidak boleh membantah. Aku harus menuruti nasehat orang tua. Kucing itu harus dibuang karena berka sembarangan. Kucing itu harus diusir karena bisanya kucing suka mencuri ikan.
”Tapi…” aku mau bilang bahwa kucingku tidak pernah mencuri ikan. Korjang dan Kruwel adalah kucing yang baik…. Tapi ibu membentak lagi. Ibu bilang tidak ada tapi-tapian. Pokoknya kucing itu tidak boleh ada di rumah ini.
Aku menangis…
Sore itu Ibu mengejar-kejar kucingku. Kruwel dan Korjang tertangkap lalu masukkan ke dalam karung. Kudengar mereka menangis. Aku juga menangis. Aku minta pada ibu agar aku saja yang membuangnya. Ya sore itu aku terpaksa membawa karung berisi Korjang dan Kruwel yang terus menangis. Mereka terus mencakar-cakar karung, berjalan mondar mandir, berusaha mencari jalan keluar. Mereka menangis. Aku juga menangis. Kubawa karung itu.
Kami naik sepeda. Aku memboceng di belakang sambil memegangi karung itu. Ibu mengayuh sepeda menuju pinggir desa. Desa kami berbatasan dengan sawah. Di sawah yang luas itulah aku mengeluarkan Korjang dan Kruwel. Setelah itu Ibu segera menarik tubuhku. Aku disuruh cepat naik ke bocengan sepeda. Ibu segar mengayuh sepeda dengan cepat. Kutengaok ke belakang. Korjang dan Kruwel berlari mengejrku sambil berteriak…Meong…. Meong… Meong… Ya mereka menangis. Aku juga menangis. Kulambaikan tanganku. Selamat tinggal Korjang. Selamat tinggal Kruwel. Maafkan aku. Ah… semoga besok pagi ada bocah yang jalan-jalan bersama bapaknya. Mereka mendengar tangismu, lalu membawamu pulang dan memeliharamu dengan sayang. Selamat tinggal…….

This page is powered by Blogger. Isn't yours?