<$BlogRSDUrl$>

Saturday, December 27, 2003

Aku Punya Dua Ibu
Sebuah Cerita Anak oleh Faiq

Aku berpisah dengan ibu ketika aku kelas lima. Mulai saat itu aku tinggal di rumah bibi. Rumah bibi jauh sekali. Beda desa, beda kecamatan, dan beda kabupaten, beda propinsi. Rumah ibu di desa Tedunan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, propinsi Jawa Tengah. Sedangkan rumah bibi di Jogja. Bibi sudah lama menikah tapi belum punya anak. Ibu memintaku menemani mereka.
Awalnya aku keberatan. Aku tidak mau berpisah dengan ibu, bapak, kakak, adik, teman-teman sekolah, teman-teman ngaji, dan teman-teman yang lain.
Waktu berangkat ke Jogja aku senang sekali. Ibu dan bapak tidak bisa mengantarku. Aku berangkat bersama bibi dan paman. Dari terminal Semarang kami naik bis besar jurusan Jogja. Inilah pertama kalinya aku naik bis sebesar ini. Inilah pertama kalinya aku bepergian jauh. Paman dan bibi baik sekali. Ya terlalu baik. Setiap ada pedagang yang menawarkan dagangannya di bis, bibi selalu bertanya kepadaku apakah aku mau ? Walaupun aku menggeleng bibi tetap membelinya. Aku dibelikan, permen, kacang, tahu, minuman, gantungan kunci, pena, dan mainan. Ternyata bis juga seperti pasar. Banyak pedagang yang menawarkan dagangan kepada para penumpang. Dagangannya juga bermacam-macam. Ada juga pengamen dan pengemis. Aku benar-benar menikmati perjalan ini.
Aku mulai sedih ketika sudah dua hari di rumah bibi. Aku merasa rumah bibi sepi. Sepi sekali. Di sini aku tidak punya teman bermain. Akhirnya pada suatu malam aku menangis. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Ketika bangun tidur aku minta diantar pulang ke rumah ibu. Bibi menggeleng-gelengkan kepala. Bibi membujukku agar tetap mau menemaninya. Bibi sangat sedih bila aku pulang ke rumah ibu. Ya agar rumah ini tidak sepi sekali. Tapi aku di sini tidak punya teman bermain, Bi. Bibi bilang sebentar lagi aku akan mempunyai banyak teman baru yang sangat menyenangkan.
Hari itu aku diantarkan ke sekolah baruku. Ya aku jadi murid baru di sekolah itu. Aku masuk kelas lima. Aku tidak punya teman. Murid itu satu kelas itu tidak ada yang aku kenal. Mereka juga tidak ada yang mengenalku. Aku bingung. Teman sebangku diam saja. Aku hanya melihatnya. Dia hanya melihatku. Aku mau mengajak kenalan tapi tidak berani. Murid-murid yang lain juga hanya melihatku. Bahkan ada yang berbisik-bisik. Sepertinya mereka membicarakanku. Aku diam saja
Guru masuk lalu mengucapkan salam. Kami berdo’a bersama. Tapi aku tidak hapal semua. Do’a di sekolah ini berbeda dengan do’a di sekolahku dulu. Memang ada yang sama. Tapi ada yang berbeda. Setelah berdo’a teman-teman berteriak ‘Ada murid baru.’ Mana ? tanya Pak Guru. Mereka menujukku. Aku disuruh maju dan memperkenalkan diri. Aku agak takut.
Di berdiri di depan kelas. Semua mata memandangku. Kakiku gemetar. Kubuka mulutku dan berkata. Namaku Aida. Aku segera kembali ke bangku. Baru saja satu langkah, pak guru memegang bahuku. Dia bertanya aku berasal dari mana ? Aku dari MI desa Tedunan, Wedung, Demak, Jawa Tengah. Pak guru bertanya lagi, Mengapa pindah ke sini ? Karena sekarang aku tinggal di sini bersama bibi. Perkenalan selesai. Pelajaran di mulai.
Di kelas ini aku merasa paling bodoh. Padahal di sekolahku yang dulu aku selalu rangking satu. Ah ternyata masih banyak teman yang lebih pintar. Di kelas ini teman-teman sudah pandai membuka kamus bahasa Inggris. Sedangkan di sekolahku yang dulu tidak ada satu murid pun yang punya kamus. Di sini teman-teman pandai membuat karangan, pandai baca puisi, pandai menyanyi, dan sebagainya dan sebagainya. Di sini aku merasa sedih tapi juga senang. Sedih karena merasa paling bodoh. Senang karena teman-temanku pandai.
Aku mulai kenalan dengan mereka waktu istirahat. Pertama kali yang kukenal adalah teman sebangkuku. Akhirnya aku mengenal semua murid sekelasku. Aku juga mengenal beberapa murid kelas lain. Di rumah aku juga mulai punya teman. Aku sudah kenal dengan tetangga. Kadang teman-teman sekolah main ke rumah. Aku senang sekali. Aku mulai menikmati hari-hariku di Jogja.
Kadang aku juga teringat ibu, bapak, kakak, dan adik. Juga teman-temanku di Tedunan. Setiap bulan sekali aku mengirim surat untuk ibu sekeluarga. Tapi ternyata surat tidak cukup. Kadang aku ingin pulang. Ingin sekali bertemu ibu. Tapi tidak bisa. Untuk pulang aku harus menunggu liburan semester. Padahal liburan masih lama. Semakin hari semakin aku semakin rindu. Akhirnya lewat surat kuminta ibu mengirim foto. Aku juga mengirim foto dalam surat itu. Sebenarnya aku juga ingin mendengar suara ibu. Tapi sayang sungguh sayang sekali. Di rumah ibu belum ada telpon.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang. Bibi dan paman jarang di rumah. Paman dan bibi sibuk sekali. Pagi-pagi bibi dan paman berangkat kerja. Kami berangkat bersama. Tapi pulang hampir tidak pernah bersama. Aku pulang siang hari. Bibi pulang sore hari. Paman pulang malam hari. Kami makan bersama hanya waktu sarapan.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang ke rumah ibu. Paman dan bibi tidak punya hewan peliharaan. Aku ingin memelihara kucing tapi tidak boleh. Di sini, di Jogja ini ada yang menyenangkan tapi ada juga yang tidak menyenangkan. Aku ceritakan semua kepada ibu lewat surat. Dalam surat balasannya ibu bilang aku harus memahami kesibukan bibi dan paman. Ibu juga rindu kepadaku. Ibu berpesan ‘Demi ibumu gembirakanlah bibi dan pamanmu. Anggaplah mereka seperti orang tuamu sendiri. Untuk masalah kucing, coba bilang pada bibi dan paman dengan baik-baik’.
Ya, aku sayang ibu. Sayang bapak. Sayang kakak. Sayang adik. Juga sayang bibi dan paman. Aku tetap menunggu waktu liburan. Menunggu waktu untuk pulang dan bertemu ibu, bapak sekeluarga. Walau begitu aku tetap berjanji menemani bibi dan paman. Ya aku menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri. Sekarang aku punya dua ibu dan dua bapak. Ibu kandungku dan bibi, bapak kandungku dan paman. Terima kasih atas semua kebaikanmu, Bibi. Makasih, Paman. Terima kasih sekali.***

This page is powered by Blogger. Isn't yours?