Saturday, December 27, 2003
Liburan di Desa Nenek
Sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Namaku filah. Rumahku di Surabaya. Aku punya adik satu. Namanya Ahnaf. Liburan kali ini, kami sekeluarga pergi ke desa. Ya, ibu, adik, ayah, dan aku pergi ke rumah nenek di desa Tedunan, kecamatan Wedung, Kabupaten demak, propinsi Jawa Tengah.
Dari Surabaya kami naik bus menuju terminal Kudus. Di terminal Kudus banyak yang jualan jenang kudus. Dari kudus kami naik angkutan kota menuju terminal kota. Angkutan kota itu berwarna ungu. Angkutan kota ini melewati kota kudus menuju sub terminal jenak. Sub terminal Jenak berada di pinggir kota Kudus. Dari sub terminal Jenak kami nak bus mini jurusan Jepara. Kami turun di Pecangaan. Ya, di bunderan pecangaan. Di dekat bunderan itu ada pabrik karung goni. Dari pecangaan kami naik angkutan jurusan kedung. Mobil angkutan itu sangat jelek. Catnya kusam. Sudah berkarat. Jendelanya sebagian tidak berkaca tapi diganti triplek. Bahkan ada mobil angkutan yang tidak ada daun pintunya. Angkutan jelek ini diisi orang sampai penuh. Sangat penuh dan berdesak-desakan. Udara jadi terasa panas. Hampir-hampir tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas.
Penumpangnya bermacam-macam. Ada ibu-ibu yang membawa ember. Kata ibu mereka itu pedagang ikan. Mereka pulang dari pasar. Setiap hari mereka membeli ikan dari para nelayan. Kemudian dijual di pasar. Ada mas-mas dan mbak-mbak yang berkaos cerah dan bercelana jins. Kata ibu mereka pulang dari kerja. Mereka kerja di daerah Jepara. Mereka kerja sebagai tenaga pengamplas meja, kursi dan sebagainya. Ada juga yang kerja di daerah Troso. Di Troso adalah pusat kain tenun. Ya, kain yang tidak ditenun dengan mesin pabrik. Begitu kata ibu. Ada anak kecil yang menangis terus. Mungkin karena kepanasan. Ada bapak-bapak. Ada nenek-nenek yang mengantuk. Ada anak-anak dengan seragam sekolah.
Setelah benar-benar sudah penuh, mobil angkutan ini mulai berjalan. Suara knalpotnya keras sekali. Di perjalanan ibu memberitahuku nama-nama desa yang kami lewati. Aku melihat sawah di tepi jalan. Hamparan sawah itu luas sekali. Setelah itu kami melewati desa Karang Randu lalu ada sawah lagi. Setelah melewati sawah, mobil angkutan ini membelok ke arah kanan. Kami melewati desa Gerdu lalu ada sawah lagi. Sawah di kanan dan kiri jalan.
Penduduk desa Gerdu banyak yang beternak itik. Itik petelur. Orang-orang di sini menyebutnya bebek jowo (itik jawa). Telur itik itu biasanya dibeli pedagang untuk dibuat telur asin. Sawah yang luas sekali. Beberasa saat kemudian ibu bilang, ini desa Kaliombo. Aku melihat rumah-rumah di sebelah kanan jalan sedangkan di kiri jalan ada sawah tapi tidak begitu luas. Setelah desa ini kami akan sampai di desa Tedunan.
Kami turun di desa Tedunan Lor alias Tedunan Utara. Rumah nenek bukan di desa ini tapi di Tedunan Kidul alias Tedunan Selatan. Kami harus menyebrangi sungai yang lebar sekali. Namanya sungai Serang. Kata ibu orang-orang desa menyebutnya kali gede. Artinya sungai besar. Untung masih ada jembatan. Kata ibu jembatan ini setidaknya setahun sekali roboh karena diterjang banjir. Adik bertanya Kalau jembatan roboh bagaimana cara menyebrangnya, Bu ? Ibu menjawab, Ya pakai perahu. Wah asyik dong naik perahu.
Penduduk desa Tedunan sebagian adalah nelayan. Di tepi sungai ada beberapa perahu. Kata ibu perahu itu digunakan untuk pergi ke laut. Tapi ada juga nelayan yang mencari ikan di sungai serang ini. Di tengah sungai terlihat beberapa beranjang. Beranjang dibuat dari bambu. Beranjang itu mempunyai jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
Kami berjalan pelan-pelan melewati jembatan bambu ini. Ya takut juga kalau melihat ke bawah. Yah… akhirnya sampai di Tedunan Kidul. Rumah nenek tidak jauh dari jembatan itu. Kira-kira seratus meteran lah.
Aku langsung berlari masuk rumah. Kuteriakkan salam. Aku berteriak, Mbah Putri…! Begitulah aku memanggil nenekku. Eh yang keluar malah paman Faiq. Paman Faiq adalah adiknya ibu. Paman faiq masih muda. Dia belum punya istri.
Rumah nenek besar sekali. Jauh lebih besar dari rumah kami di Surabaya. Rumah kami paling hanya sebesar ruang tamunya rumah ini. Halamannya juga luas. Halaman itu ditumbuhi rumput hijau. Wah asyik buat mainsepak bola ya ?! Di belakang rumah juga ada pekarangan. Ada Kelapa, Pisang, Sirkaya, Pepaya, Turi, dan pohon-pohon yang lain. Oh ya ada juga kolam ikan.
Kadang Mbah Putri mengambil beberapa daun pepaya. Daun pepaya itu dicuci lalu ditumbuk sampai halus. Setelah itu beri air segelas kemudian diperas dan disaring. Air perasan itu diminum. Katanya buat jamu. Mbah Putri bilang daun Pepaya bisa memperkuat daya tahan tubuh. Bisa juga menambah nafsu makan. Selain itu daun Pepaya juga bisa dibuat sayur. Agar tidak pahit waktu merebus dicampur dengan daun Kuda. Ternyata enak juga lho sayur daun pepaya. Apalagi yang memasak Mbah Putri. Siapa dulu dong cucunya ? Ha ha ha.
Di samping rumah Mbah Putri ada rumah Mbah Najib. Tapi mbah Najib tidak ada di rumah. Mbah Najib kerja di Arab. Aku sering berkunjung ke rumah Mbah Najib. Di sana ada Mas Fair. Mas Fair juga masih kecil seperti saya. Dia juga masih sekolah di MI. Mas Fair punya banyak mainan. Kadang aku, adik, dan Mas Fair bermain sepak bola di halaman rumah Mbah Putri.
Di desa ini aku punya saudara sepupu. Namanya Lina, Wafa,dan Fatih. Adik fatih masih kecil. Kecil sekali. Dia baru bisa merangkak dan mulai belajar berjalan. Dik Wafa adalah kakaknya dik Fatih. Dik Wafa dan Dik Fatih adalah anaknya paman Udin. Paman Udin adalah adiknya Ibu. Rumah paman Udin di Troso.
Kadang aku dan adik bermain ke rumah Dik Lina. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Mbah Putri. Kira-kira tiga ratus meter. Dik Lina adalah anaknya paman Subhan. Di rumahnya banyak kaligrafi. Kaligrafi itu dibuat dari kuningan. Wah bagus sekali.
Setelah satu minggu di Tedunan kami pulang ke Surabaya. Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Sholat subuh, mandi, lalu sarapan. Kami diantar dengan sepeda motor sampai di Pecangaan. Begitulah liburan kami yang sangat menyenangkan.
Sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Namaku filah. Rumahku di Surabaya. Aku punya adik satu. Namanya Ahnaf. Liburan kali ini, kami sekeluarga pergi ke desa. Ya, ibu, adik, ayah, dan aku pergi ke rumah nenek di desa Tedunan, kecamatan Wedung, Kabupaten demak, propinsi Jawa Tengah.
Dari Surabaya kami naik bus menuju terminal Kudus. Di terminal Kudus banyak yang jualan jenang kudus. Dari kudus kami naik angkutan kota menuju terminal kota. Angkutan kota itu berwarna ungu. Angkutan kota ini melewati kota kudus menuju sub terminal jenak. Sub terminal Jenak berada di pinggir kota Kudus. Dari sub terminal Jenak kami nak bus mini jurusan Jepara. Kami turun di Pecangaan. Ya, di bunderan pecangaan. Di dekat bunderan itu ada pabrik karung goni. Dari pecangaan kami naik angkutan jurusan kedung. Mobil angkutan itu sangat jelek. Catnya kusam. Sudah berkarat. Jendelanya sebagian tidak berkaca tapi diganti triplek. Bahkan ada mobil angkutan yang tidak ada daun pintunya. Angkutan jelek ini diisi orang sampai penuh. Sangat penuh dan berdesak-desakan. Udara jadi terasa panas. Hampir-hampir tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas.
Penumpangnya bermacam-macam. Ada ibu-ibu yang membawa ember. Kata ibu mereka itu pedagang ikan. Mereka pulang dari pasar. Setiap hari mereka membeli ikan dari para nelayan. Kemudian dijual di pasar. Ada mas-mas dan mbak-mbak yang berkaos cerah dan bercelana jins. Kata ibu mereka pulang dari kerja. Mereka kerja di daerah Jepara. Mereka kerja sebagai tenaga pengamplas meja, kursi dan sebagainya. Ada juga yang kerja di daerah Troso. Di Troso adalah pusat kain tenun. Ya, kain yang tidak ditenun dengan mesin pabrik. Begitu kata ibu. Ada anak kecil yang menangis terus. Mungkin karena kepanasan. Ada bapak-bapak. Ada nenek-nenek yang mengantuk. Ada anak-anak dengan seragam sekolah.
Setelah benar-benar sudah penuh, mobil angkutan ini mulai berjalan. Suara knalpotnya keras sekali. Di perjalanan ibu memberitahuku nama-nama desa yang kami lewati. Aku melihat sawah di tepi jalan. Hamparan sawah itu luas sekali. Setelah itu kami melewati desa Karang Randu lalu ada sawah lagi. Setelah melewati sawah, mobil angkutan ini membelok ke arah kanan. Kami melewati desa Gerdu lalu ada sawah lagi. Sawah di kanan dan kiri jalan.
Penduduk desa Gerdu banyak yang beternak itik. Itik petelur. Orang-orang di sini menyebutnya bebek jowo (itik jawa). Telur itik itu biasanya dibeli pedagang untuk dibuat telur asin. Sawah yang luas sekali. Beberasa saat kemudian ibu bilang, ini desa Kaliombo. Aku melihat rumah-rumah di sebelah kanan jalan sedangkan di kiri jalan ada sawah tapi tidak begitu luas. Setelah desa ini kami akan sampai di desa Tedunan.
Kami turun di desa Tedunan Lor alias Tedunan Utara. Rumah nenek bukan di desa ini tapi di Tedunan Kidul alias Tedunan Selatan. Kami harus menyebrangi sungai yang lebar sekali. Namanya sungai Serang. Kata ibu orang-orang desa menyebutnya kali gede. Artinya sungai besar. Untung masih ada jembatan. Kata ibu jembatan ini setidaknya setahun sekali roboh karena diterjang banjir. Adik bertanya Kalau jembatan roboh bagaimana cara menyebrangnya, Bu ? Ibu menjawab, Ya pakai perahu. Wah asyik dong naik perahu.
Penduduk desa Tedunan sebagian adalah nelayan. Di tepi sungai ada beberapa perahu. Kata ibu perahu itu digunakan untuk pergi ke laut. Tapi ada juga nelayan yang mencari ikan di sungai serang ini. Di tengah sungai terlihat beberapa beranjang. Beranjang dibuat dari bambu. Beranjang itu mempunyai jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
Kami berjalan pelan-pelan melewati jembatan bambu ini. Ya takut juga kalau melihat ke bawah. Yah… akhirnya sampai di Tedunan Kidul. Rumah nenek tidak jauh dari jembatan itu. Kira-kira seratus meteran lah.
Aku langsung berlari masuk rumah. Kuteriakkan salam. Aku berteriak, Mbah Putri…! Begitulah aku memanggil nenekku. Eh yang keluar malah paman Faiq. Paman Faiq adalah adiknya ibu. Paman faiq masih muda. Dia belum punya istri.
Rumah nenek besar sekali. Jauh lebih besar dari rumah kami di Surabaya. Rumah kami paling hanya sebesar ruang tamunya rumah ini. Halamannya juga luas. Halaman itu ditumbuhi rumput hijau. Wah asyik buat mainsepak bola ya ?! Di belakang rumah juga ada pekarangan. Ada Kelapa, Pisang, Sirkaya, Pepaya, Turi, dan pohon-pohon yang lain. Oh ya ada juga kolam ikan.
Kadang Mbah Putri mengambil beberapa daun pepaya. Daun pepaya itu dicuci lalu ditumbuk sampai halus. Setelah itu beri air segelas kemudian diperas dan disaring. Air perasan itu diminum. Katanya buat jamu. Mbah Putri bilang daun Pepaya bisa memperkuat daya tahan tubuh. Bisa juga menambah nafsu makan. Selain itu daun Pepaya juga bisa dibuat sayur. Agar tidak pahit waktu merebus dicampur dengan daun Kuda. Ternyata enak juga lho sayur daun pepaya. Apalagi yang memasak Mbah Putri. Siapa dulu dong cucunya ? Ha ha ha.
Di samping rumah Mbah Putri ada rumah Mbah Najib. Tapi mbah Najib tidak ada di rumah. Mbah Najib kerja di Arab. Aku sering berkunjung ke rumah Mbah Najib. Di sana ada Mas Fair. Mas Fair juga masih kecil seperti saya. Dia juga masih sekolah di MI. Mas Fair punya banyak mainan. Kadang aku, adik, dan Mas Fair bermain sepak bola di halaman rumah Mbah Putri.
Di desa ini aku punya saudara sepupu. Namanya Lina, Wafa,dan Fatih. Adik fatih masih kecil. Kecil sekali. Dia baru bisa merangkak dan mulai belajar berjalan. Dik Wafa adalah kakaknya dik Fatih. Dik Wafa dan Dik Fatih adalah anaknya paman Udin. Paman Udin adalah adiknya Ibu. Rumah paman Udin di Troso.
Kadang aku dan adik bermain ke rumah Dik Lina. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Mbah Putri. Kira-kira tiga ratus meter. Dik Lina adalah anaknya paman Subhan. Di rumahnya banyak kaligrafi. Kaligrafi itu dibuat dari kuningan. Wah bagus sekali.
Setelah satu minggu di Tedunan kami pulang ke Surabaya. Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Sholat subuh, mandi, lalu sarapan. Kami diantar dengan sepeda motor sampai di Pecangaan. Begitulah liburan kami yang sangat menyenangkan.