Saturday, December 27, 2003
PRAAAANG !!!
Sebuah Cerita Anak Oleh Faiq Aminuddin
Siang itu Aida dan Agus duduk menghadapi meja makan. Perut mereka sudah lapar. Maklum sudah siang. Memang sudah waktunya makan siang. Apalagi mereka baru saja bersih-bersih kamar. Lelah dan lapar. Tapi ternyata makan siang belum siap. Di meja makan hanya ada gelas dan teko. Aida segera minum air putih untuk menghilangkan rasa haus. Agus juga minum. “Bu lapar…” teriak Agus.
“Sebentar, Sayang. Tolong Agus ambil nasi.” Kata ibu sambil menggoreng ikan.
“Aida, tolong ambil piring.” Aida segera bangkit. Dia mengambil tiga buah piring dari rak. Aida membawanya sambil bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak. Tiga buah piring itu terlepas dari tangan, meluncur ke bawah lalu membentur lantai.
PRAAANG !!!
Nyanyian Aida terhenti. Langkahnya juga terhenti. Matanya memandangi ketiga piring yang sudah menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Aduh… Aida ?! Kenapa… ?” Aida diam saja. Dia takut ibu marah. Tapi ternyata ibu tidak marah. Ibu mengambil kerangjang sampah. Lalu berjongkok memunguti pecahan-pecahan piring lalu dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Aida meniru apa yang dilakukan ibu. “Hati-hati tanganmu.”
Agus tetap duduk di kursi. Tangannya memegang perut, menahan lapar. Tiba-tiba hidungnya bergerak-gerak. Sepertinya ada bau…” Gosong… Gosong, Bu.” Teriaknya. Ibu langsung bangkit dan berlari menghampiri kompor. Ibu segera mengentas ikan yang telah berwarna hitam itu dari wajan.
Aida sudah selesai membersihkan pecahan piring. Ibu sudah selesai menggoreng ikan. Sekarang makan siang siap dimulai. Ibu sudah mengambil piring lagi. Bukan piring kaca tapi piring plastik. Sepiring ikan goreng dan semangkuk sayur sudah tersaji di meja makan. “Lho mana nasinya ?” Tanya ibu. Ternyata Agus sejak tadi hanya duduk di kursi. Nasi belum diambil. “Aida, tolong ambil nasi.” Kata ibu sambil mengambil sendok di rak. Tinggal Agus duduk sendirian di hadapan meja makan. Agus sudah sangat lapar.
Agus segera mengambil piring. Tiba-tiba seekor kucing melompat ke atas meja. Kucing hitam itu mau mengambil ikan. Agus langsung memukulnya dengan piring.
PRAK !!
Meong !.. kucing itu mengaduh dan segera melompat turun.
Sekarang makan siang benar-benar sudah siap. Masing-masing mengambil beberapa centong nasi, sepotong ikan goreng dan beberapa sendok sayur bayam. Setelah berdo’a bersama mereka mulai menikmati makan.
“Lho koq bocor ?!” tanya Agus.
“Apanya ?’
Agus mengangkat piringnya. Kuah menentes-netes dari bawah piring.
“koq bisa bocor ?” Aida heran.
Ibu segara bangkit mengambil piring lagi untuk Agus. Agus memindah nasinya ke piring itu. Mereka melanjutkan makan siang. Agus tahu mengapa piring itu bocor. Tadi dia memukul kepala kucing dengan piring plastik itu. Agus merasa bersalah. Dia harus bercerita pada ibu dan kakaknya tapi takut.
Setelah makan siang Agus bercerita pada Aida mengapa piring tadi bocor. Aida tertawa. “Adik tidak usah takut. Kakak memecahkan tiga piring kaca saja ibu tidak marah. Bilang saja pada Ibu. Dia pasti tidak marah. Apalagi hanya sebuah piring plastik yang kau pecahkan. Jangan takut, Dik…..”
“Ehm..” terdengar deheman ibu. Ternyata ibu mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ibu mengangguk-angukan kepala. “Sebenarnya Ibu juga ingin marah. Tapi apa gunanya marah ? Apakah dengan marah piring itu bisa kembali utuh ? Tidak kan ?! Kalau ibu marah, ibu khawatir kalian jadi takut sama Ibu. Apa kalian senan punya ibu yang galak ?!” Aida dan Agus menggelang. “Ibu hanya berharap lain kali kalian harus lebih berhati-hati.”
“Iya, Bu.” Jawab mereka serempak.
“Oh ya mengapa tadi kau pukul kucing itu ?”
“Dia mau mencuri ikan, Bu ?”
“Kau tahu mengapa kucing itu mau mencuri ikan di atas meja ?”
Agus garuk-garuk kepala. “Mengapa ya ?” tanya dalam hati. “Karena… dia nggak punya ikan tapi ingin makan ikan…” jawab Aida ragu.
“Benar. Kucing itu juga lapar. Dia ingin makan tapi tidak punya ikan. Mengapa dia mencuri ? Karena kita belum memberinya makan. Kucing itu kan peliharaan kita ?!” Aida dan Agus mengangguk. “Seharusnya kita memberinya makan dulu agar bisa makan saat kita makan. Dengan begitu dia tidak akan mengganggu makan siang kita.”
Hari sudah sore. Bapak sudah pulang dari kerja. Agus menceritakan kejadian tadi siang pada bapak. Bapak tertawa. Lalu bapak bercerita pengalamannya waktu kecil. Dulu bapak juga pernah memecahkan piring. Tidak hanya satu. Tidak hanya tiga. Tidak hanya sepuluh tapi satu lusin piring. Dan semuanya piring yang masih baru. Waktu itu orang tua bapak baru saja membeli piring. Karena adik bapak masih sangat kecil maka bapaklah yang bertugas mencuci piring. Waktu itu kalau mencuci piring di sungai. Ketika sudah selesai mencuci piring, bapak segera mengangkat setumpuk piring yang masih baru itu. Mungkin karena masih basah dan terlalu berat sehingga piring itu terlepas dari tangan bapak. Setumpuk piring itu meluncur menimpa jalan yang berbatu. Hampir semuanya pecah. Orang tua bapak marah-marah. Dalam hati bapak menggerutu “Mengapa aku dimarahi ? Aku kan sudah mau mencuci piring. Dan aku juga tidak sengaja menjatuhkan piring itu.” Tapi akhirnya bapak sadar, mungkin saat itu bapak memang kurang berhati-hati.
“Oh ya, mengapa tadi kucing itu kau pukul dengan piring ?” tanya bapak sesudah bercerita.
“Karena saat itu saya pegang piring, Pak.”
“O… Mestinya kucing itu cukup kita tereaki atau dijewer telinganya seperti ini..” bapak menjewer telinga Agus.
“Lho… Kok saya yang dijewer ? Saya kan bukan kucing ?” teriak Agus sambil mengelak.
Mereka tertawa bersama.***
Sebuah Cerita Anak Oleh Faiq Aminuddin
Siang itu Aida dan Agus duduk menghadapi meja makan. Perut mereka sudah lapar. Maklum sudah siang. Memang sudah waktunya makan siang. Apalagi mereka baru saja bersih-bersih kamar. Lelah dan lapar. Tapi ternyata makan siang belum siap. Di meja makan hanya ada gelas dan teko. Aida segera minum air putih untuk menghilangkan rasa haus. Agus juga minum. “Bu lapar…” teriak Agus.
“Sebentar, Sayang. Tolong Agus ambil nasi.” Kata ibu sambil menggoreng ikan.
“Aida, tolong ambil piring.” Aida segera bangkit. Dia mengambil tiga buah piring dari rak. Aida membawanya sambil bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak. Tiga buah piring itu terlepas dari tangan, meluncur ke bawah lalu membentur lantai.
PRAAANG !!!
Nyanyian Aida terhenti. Langkahnya juga terhenti. Matanya memandangi ketiga piring yang sudah menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Aduh… Aida ?! Kenapa… ?” Aida diam saja. Dia takut ibu marah. Tapi ternyata ibu tidak marah. Ibu mengambil kerangjang sampah. Lalu berjongkok memunguti pecahan-pecahan piring lalu dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Aida meniru apa yang dilakukan ibu. “Hati-hati tanganmu.”
Agus tetap duduk di kursi. Tangannya memegang perut, menahan lapar. Tiba-tiba hidungnya bergerak-gerak. Sepertinya ada bau…” Gosong… Gosong, Bu.” Teriaknya. Ibu langsung bangkit dan berlari menghampiri kompor. Ibu segera mengentas ikan yang telah berwarna hitam itu dari wajan.
Aida sudah selesai membersihkan pecahan piring. Ibu sudah selesai menggoreng ikan. Sekarang makan siang siap dimulai. Ibu sudah mengambil piring lagi. Bukan piring kaca tapi piring plastik. Sepiring ikan goreng dan semangkuk sayur sudah tersaji di meja makan. “Lho mana nasinya ?” Tanya ibu. Ternyata Agus sejak tadi hanya duduk di kursi. Nasi belum diambil. “Aida, tolong ambil nasi.” Kata ibu sambil mengambil sendok di rak. Tinggal Agus duduk sendirian di hadapan meja makan. Agus sudah sangat lapar.
Agus segera mengambil piring. Tiba-tiba seekor kucing melompat ke atas meja. Kucing hitam itu mau mengambil ikan. Agus langsung memukulnya dengan piring.
PRAK !!
Meong !.. kucing itu mengaduh dan segera melompat turun.
Sekarang makan siang benar-benar sudah siap. Masing-masing mengambil beberapa centong nasi, sepotong ikan goreng dan beberapa sendok sayur bayam. Setelah berdo’a bersama mereka mulai menikmati makan.
“Lho koq bocor ?!” tanya Agus.
“Apanya ?’
Agus mengangkat piringnya. Kuah menentes-netes dari bawah piring.
“koq bisa bocor ?” Aida heran.
Ibu segara bangkit mengambil piring lagi untuk Agus. Agus memindah nasinya ke piring itu. Mereka melanjutkan makan siang. Agus tahu mengapa piring itu bocor. Tadi dia memukul kepala kucing dengan piring plastik itu. Agus merasa bersalah. Dia harus bercerita pada ibu dan kakaknya tapi takut.
Setelah makan siang Agus bercerita pada Aida mengapa piring tadi bocor. Aida tertawa. “Adik tidak usah takut. Kakak memecahkan tiga piring kaca saja ibu tidak marah. Bilang saja pada Ibu. Dia pasti tidak marah. Apalagi hanya sebuah piring plastik yang kau pecahkan. Jangan takut, Dik…..”
“Ehm..” terdengar deheman ibu. Ternyata ibu mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ibu mengangguk-angukan kepala. “Sebenarnya Ibu juga ingin marah. Tapi apa gunanya marah ? Apakah dengan marah piring itu bisa kembali utuh ? Tidak kan ?! Kalau ibu marah, ibu khawatir kalian jadi takut sama Ibu. Apa kalian senan punya ibu yang galak ?!” Aida dan Agus menggelang. “Ibu hanya berharap lain kali kalian harus lebih berhati-hati.”
“Iya, Bu.” Jawab mereka serempak.
“Oh ya mengapa tadi kau pukul kucing itu ?”
“Dia mau mencuri ikan, Bu ?”
“Kau tahu mengapa kucing itu mau mencuri ikan di atas meja ?”
Agus garuk-garuk kepala. “Mengapa ya ?” tanya dalam hati. “Karena… dia nggak punya ikan tapi ingin makan ikan…” jawab Aida ragu.
“Benar. Kucing itu juga lapar. Dia ingin makan tapi tidak punya ikan. Mengapa dia mencuri ? Karena kita belum memberinya makan. Kucing itu kan peliharaan kita ?!” Aida dan Agus mengangguk. “Seharusnya kita memberinya makan dulu agar bisa makan saat kita makan. Dengan begitu dia tidak akan mengganggu makan siang kita.”
Hari sudah sore. Bapak sudah pulang dari kerja. Agus menceritakan kejadian tadi siang pada bapak. Bapak tertawa. Lalu bapak bercerita pengalamannya waktu kecil. Dulu bapak juga pernah memecahkan piring. Tidak hanya satu. Tidak hanya tiga. Tidak hanya sepuluh tapi satu lusin piring. Dan semuanya piring yang masih baru. Waktu itu orang tua bapak baru saja membeli piring. Karena adik bapak masih sangat kecil maka bapaklah yang bertugas mencuci piring. Waktu itu kalau mencuci piring di sungai. Ketika sudah selesai mencuci piring, bapak segera mengangkat setumpuk piring yang masih baru itu. Mungkin karena masih basah dan terlalu berat sehingga piring itu terlepas dari tangan bapak. Setumpuk piring itu meluncur menimpa jalan yang berbatu. Hampir semuanya pecah. Orang tua bapak marah-marah. Dalam hati bapak menggerutu “Mengapa aku dimarahi ? Aku kan sudah mau mencuci piring. Dan aku juga tidak sengaja menjatuhkan piring itu.” Tapi akhirnya bapak sadar, mungkin saat itu bapak memang kurang berhati-hati.
“Oh ya, mengapa tadi kucing itu kau pukul dengan piring ?” tanya bapak sesudah bercerita.
“Karena saat itu saya pegang piring, Pak.”
“O… Mestinya kucing itu cukup kita tereaki atau dijewer telinganya seperti ini..” bapak menjewer telinga Agus.
“Lho… Kok saya yang dijewer ? Saya kan bukan kucing ?” teriak Agus sambil mengelak.
Mereka tertawa bersama.***