<$BlogRSDUrl$>

Thursday, July 15, 2004

Ky yang baik…

Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali. Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.
Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.
Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.
Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.
Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.
Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.
Orang-orang dengan menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru. “Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepet-cepat menutupnya.
Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.
Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…
Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.
Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …
Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.
Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.
Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.
Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.
Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….
Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sig out dari room chatting. P

This page is powered by Blogger. Isn't yours?