Thursday, July 15, 2004
Ky yang baik…
Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali. Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.
Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.
Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.
Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.
Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.
Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.
Orang-orang dengan menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru. “Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepet-cepat menutupnya.
Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.
Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…
Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.
Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …
Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.
Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.
Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.
Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.
Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….
Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sig out dari room chatting. Puluhan batang puntung rokok bergelimpangan bercampur abu di dalam asbak yang sudah gompel. Abu rokok berceceran mengotori karpet kumal di lantai. Sebendel kertas teronggok di atas CPU. Sepertinya naskah kumpulan cerpen yang sudah siap cetak.
Mungkin pagi ini kau balas dendam padaku karena sudah berkali-kali mengetuk kamar kosku tapi tidak menemukanku. Aku masih menunggu ruang dan waktu mepertemukan kita.
Dari kamarmu aku bisa menebak seperti apa dandananmu. Rambutmu kusut, wajah lusuh, pakaian kumal… Kalaupun misalnya ternyata kau tidak separah itu, aku yakin cara berpakainmu tetap tidak bisa disebut rapi.
Ternyata dugaanku salah. Kau modis. Hanya saja kau tidak memakai bedak dan lipstik. Kau menganggap bedak seperti bubuk beracun yang akan mepercepat menguapnya kecantikan dari wajahmu. Goresan lipstik di bibir kau samakan sebagai tanah liat membuatmu seperti merasa punya bibir yang tebal dan berat. “Pakai topeng kok di bibir.” Ah ada-ada saja kamu ini.
Baiklah. Kini saatnya aku belajar banyak padamu. Belajar pada teman baru yang asyik. Terimakasih, kau telah mengenalkanku dengan teman-temamu dan mengajakku bergabung di komunitasmu. Sebuah komunitas yang mati-matian menghidupi semua orang yang terlibat di dalamnya. Kau bilang kita berkomunitas untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan saling bantu.
Dengan senang hati kusambut uluran tanganmu. Lalu kau mengajaku melangkah bersama, bergandeng tangan, menyusuri jalan yang semakin kecil, jelek, turun naik, dan akhirnya sampai di daerah pelosok. Sore itu aku benar-benar merasa menemukan dunia baru. Kita bersama penduduk desa mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara lesungan. Malam harinya kulihat kau sangat menimati suara kayu yang berbenturan, beriringan dan tumpang-tindih dengan teriakan spontan dari penonton. Kau begitu menikmatinya…mungkin karena kau tidak bisa menikmati TV lagi.
Di hari yang lain kau mengajakku pergi. Tapi kau tidak menjelaskan mau kemana. “Mari berburu teman baru,” katamu. Ah kau memang suka aneh-aneh.
Entah sudah berapa tempat yang kau kenalkan padaku. Tempat yang baru bagi mata dan kepalaku. Tapi aku masih belum bisa mengenalmu… aku hanya mengenalmu dari potongan puzel yang belum lengkap. Aku hanya tahu kau suka menulis.
Sudah lama kudengar kau sedang menyelesaikan novel pertamamu. Beberapa waktu yang lalu sudah kulihat iklan yang mengabarkan bahwa novelmu itu segera terbit. Maka kuberlari ke toko buku. kucari-cari dan kutanyakan novelmu di hampir semua toko buku. Tidak ada. Bahkan para karyawan toko buku yang kutanyai, mengaku belum pernah mendengar namamu. Aku maklum, kau bukan artis. Tapi aku sebel banget. Semakin sebel lagi setelah tahu ternyata novel yang kau gembor-gemborkan itu sampai sekarangpun belum rampung.
Tapi aku tetap salut dan kagum padamu. Kau selalu berusaha mencari bentuk tulisan yang baru dan mecoba mensosialisasikan ide-ide atau gagasan perubahan sosial melalui karya-karyamu. Aku tahu mengapa novelmu tak kunjung rampung. Kau bukan penulis professional. Maksudku, kau tidak hanya menulis. Ternyata kau juga ikut menggarap pementasan teater, pertunjukan musik, workshop. Dan satu hal yang paling banyak menyedot perhatianmu adalah diriku. Ayo ngaku saja lah.
Ya ternyata kau bukan penulis, kau pekerja budaya. Dan masih muda.
Dulu aku tidak tahu mengapa ada yang memberimu julukan “Sang penulis muda yang lain”. Julukan itu diucapkan dengan nada agak sinis. Sekarang, aku tetap tidak tahu. Hanya saja kalau boleh aku menebak, mungkin ini ada hubungannya dengan yang kubilang tadi; kau tidak hanya menulis, kau kuli kabudayan, bahkan mungkin kau juga akan mendapat julukan “Sang aktivis gerakan sosial”. Tapi menurutku,lebih tepatnya diberi tambahan kata “yang lain”. Mengapa ? Karena kau funky. Hi hi hi. Jadi, sekarang kuanugrahkan padamu sebuah julukan baru ; “Si aktivis gerakan sosial yang lain dan funky”. Cocok kan dengan t-shirt gaul ksesukaanmu. T-shirt pink dengan gambar wanita bersayap seperti bidadari sedang bergaya dan ada tulisan: Dian Sastro for President. “sebuah kampanye,” katamu. Mungkin itu sebabnya pemilu kemarin kau golput.
Kau cerdas dan kreatif dan trampil. Entah apa yang ada di kepalamu. Akan tetapi kadang kau terlihat urakan, norak dan menyebalkan. Lihat catatan aktivitasmu sehari semalam kemarin yang kubuat ini;
Ibu sudah ingin istirahat di tempat tidur, tapi kau masih meminta dibuatkan kopi susu dan mie rebus dengan telur setengah matang. Kau menunggu pesananmu sambil ongkang-ongkang di kursi goyang sambil nonton TV. Kau biarkan kepalamu memar dan biru-biru ditimpuki tv setiap kali kau memencet tombol-tombol remotnya.
Kau begadang. Menghabiskan malam dan rokok.
Kau masih mendengkur saat ibu dan bapak mulai sibuk membersihkan piring dan gelas yang kau biarkan berserakan di meja berserta abu, puntung dan bungkus rokok serta kertas-kertas.
Kau membuka mata ketika hari sudah panas dan kau tidak segera mandi. Kau mulai hari dengan kopi dan ngrumpi, ngrokok sambil jongkok di bangku taman. Kau tidak kerja hingga malam tiba. Untung saja yang seperti itu tidak terjadi setiap hari. Hanya kadang-kadang. Tapi itu sudah cukup menyebalkan bagiku. Ya, maaf lho ya.
Kau juga suka Vodka. Suka nonton film dari yang animasi sampai semi bahkan bokep. Dari Hollywood sampai yang indie.
Ibu pernah mengeluhkan kesopananmu. Kadang kau letakkan kaki di atas kursi saat duduk bahkan kau julurkan di atas meja menghadap muka orang lain. Kalau Ibu menegurmu, kau bilang aku tidak menghormati atau menghinamu dengan telapak kaki.
Nama-nama binatanng, caci-maki, dan sumpah serapah tumpah setiap hari dari mulutmu. “Mari kita memaki sepuas hati, kawan. Memaki dengan penuh kasih sayang.” Ya, makianmu kudengar bukan bagian dari perkelahian. Kalaupun kadang yang kau teriakkan itu benar-benar makian karena emosi, tentu kita akan baikan dan segera menjalin persahabatan yang lebih erat.
Kau juga suka rapat, debat, , sms-an atau miscall-miscall-an dan chating. Tapi kau tidak suka olah raga dan agak manja.
Kau penulis. Menulis apa saja bahkan menulis rayuan gobal lewat sms. Bahkan seringkali menulis catatan hutang makan tiap hari di warung nasi.
Kau seringkali mengajak rapat sampai lelah lalu meninggalkan meja bundar itu dengan serakan sampahmu; puntung, abu dan bungkus rokok, kertas, asbak, gelas, korek, disket, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, spidol, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger, sendok, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, surat, stiker, …
Tapi bagaimanapun aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu. Kau cantik. Dandananmu modis. Kau suka pakai kaos warna ngejreng; kuning dan merah menyala dengan tulisan Zlink dan di belakangnya bertuliskan namamu besar-besar; AKY. Aih norak-norak bergembira dech kamu. Gemeeees aku. Iih.
Yogyakarta, 10 Juli 2007
Faiq Aminuddin
Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali. Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.
Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.
Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.
Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.
Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.
Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.
Orang-orang dengan menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru. “Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepet-cepat menutupnya.
Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.
Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…
Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.
Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …
Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.
Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.
Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.
Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.
Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….
Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sig out dari room chatting. Puluhan batang puntung rokok bergelimpangan bercampur abu di dalam asbak yang sudah gompel. Abu rokok berceceran mengotori karpet kumal di lantai. Sebendel kertas teronggok di atas CPU. Sepertinya naskah kumpulan cerpen yang sudah siap cetak.
Mungkin pagi ini kau balas dendam padaku karena sudah berkali-kali mengetuk kamar kosku tapi tidak menemukanku. Aku masih menunggu ruang dan waktu mepertemukan kita.
Dari kamarmu aku bisa menebak seperti apa dandananmu. Rambutmu kusut, wajah lusuh, pakaian kumal… Kalaupun misalnya ternyata kau tidak separah itu, aku yakin cara berpakainmu tetap tidak bisa disebut rapi.
Ternyata dugaanku salah. Kau modis. Hanya saja kau tidak memakai bedak dan lipstik. Kau menganggap bedak seperti bubuk beracun yang akan mepercepat menguapnya kecantikan dari wajahmu. Goresan lipstik di bibir kau samakan sebagai tanah liat membuatmu seperti merasa punya bibir yang tebal dan berat. “Pakai topeng kok di bibir.” Ah ada-ada saja kamu ini.
Baiklah. Kini saatnya aku belajar banyak padamu. Belajar pada teman baru yang asyik. Terimakasih, kau telah mengenalkanku dengan teman-temamu dan mengajakku bergabung di komunitasmu. Sebuah komunitas yang mati-matian menghidupi semua orang yang terlibat di dalamnya. Kau bilang kita berkomunitas untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan saling bantu.
Dengan senang hati kusambut uluran tanganmu. Lalu kau mengajaku melangkah bersama, bergandeng tangan, menyusuri jalan yang semakin kecil, jelek, turun naik, dan akhirnya sampai di daerah pelosok. Sore itu aku benar-benar merasa menemukan dunia baru. Kita bersama penduduk desa mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara lesungan. Malam harinya kulihat kau sangat menimati suara kayu yang berbenturan, beriringan dan tumpang-tindih dengan teriakan spontan dari penonton. Kau begitu menikmatinya…mungkin karena kau tidak bisa menikmati TV lagi.
Di hari yang lain kau mengajakku pergi. Tapi kau tidak menjelaskan mau kemana. “Mari berburu teman baru,” katamu. Ah kau memang suka aneh-aneh.
Entah sudah berapa tempat yang kau kenalkan padaku. Tempat yang baru bagi mata dan kepalaku. Tapi aku masih belum bisa mengenalmu… aku hanya mengenalmu dari potongan puzel yang belum lengkap. Aku hanya tahu kau suka menulis.
Sudah lama kudengar kau sedang menyelesaikan novel pertamamu. Beberapa waktu yang lalu sudah kulihat iklan yang mengabarkan bahwa novelmu itu segera terbit. Maka kuberlari ke toko buku. kucari-cari dan kutanyakan novelmu di hampir semua toko buku. Tidak ada. Bahkan para karyawan toko buku yang kutanyai, mengaku belum pernah mendengar namamu. Aku maklum, kau bukan artis. Tapi aku sebel banget. Semakin sebel lagi setelah tahu ternyata novel yang kau gembor-gemborkan itu sampai sekarangpun belum rampung.
Tapi aku tetap salut dan kagum padamu. Kau selalu berusaha mencari bentuk tulisan yang baru dan mecoba mensosialisasikan ide-ide atau gagasan perubahan sosial melalui karya-karyamu. Aku tahu mengapa novelmu tak kunjung rampung. Kau bukan penulis professional. Maksudku, kau tidak hanya menulis. Ternyata kau juga ikut menggarap pementasan teater, pertunjukan musik, workshop. Dan satu hal yang paling banyak menyedot perhatianmu adalah diriku. Ayo ngaku saja lah.
Ya ternyata kau bukan penulis, kau pekerja budaya. Dan masih muda.
Dulu aku tidak tahu mengapa ada yang memberimu julukan “Sang penulis muda yang lain”. Julukan itu diucapkan dengan nada agak sinis. Sekarang, aku tetap tidak tahu. Hanya saja kalau boleh aku menebak, mungkin ini ada hubungannya dengan yang kubilang tadi; kau tidak hanya menulis, kau kuli kabudayan, bahkan mungkin kau juga akan mendapat julukan “Sang aktivis gerakan sosial”. Tapi menurutku,lebih tepatnya diberi tambahan kata “yang lain”. Mengapa ? Karena kau funky. Hi hi hi. Jadi, sekarang kuanugrahkan padamu sebuah julukan baru ; “Si aktivis gerakan sosial yang lain dan funky”. Cocok kan dengan t-shirt gaul ksesukaanmu. T-shirt pink dengan gambar wanita bersayap seperti bidadari sedang bergaya dan ada tulisan: Dian Sastro for President. “sebuah kampanye,” katamu. Mungkin itu sebabnya pemilu kemarin kau golput.
Kau cerdas dan kreatif dan trampil. Entah apa yang ada di kepalamu. Akan tetapi kadang kau terlihat urakan, norak dan menyebalkan. Lihat catatan aktivitasmu sehari semalam kemarin yang kubuat ini;
Ibu sudah ingin istirahat di tempat tidur, tapi kau masih meminta dibuatkan kopi susu dan mie rebus dengan telur setengah matang. Kau menunggu pesananmu sambil ongkang-ongkang di kursi goyang sambil nonton TV. Kau biarkan kepalamu memar dan biru-biru ditimpuki tv setiap kali kau memencet tombol-tombol remotnya.
Kau begadang. Menghabiskan malam dan rokok.
Kau masih mendengkur saat ibu dan bapak mulai sibuk membersihkan piring dan gelas yang kau biarkan berserakan di meja berserta abu, puntung dan bungkus rokok serta kertas-kertas.
Kau membuka mata ketika hari sudah panas dan kau tidak segera mandi. Kau mulai hari dengan kopi dan ngrumpi, ngrokok sambil jongkok di bangku taman. Kau tidak kerja hingga malam tiba. Untung saja yang seperti itu tidak terjadi setiap hari. Hanya kadang-kadang. Tapi itu sudah cukup menyebalkan bagiku. Ya, maaf lho ya.
Kau juga suka Vodka. Suka nonton film dari yang animasi sampai semi bahkan bokep. Dari Hollywood sampai yang indie.
Ibu pernah mengeluhkan kesopananmu. Kadang kau letakkan kaki di atas kursi saat duduk bahkan kau julurkan di atas meja menghadap muka orang lain. Kalau Ibu menegurmu, kau bilang aku tidak menghormati atau menghinamu dengan telapak kaki.
Nama-nama binatanng, caci-maki, dan sumpah serapah tumpah setiap hari dari mulutmu. “Mari kita memaki sepuas hati, kawan. Memaki dengan penuh kasih sayang.” Ya, makianmu kudengar bukan bagian dari perkelahian. Kalaupun kadang yang kau teriakkan itu benar-benar makian karena emosi, tentu kita akan baikan dan segera menjalin persahabatan yang lebih erat.
Kau juga suka rapat, debat, , sms-an atau miscall-miscall-an dan chating. Tapi kau tidak suka olah raga dan agak manja.
Kau penulis. Menulis apa saja bahkan menulis rayuan gobal lewat sms. Bahkan seringkali menulis catatan hutang makan tiap hari di warung nasi.
Kau seringkali mengajak rapat sampai lelah lalu meninggalkan meja bundar itu dengan serakan sampahmu; puntung, abu dan bungkus rokok, kertas, asbak, gelas, korek, disket, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, spidol, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger, sendok, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, surat, stiker, …
Tapi bagaimanapun aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu. Kau cantik. Dandananmu modis. Kau suka pakai kaos warna ngejreng; kuning dan merah menyala dengan tulisan Zlink dan di belakangnya bertuliskan namamu besar-besar; AKY. Aih norak-norak bergembira dech kamu. Gemeeees aku. Iih.
Yogyakarta, 10 Juli 2007
Faiq Aminuddin