<$BlogRSDUrl$>

Thursday, July 15, 2004

Pedang api

Kudengar ada suara motor keras sekali. Wah pasti sedang ada kampanye. Aku ingin menontonnya. Sebenarnya kemarin juga ada kampanye tapi aku tidak tahu. Siang itu aku tidur. Tadi pagi, teman-temanku di kelas empat bercerita tentang kampanye itu. Hanya aku yang tidak bisa ikut bercerita. Aku hanya mendengarkan dan bertanya.
Siang ini aku ingin melihat kampanye dengan mata kepalaku sendiri. Aku segera keluar rumah dan berlari menuju jalan raya. Aku berdiri di tepi jalan. Ternyata kampanye sangat ramai sekali. Mereka seperti memakai seragam. Warna kaos mereka sama. Gambarnya juga banyak yang sama. Mereka berarak-arakan seperti sekumpulan itik. Ya, seperti itik petelur yang digiring pak Karmin ke sungai untuk mencari makan. Mereka jalan beriringan dengan rapi tapi berisik. Wek wek wek wek. Peserta kampanye ini juga berisik. Mereka naik motor. Suara knalpotnya keras sekali. Ngeng ngeng ngeng tron tong trong ngeng… ditambah lagi klakson mereka bunyikan terus. Dit dit dit.
Selain itu ada juga yang naik mobil, truk atau bus. Ada juga yang membawa salon besar-besar di tas mobil atau truk. Musik disetel keras-keras. Ada yang berjoget dan menari-nari seperti orang gila. Ada yang wajahnya dicoreng-coreng. Ada yang kepalanya dibungkus kain hingga yang terlihat hanya matanya. Mereka melambaikan bendera paratainya atau mengacung-acungkan tangannya ke udara dengan penuh semangat.
Tiba-tiba tanganku ditarik orang. “Eh ada apa ini,” teriakku.
“Jangan berdiri di sini. Berbahaya. Ayo ke sana saja,” kata temanku. Namanya Adi. Rumahnya di tepi jalan raya. Dia mengajakku berdiri di balik pagar, di halaman rumahnya.
“Lho kan lebih enak nonton dari sana? Lebih dekat.”
Dia menggeleng. “Berbahaya.”
Aku tidak tahu mengapa melihat kampanye dari dekat berbahaya. Maka aku bertanya lagi “Kenapa?”
“Kau bisa ditabrak motor atau dipukul dengan pedang.”
“Pedang? Ada yang membawa pedang? Wah seperti pendekar yang mau berperang ya.”
“Iya. Makanya kita harus sembunyi di sini. Kalau kau berdiri di tepi jalan, kepalamu bisa dipenggal dengan pedang. Tadi aku lihat pedang itu menyala. Mengeluarkan api.”
“Benarkah?”
Dia mengangguk.
Ketika sampai di rumah, ibu menanyaiku, “Dari mana?”
“Lihat kampanye, Bu.”
“Kok tidak pamit?”
Ya, tadi aku lupa tidak pamit pada ibu. Begitu mendenar suara motor keras sekali aku langsung berlari ke jalan.
“Ya sudah. Lain kali pamit, ya.”
Aku mengangguk lalu aku bercerita tentang pedang yang bisa menyala dan mengeluarkan api. Mendengar cerita itu, Ibu menggeleng. “Tidak mungkin. Masa pedang bisa menyala dan mengeluarkan api”
“Tapi pedang itu benar-benar mengeluarkan api kuning menyala. Crat crat. Begitu. Seperti kembang api.”
“Kamu melihat sendiri?”
“Emm tidak. Tapi Adi melihat sendiri.”
Ibu menggeleng. “Paling dia melebih-lebihkan ceritanya. Yang bisa menyala dan mengeluarkan api itu korek namannya.”
“Mengapa korek bisa mengeluarkan api?”
Ibu diam saja. Aku bertanya lagi, “Mengapa korek bisa menyala dan mengeluarkan api?”
“Ibu tidak tahu. Tuh tanya pada kakakmu.”
Kuhampiri kakak yang baru saja pulang sekolah. Kakak kelas dua SMU. Sekolahnya jauh. Kalau berangkat sekolah, kakak naik angkot.
“Kak mengapa baru datang?”
“Iya. Jalannya macet karena ada kampanye.”
Lalu aku bercerita kalau aku tadi melihat kampanye bersama Adi. “Kata Adi ada peserta kampanye yang bawa pedang seperti pendekar. Pedangnya bisa diseret di atas aspal. Pedang itu mengeluarkan api.”
Kakak hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tapi kata ibu, pedang tidak bisa menyala dan mengeluarkan api seperti korek.”
“Pedang memang bisa mengeluarkan api seperti korek api.” Kakak mengambil korek api. “Pedang yang diseret diatas aspal seperti batang korek api digorekan di sini.” Jres. Kakak menggoreskan batang korek di atas landasan coklat tua di kotak korek api. Batang korek itu menyala. “Tapi pedang tidak bisa menyala seperti ini. Makanya ibu bilang, pedang tidak bisa menyala. Pedang yang diseret di atas aspal hanya bisa memercikkan api-api kecil. Ya seperti kembang api.”
“Kalau pedangnya tidak sakti, apakah juga bisa memercikkan api?”
“Semua pedang bisa memercikan api. Tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apa, Kak?”
“Harus pedang sungguhan. Bukan pedang plastik. Pedang itu harus di goreskan dengan cepat di atas benda yang keras seperti aspal, batu atau besi.”
“Jadi kalau pedangnya hanya dicungkan ke atas, tidak bisa menyala ya?”
Kakak mengangguk.
“Pedang bisa memercikkan api karena dia bertabrakan dengan benda keras yang lain. Tabrakan itu menimbulkan panas sehingga ada percik-percik api.”
Aku mengangguk-angguk. Kakak melanjutkan penjelasannya dengan cerita. Kakak bercerita tentangan orang jaman dulu yang belum punya korek api. Kalau ingin memasak, mereka mencari kayu dan batu yang keras. Kayu itu digosok-gosokkan diatas batu. Ujung kayu dan batu itu makin lama makin panas. Kayu terus digosok-gosokkan hingga akhirnya ada api menyala membakar ujung kayu dan rumput kering yang diletakkan di sekitar batu. Setelah itu mereka menyalakan api unggun untuk memasak.
“Sekarang kita tidak perlu bersusah payah seperti itu, karena kita sudah punya korek api.”
“Jadi, kalau korek api ibu hilang, aku bisa membantu menyalakan kompor dengan pedang ya, Kak?!”
Kakak hanya tersenyum.[]

This page is powered by Blogger. Isn't yours?