<$BlogRSDUrl$>

Thursday, July 15, 2004

Tuhan, beri aku sepeda!
Cerpen anak oleh Faiq Aminuddin

Hampir setiap sore, aku duduk di teras sekolah, melihat teman-teman bermain sepeda. Mereka mengayuh pedal sepeda sambil bersorak-sorai. Sepeda melaju mengelilingi halaman sekolah. Kadang mereka saling mendahului. Kadang ada yang terjatuh. Tapi mereka tetap gembira. Aku hanya bisa melihat. Kalau aku ikut bermain, aku harus merayu salah satu teman agar dia mau meminjamiku sepeda. Biasanya tidak ada yang mau meminjamkan sepedanya padaku.
Kadang memang ada teman yang baik hati. Sore itu Adi mau meminjamkan sepeda kepadaku. Tapi aku tetap harus menunggu dia lelah. Ketika dia istirahat aku pinjam sepedanya. Kukayuh pedal sepeda kuat-kuat. Sepeda melaju. Kencang dan semakin kencang. Angin terasa meniup tubuhku.
“Ayo kita balapan.”
Mendengar teriakan itu aku segera menyahut “Ayo!”
Teman-teman yang lain juga menyambut usul itu dengan semangat.
“Dari sini sampai ke lapangan bola. Berani ?”
“Ayo. Siapa takut?!”
Kami berjajar di jalan. Siap melaju menuju lapangan sepak bola di pinggir desa.
“Satu… dua…”
Aku sudah siap mengayuh pedal dengan sekuat tenaga. Tapi…
“Tunggu dulu. Aku mau ikut,” teriak Adi sambil meraih sepedanya. Mau tidak mau aku harus menyerahkan sepeda itu. Aku tidak bisa ikut balapan. Aku jengkel sekali. Tapi mau apa lagi. Aku tidak punya sepeda sendiri. Aku hanya bisa berdiri, melihat teman-teman berlomba mengayuh sepeda sekencang mungkin.
“Terima kasih, Adi. Kau sudah sudi meminjamkan sepedamu. Semoga kau menang,” kataku dalam hati. Air mataku membasahi pipi.
Sudah sejak lama aku minta sepeda pada bapak. Bapak menggelengkan kepala. “Bapak tidak punya uang untuk membeli sepeda.”
Aku juga minta pada ibu. Ibu bilang “Sepeda itu harganya mahal. Kita tidak punya uang, Nak. Bahkan biaya sekolahmu bulan lalu saja belum dibayar.”
Tapi aku sangat ingin punya sepeda. Setiap pagi aku mengingatkan bapak sebelum berangkat kerja. “Nanti kalau pulang, jangan lupa beli sepeda ya, Pak.”
Bapak menggeleng-gelengkan kepala lalu menarik nafas panjang.
“Kalau ada rezeki lebih, bapak akan membelikan sepeda untuk anak bapak yang baik ini.” Bapak tersenyum dan mengusap kepalaku.
Setelah melihat teman-teman bermain sepeda, aku menunggu bapak pulang dari kerja. Aku berharap bapak membawa sepeda. Sepeda baru untuk anaknya yang baik. Benarkah aku anak yang baik? Ya, aku harus jadi anak yang baik. Aku harus selalu membantu bapak-ibu. Membantu menyapu dan mengangsu. Membantu membersihkan halaman dan menyiram sayuran di belakang rumah.
Bila di kejauhan bapak sudah terlihat, aku segera berlari menghampirinya. Ternyata bapak tidak membelikanku sepeda. Air mataku mengalir di pipi lagi.
Sore berikutnya aku menunggu bapak di depan pintu. Ketika bapak datang, aku langsung bertanya “Mana sepedaku, Pak ?”
Bapak menggeleng. “Doakan saja besok bapak dapat rezeki lebih.”
Setiap sore aku menunggu di depan pintu tapi bapak selalu pulang tanpa membawa sepeda. Aku juga tidak tahu mengapa bapak berjanji melulu. Katanya mau membelikan sepeda, tapi setiap kali kutanya, bapak selalu bilang “Kau harus sabar dan terus berdoa.”
Aku sudah berdoa. Tapi tuhan tidak mengabulkannya.
“Bu, mengapa tuhan tidak mengabulkan doaku?”
“Kau minta apa pada tuhan?”
“Aku bilang: Wahai tuhan berilah bapak uang yang sangat banyak agar bisa membelikan aku sepeda baru.”
“Mungkin memang belum waktunya. Berdoa tidak cukup sekali.”
Aku berdoa lagi, “Tuhan… sekarang aku minta padaMu; Jatuhkanlah sepeda dari langit.”
Ibu tertertawa, “Coba kalau tuhan mengabulkan doamu. Bisa-bisa sepeda itu jatuh merusak atap rumah kita atau menimpa kepalamu.”
Iya ya. Dan kalaupun tidak mejatuhi kepalaku, sepeda itu pasti rusak karena jatuh dari langit.
“Lalu… Bagaimana caranya agar aku bisa punya sepeda sendiri? Bapak dan ibuku tidak punya uang. Aku juga tidak punya uang. Minta pada tuhan, tidak dikabulkan.”
Kata ibu, selain berdoa kita juga harus berusaha.
“Bagaimana caranya berusaha, Bu?”
“Bapak berusaha mencari uang dengan bekerja di pabrik. Ibu berusaha dengan berjualan.”
“Kalau begitu, besok aku ikut bapak kerja di pabrik ya, Bu.”
“Kamu masih kecil. Belum saatnya bekerja.”
“Tapi… aku kan mau berusaha. Aku mau cari uang sendiri buat beli sepeda.”
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau kamu rajin membantu ibu dan bapak, berarti kamu sudah berusaha.”
“Tapi aku tidak dapat uang…Aku mau kerja agar dapat uang. Aku mau beli sepeda…”
Malam itu aku malas belajar sehingga ditegur bapak. “Mengapa kamu tidak belajar?”
“Malas.”
Bapak menghampiriku lalu mengusap kepalaku. Bapak berjanji, kalau ada rezeki lebih, kau pasti punya sepeda baru. Jangan malas belajar ya. Sepeda tidak bisa didapat dengan malas-malasan belajar. Bapak juga malas bekerja kalau anak bapak malas-malasan.”
Dari pada sakit hati, aku berusaha melupakan masalah sepeda. Aku mencoba menghapus keinginanku untuk punya sepeda. Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Tidak punya sepeda tidak apa-apa. Tidak bisa bermain sepeda tidak apa-apa. Aku bisa bermain mainan yang lain.[]


This page is powered by Blogger. Isn't yours?