<$BlogRSDUrl$>

Sunday, July 04, 2004

Yth. Sampeyan
Di taman melati


Salam
Sebenarnya sudah berkali-kali kumencoba menulis surat ini tapi selalu saja tidak rampung. Dulu sudah pernah kumulai merangkai kata lalu menuliskannya. Tiba-tiba aku terhenti ketika di atas HVS putih itu baru ada tiga setengah baris kalimat. Sebuah keraguan menyarangku. Aku merasa tidak sepatutnya menulis surat untuk sampeyan. Mungkin memang lebih baik aku bicara langsung padamu. Entah mengapa aku merasa tidak sopan kalau berbicara kepadamu lewat kertas. Maka tidak kulanjutkan surat itu dan aku mulai mencoba menyingkirkan kesungkanan dan mengumpulkan keberanian untuk berbicara di depan sampeyan.
Sudah seminggu tapi aku belum juga mengungkapkan uneg-unegku kepadamu. Maka kucoba kembali mengambil bolpen. Membuka tutupnya lalu mulai menggerakkan ujungnya di atas hvs. Kutulis lagi kalimat-kalimat yang dulu pernah kutulis. Aku mencoba terus menulis walau keraguan telah mengahadangku. Empat baris, lima baris, dan… bolpenku terhenti. Aku bingung mencari kata-kata. Aku tidak tahu harus menulis apa lagi. Bayangan sampeyan hadir di depanku. Kulihat kau sedang membaca surat yang sedang kutulis. Kuperhatikan raut wajah sampeyan yang ayu itu. Kutunggu perubahan mimikmu setelah membaca suratku. Ah kau mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Maka kusambar hvs di depanku, kuremas-remas, kulempar ke dinding kamar. Bola kecil itu melayang cepat dan menabrak hidung sampeyan. Di dalam bingkai hitam itu kau berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Ya memang tidak cocok dengan toga dan jubah hitam yang sampeyan pakai. Tapi itulah foto yang paling aku suka. Sampeyan terlihat gagah, tidak manja. Sampeyan tertawa kecil. Ah sampeyan sudah bukan mahasiswi lagi. Dan aku ….
Kata demi kata bersliweran di kepalaku, bertabrakan,bergandengan membentuk ungkapan-ungkapan ketidaksetujuanku pada sampeyan. Ya, ada beberapa hal yang kusayangkan. Mengapa sampeyan tidak seperti dulu lagi. Dari cara sampeyan berpakaian saja aku tiba-tiba merasa ada pagar yang mengelilingi tubuh sampeyan. Ada jarak yang sepertinya sengaja sampeyan buat dengan cara sampeyan bicara. Mengapa tiba-triba semuanya terasa menjadi formal, kaku dan…… menyebalkan. Maaf.
Kata demi kata bersliweran di kepalaku, bertabrakan,bergandengan membentuk kalimat-kalimat yang harus kusampaikan kepda sampeyan. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat dan paling aman untuk menyampaikannya. Seandainya saja kau bisa mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam dadaku, tentu aku tidak perlu repot-repot menulis surat ini. Aku tidak yakin apakah surat ini akan bisa keuselesaikan ataukah akan berakhir menjadi bola kertas dan terhempas di lantai.
Seharusnya aku berbicara langsung di hadapan sampeyan. Itu akan lebih asyik dan kita bisa saling menatap dan beradu pendapat. Tapi aku tidak bisa. Pernah terpikir di kepalaku untuk minta tolong orang lain. Tapi pantaskah menyampaikan kegelisan pribadi lewat orang lain. Walau aku agak ragu aku sudah mencoba minta tolong temanku. Dia malah tertawa. Dia bilang, tak ada gunanya ngomong ke sampeyan. Benarkah sampeyan tidak akan mendengar pendapat kami. Benarkah cara pandang kita sudah benar-benar berbeda. Tidak adakah kemungkinan untuk kita kompromikan.
Ya. Kompromi. Awalnya, saat pertama kali sampeyan menegur dan menyalahkanku karena pakaian yang kupakai, waktu itu aku mencoba menganggap sampeyan sedang lupa. Ya lupa karena baru larut dalam dunia baru. Dunia para birokrat. Sebagai dosen baru, aku bisa memaklumi kalau sampeyan tiba-tiba bersikap aneh.
Begitu juga ketika sampeyan menegurku lagi untuk yang kedua kali. Aku tidak menyalakan sampeyan. Aku masih yakin bahwa sampeyan sebenarnya sepakat denganku. Sampeyan menegurku hanya untuk mematuhi perintah atasan sampeyan. Ya sudah biasa kita dengar bahwa staff baru akan selalu menurut. Aku yakin sampeyan juga merasa tersiksa dengan aturan-aturan konyol itu. Aku memahami kalau kau tidak bisa menolak karena semua orang di komunitas sampeyan tidak ada yang membangkang bahkan hanya mempertanyakannya. Semua menurut dan patuh.
Aku mulai gelisah ketika sampeyan menegurku untuk ketiga kali. Sampeyan telah latah dan mulai benar-benar merasa terganggu ketika melihat orang lain tidak mematuhi aturan yan telah menjajah sampeyan. Ah, walaupun misalnya sampeyan tidak merasa terjajah dengan aturan gila itu, sampeyan tentu tahu bahwa aku dan kawan-kawanku, mungkin juga orang lain merasa dirampas kebebasanya oleh aturan wagu itu. Sekarang aku tidak mengerti seperti apa cara sampeyan berpikir. Maka kutilis surat ini.
Kutulis surat ini karean sampeyan telah menegurku lebih dari tiga kali. Aku tidak bisa bertahan dalam diam. Sepertinya aku memang harus ngomong kepada sampeyan. Mungkin kita perlu diskusi. Ya seharusnya aku tidak menulis surat, melainkan ngomong langsung di hadapanmu. Saling mendengar, menanggapi, dan mengoreksi. Saling menatap dan beradu pendapat. Maaf, sekali lagi maaf. Aku sudah mencobanya dan teryata aku tidak mampu. Ah lebih tepatnya, tidak berani. Maaf
Lewat surat ini aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak bermaksud menghina sampeyan. Sebagai mahasiswa, tentu saja aku menghormati sampeyan. Sampeyan dosen dan aku mahasiswa dan juga temanmu. Bagiku, dosen tidak jauh berbeda dengan guru atau ustadz. Dia adalah orang yang bersedia membantuku dalam menuntut ilmu, menambah dan mengembangkan pengetahuan. Ya, aku tetap menghargai sampeyan walau pakaianku, sampeyan bilang, tidak rapi. Dengan sandal jepit dan kaos tak berkerah aku tetap menghargaimu. Aku tidak bermaksud menghina atau melecehkan sampeyan dan dosen-dosen yang lain walau tidak memakai sepatu dan tidak memakai baju berkerah.
Tapi… kuakui aku memang melanggar aturan kampus. Tapi… kurasa aturan yang tidak tepat wajar saja bila ada yang melanggarnya. Menurutku tidak seharusnya kampus melarang mahasiwa memakai sandal jepit dan kaos. Aku sepakat bila sampeyan bilang: Sebaiknya orang berpakaian rapi. Tapi menurutku rapi tidak berarti kemeja dan sepatu. Dulu sampeyan tidak pernah ribut atau sekedar mempertanyakan caraku berpakaian. Padahal waktu itu aku sering bertamu ke rumamu setidaknya seminggu sekali. Padahal aku hampir selalu memakai kaos dan sandal japit. Persis bila aku ke kampus. Dan tentu kau masih ingat ketika suatu kali aku datang dengan dandanan yang berbeda; kemeja lengan panjang, dimasukkan ke celana, pakai ikat pinggang, dan bersepatu. Sampeyan malah menertawakanku dan waktu aku pamit sampeyan membisiki telingaku sambil mencubit lenganku; kalau ke sini jangan berpakaian seperti ini lagi. Dulu sampeyan juga tidak merisaukan kaos dan sandal japitku walau kupakai ke kampus. Mengapa sekarang berkali-kali menegurku di kampus. Dan waktu kita bertemu di rumah, sampeyan selalu mengungkit-ngungkit masalah itu. Aku tidak mau ribut, maka aku lebih memilih diam. Sejak saat itu. Kencan kita tak indah lagi.
Mungkin sampeyan akan bilang bahwa kita harus menyesuaikan dengan lingkungan kita. Kita harus berpakaian sesuai dengan tempat dan suasana saat itu. Kalau main ke rumah boleh saja berpakaian santai, tapi kalau berangkat ke kampus harus rapi dan formal.
Ya kita harus menyesuaikan pakaian kita dengan kondisi dan aktivitas yang akan kita lakukan. Aku lebih memilih sandal jepit dari pada sepatu bukan berarti aku membenci sepatu. Aku kadang memakai sepatu juga. Mengapa aku tidak memakai sepatu ke kampus? Karena menurutku untuk berangkat ke kampus tidak perlu berlari-lari. Aktivitas di kampus tidak banyak membutuhkan mobilitas. Aktivitas di kampus lebih banyak duduk dan diam. Oleh karena itu aku lebih suka pakai sandal jepit. Sandal jepit tidak seberat sepatu, lebih santai dan kalau mau pergi ke kamar mandi tidak repot. Sandal jepit telah teruji tahan air, serba guna.
Aku tidak tahu mengapa anak-anak sekolah diwajibkan memakai sepatu. Dulu waktu aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah. Aku dan teman-teman kelas enam diwajibkan memakai sepatu tapi kaki kami tidak tahan. Kalau pakai sepatu, kaki kami terasa panas, gerah. Sering kali kami melepas dan meninggalkannya teronggok di bawah bangku. Waktu istirahat, kami bermain dan pergi ke warung untuk jajan, kaki telanjang. Kalau pulang kami tenteng seperti menenteng kepiting.
Aku masih ingat ceramah kepala sekolah waktu upacara bendera hari senin. Beliau bilang agar lebih sehat kita harus memakai alas kaki. Di dalam tanah ada banyak kuman yang berbahaya. Oleh karena itu bila berangkat sekolah sebaiknya memakai sepatu. Tapi masalahnya saat itu sepatu terlalu mahal bagi kami, anak-anak desa. Bahkan tidak semua murid punya sandal japit sekalipun dan pak guru bilang, dari pada pakai sandal jepit lebih baik telanjang kaki. Jadi, kurasa saat itu pak kepala sekolah mengajurkan kami bersepatu bukan karena alasan kesehatan. Paling-paling hanya karena telah ditegur pengawas sekolah dari kecamatan.
Sekarang ingin bertanya, sebenarnya apa sih fungsi sepatu?
Sekali lagi aku tetap menghormatimu walau aku berkaos dan bersandal jepit.
Salam.
Yogyakarta, 26 Juli 2004
Salam hangat dari temanmu
Faiq

This page is powered by Blogger. Isn't yours?