<$BlogRSDUrl$>

Wednesday, August 25, 2004

Hari sudah pagi. Aku belum juga mati.
Oleh :Faiq


Hari sudah pagi. Sepi. Hanya aku penghuni rumah ini. Istriku sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Anakku, tiga-tiganya sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri. Sekarang mereka sedang menjalani hari seperti aku dulu. Tinggal di rumah yang ramai. Ada anak-anak. Kadang ada tawa dan canda ceria. Kadang ada teriakan dan makian marah. Kadang ada jerit dan tangis. Suatu hari nanti mereka pasti akan mengalami apa yang kualami sekarang. Anak-anak itu, satu persatu akan pergi meninggalkan rumah. Setelah itu tinggal menunggu pasangan hidupnya pergi untuk selamanya. Apa lagi kalau bukan sepi yang terasa, bila setiap hari sendirian. Rumah terasa terlalu besar, kosong dan hampa. Tapi mungkin tidak persis seperti itu. Memang, di dunia ini tidak ada yang benar-benar sama. Yang ada hanya serupa tapi tetap tidak sama.
Hari ini pasti berbeda dengan hari kemarin walaupun banyak hal yang sama. Seperti kemarin, pagi ini kuambil koran yang terselip di salah satu sela jeruji besi gerbang rumah ini. Kubaca sambil duduk di kursi goyang di teras depan. Tentu saja berita hari ini berbeda dengan berita kemarin. Tapi pada dasarnya sama saja. Koran ini selalu bercerita tentang si A yang bicara begini dan si B bilang begitu, kerusuhan di daerah C dan D belum juga selesai, disusul kerusuhan baru di daerah E, bencana alam melanda daerah F, karyawan PT G melakukan mogok masal, ada penemuan teknologi baru oleh ilmuwan H, kecelakaan lalu lintas di jalan I, LSM J mengritik kebijakan K, dan sebagainya, dan sebagainya. Ada juga berita duka kematian di samping berbagai jenis iklan.
Apa yang kumakan hari ini pada dasarnya tidak berbeda dengan kemarin. Kemarin sarapan bubur ayam, sekarang sarapan nasi kuning. Tapi aku masih sarapan di tempat yang sama, di trotoar, tepi jalan, depan perumahan ini. Acara TV setiap hari tentu berbeda tapi tetap itu-itu saja; berita, sinetron, musik, kuis, dialog dengan pakar, dan film. Aku tidak tahu apakah tidurku malam ini sama dengan tidurku kemarin. Sangat mungkin mimpiku hari ini tetap sama dengan mimpiku yang kemarin.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga.
Tadi malam aku mimpi apa? Aku bermimpi seperti kemarin, Persis. Tapi otakku yang sudah tua ini tidak mampu mengingatnya dengan baik. Aku merasa seperti berada di sebuah… ah entahlah. Yang pasti saat itu aku me…. Ah mengapa aku tidak ingat apa yang aku lakukan semalam…. Aneh. Aku tidak tahu mengapa ingatan yang selalu kuasah tiba-tiba semakin lemah. Makin hari semakin sering aku lupa. Kemarin aku bingung mencari-cari kaos putih kesayanganku yang ternyata sudah kupakai. Tadi pagi, aku lupa menaruh korek. Sampai sekarang aku belum menemukannya padahal aku mau menyalakan kompor. Aku ingin bikin kopi.
Sudah lama aku tidak minum kopi. Terakhir kali kuminum kopi adalah puluhan tahun yang lalu. Pagi itu aku duduk di kantin fakultas seorang diri. Teman-teman bekum datang. Aku hanya ditemani secangkir kopi. Sesaat kemudian datanglah dia. Tak perlu kuceritakan bagaimana indahnya perkenalan kami pagi itu. Yang pasti, sejak saat itu aku mulai menjauhi kopi. Sejak kami menikah, istriku mengharamkan kopi untukku. Di dapur kami tidak kopi atau pun teh. Setiap ada tamu istriku selalu menawarkan jeruk, jahe, atau secang. Kadang ada juga tamu yang minta air putih saja.
Maka bertahun-tahun aku selalu mencoba menyelundupkan kopi ke dalam rumah karena aku hanya ingin menikmati kopi di waktu pagi. Sejak dulu, sejak aku belum menikah, terbayang jelas rencanaku; pagi-pagi duduk di beranda rumah membaca koran sambil minum kopi setelah itu menulis sebuah puisi yang akan kubaca-baca dan kubenahi sambil merebus lima butir telur sampai setengah matang. Sambil mandi kulantunkan bait-bait itu,dan kubacakan lagi di meja makan saat sarapan bersama anak-anak dan istri.
Rencana itu hilang. Tak pernah ada kopi di meja bambu dekat kursi goyang saat aku membuka-buka koran. Maka tidak pernah ada puisi lagi di pagi hari. Awalnya aku jengkel dengan larangan isrtriku ini tapi aku tetap ingin menulis puisi. Tapi, setiap kali aku mencoba menulis puisi aku teringat kopi. Hilang semua inspirasi. Ah mungkin aku hanya mencari-cari alasan. Sepertinya aku memang tidak bakat jadi penyair. Tapi, jujur saja aku ingin sekali menulis puisi. Ah seandainya saja istriku tidak…
Suatu siang, sepulang dari mengajar aku sempatkan membeli beberapa sachet kopi instan, kumasukkan ke dalam bekas amplop soal ujian. Amplop coklat itu segera kuselipkan di antara diktat dan buku-buku di meja kamarku. Paginya kuletakkan amplop coklat itu beserta beberapa buku pada meja. Kuambil gelas dan kuisi air panas. Sebuah sendok kecil sudah kusembunyikan di gulungan sarungku. Kau tahu apa yang terjadi? Amplop coklat itu sudah kosong. Tidak ada kopi instan sesachet pun.
Hingga malam tiba korek belum kutemukan. Aku sudah tak ingin menyalakan kompor dan memasak air untuk membuat kopi. Aku butuh korek itu karena sekarang aku ingin membakar koran. Sudah dua hari ini aku gagal membakarnya padahal sudah sejak tiga hari yang lalu aku bertekad untuk tidak membaca koran. Aku tidak mau membaca berita kematian lagi. Aku harus membakar koran itu setiap pagi sebelum aku atau orang lain tergoda untuk membacanya.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga. Mimpi apa aku semalam? Aku tidak bisa mengingatnya. Yang pasti di dalam mimpi itu aku sendirian….
Korek. Mana korek? Aku harus membakar koran itu.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati. Sepi semakin menjadi-jadi.
Seperti kemarin, kutunggu tukang koran itu dengan korek api tergenggam di tangan telapak kiri. Tukang sampah sudah datang. Itu berarti sebentar lagi tukang koran akan segara datang. Aku sudah tak sabar lagi. Api akan menyambutmu wahai koran pagi.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati.
Seperti kemarin kutunggu koran pagi. Telapak kiri menggenggam erat korek api.
Tukang sampah datang. Itu berarti… Eh tukang sampah itu mengajakku bicara. Ah sudah berapa lama aku tidak bicara dengan orang.
“Den, apakah boleh saya minta koran yang kemarin, Den.”
“Apa?”
“Koran kemarin, Den. Bolehkah saya minta koran yang kemarin. Kata teman-teman, foto saya ada di koran. Waktu itu saya sedang lihat-lihat pameran tanaman hias. Katanya saya dapat hadiah karena foto saya diberi tanda bintang. Bolehkah saya minta koran kemarin itu, Den…..”
“Wah.. maaf. Koran yang kemarin sudah tidak ada.”
Tukang sampah itu pergi. Tapi tidak jadi karena tukang koran datang. Aku segera menerima koran pagi ini, sedangkan tukang sampah segera menanyakan apakah tukang koran masih punya koran yang kemarin. Aku segera masuk. Aku ingin secepatnya membakar koran ini di belakang rumah tapi… aku tidak bisa. Kulemapr koran itu ke lantai.
Lamat-lamat kudengar tukang koran dan tukang sampah tawar menawar. Aku keluar. Tukangsamapah sudah pergi.
“Kau jual berapa koran kemarin itu?”
“Seharga koran baru.”
“Kejam kamu.”
“Bapak lebih kejam. Bapak kan punya koran kemarin mengapa tidak diberikan saja. Kalau memang tidak boleh, bilang saja. Tak perlu bilang sudah tidak ada. Masa koran baru kemarin kok sudah tidak ada.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menannyakan kembali apakah langganan koranku bisa dihentikan? Dia bilang bisa tapi uangnya tetap tidak bisa dikembalikan.
Hari sudah pagi. Aku belum mati. Tapi hari ini tidak akan ada koran terselip di pintu gerbang itu. Tebakanku salah. Di sini, di jeruji besi ini ada koran.
“Itu buat Raden. Koran Raden yang kemarin itu kan tidak ada.”
“Wah. Tidak. Tidak. Ohya. Bagaimana ? Dapat hadia berapa?”
“Wah hadiah itu tidak bisa diambil, Den.”
“Kenapa?”
“Saya tidak punya KTP.”
Yogyakarta, Juli 2004

This page is powered by Blogger. Isn't yours?