<$BlogRSDUrl$>

Wednesday, August 25, 2004

Kuning yang menjijikkan


Katanya cerita ini benar-benar terjadi. Aku hanya mendengarnya dari teman yang baru kukenal tapi aku percaya padanya. Dia belum pernah berbohong padaku. Makanya aku percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi.
Cerita ini kudengar saat kami makan siang di warung depan kantor. Kami duduk berhadapan di meja kursi yang diletakkan di bawah pohon beringin yang rindang.
Sehabis makan masih terasa belum lengkap kalau kami belum merokok. Entah berapa batang yang telah kami bakar selama ini. Aku tidak tahu dan tidak pernah mencoba menghitungnya. Tapi aku tahu, dia juga tahu bahwa merokok mengganggu kesehatan dan bikin hidup boros. Tapi kami tetap merokok.
Masih terasa istirahat kami bila habis makan langsung berdiri dan kembali masuk ke kantor. Maka sambil merokok kami pun ngrumpi walau aku laki-laki dan dia juga laki-laki. Jangan pernah percaya kalau temanmu bilang bahwa ngrumpi adalah hobi para wanita.
Aku tidak begitu ingat mengapa siang itu dia bercerita tentang warna kuning. Aku tidak tahu apakah dia juga membenci warna kuning itu. Kejadian itu katanya terjadi di balai desa pada suatu pagi.
Pagi-pagi sekali pak lurah sudah berangkat ke Balai desa. Speaker yang berada di atas atap balai desa itu memperkeras suara pak lurah yang sedang memberikan pengumuman. Pengumuman. Siang ini adalah hari pembuatan KTP yang baru. Sederek-sederek semua harus datang ke balai desa untuk dipoto dan tandatangan. Yang tidak datang berarti tidak punya KTP yang sah. Itu berarti tidak mendukung pembangunan.
Tidak lama kemudian orang-orang sudah memenuhi halaman balai desa, tapi petugas yang memotret belum datang. Orang-orang menunggu dan menunggu. Tidak banyak yang berani untuk sekedar menggerutu. Kalaupun ada yang menggerutu atau mengeluh pasti tidak ada yang menanggapi. Semua memilih diam. Diam itu berarti lebih aman. Tak banyak yang berani menggunjing pak lurah di tempat umum seperti ini. Karena kalau saja pak lurah atau salah satu pamong desa mendengar itu berarti segala urusannya akan menjadi ruwet. Bisa-bisa ada polisi datang ke rumah dan mengajaknya pergi ke kota dan tak pernah kembali sampai setidaknya satu bulan.
Orang-orang segera berdiri ketika ada yang mendnegar bahwa tukang poto sudah datang. Tukang poto itu minta diambilkan sebuah bangku panjang. Selembar kain hijau dibentangkan dan ditempel di tembok. Bangku di letakkan di depan bentangan kain itu.
Pamong desa yang duduk mengahadi meja dengan kertas-kertas memanggil nama demi nama untuk diminta masuk ke balai desa. Delapan orang duduk di bangku dan delapan orang lagi berdiri di belakangnya. Dua orang pamong desa membantu membentangkan kain hijau di belakang punggung dan kepala delapan orang yang duduk di bangku.
Tukang poto masih sibuk menyiapkan alat-alatnya.
Tiba-tiba ada bocah kecil yang nyetetuk. Hidup petiga.
Celetukan itu disambut dengan senyuman, maksudku tawa yang ditahan. Tapi muka pak luarah tiba-tiba jadi jelek sekali. Ketika tukang poto sudah memberi aba-aba dan siap mengambil gambar, pak lurah menghentikannya. Katanya kain itu harus diganti. Dia memerintan pamong untuk mencari kain kuning.
Orang-orang harus menunggu. Tidak banyak yang berani menggerutu.
Dengan keringat yang bercucuran pamong itu datang dengan membawa dua gulung kain kuning. Kain hijau di copot dan diganti kain kuning.
Sebelum kembali memeberi aba-ba dan mengambil gambar, tukang poto itu bilang pada pak lurah. Pak lurah, poto KTP itu kan hitam putih. Jadi, kain kuning itu nanti juga akan jadi putih.
Pak lurah hanya mengangguk dengan wajah yang semakin jelek.

Dikembangkan dari cerita Mail

This page is powered by Blogger. Isn't yours?