<$BlogRSDUrl$>

Wednesday, December 08, 2004

HUJAN-HUJANAN DI DALAM RUMAH 

HUJAN-HUJANAN DI DALAM RUMAH
Cerita anak oleh Faiq Aminuddin

Bila hujan turun, kau tentu senang. Aku juga senang.

Lihat. Langit mulai mendung. Angin sudah bau air hujan.
Lihat. Ada air yang menetes di ujung hidungku. Tengadahkan tanganmu ke atas langit nanti pasti kau diberi beberapa tetes air. Hai, Ayo masuk ke rumah. Hujan sudah mulai turun. Ayo cepat. Nanti baju kita basah. Ayolah, nanti ibu marah lho. Ayo kita lihat hujan di balik jendela saja.

Lihat. Bunga-bunga di depan rumah itu. Dia pasti merasa sangat segar. Saking gembiranya dia sampai menari-nari. Ya, bergoyang meliuk-liuk bersama teman-temannya. Kembangnya basah. Daunnya basah. Tangkainya basah. Akarnya yang di dalam tanah pasti basah juga. Lihat pohon asam di pojok halaman itu. Dia seperti itik yang baru saja mentas dari kolam. Titik-titik air bercipratan ke sana ke mari ketika itik itu mengibas-ngibaskan sayapnya. Pohon asam itu juga begitu. Daun-daunya yang kecil-kecil itu menadahi guyuran air hujan. Ketika ada angin agak kecang, pohon asam akan bergoyang-goyang sehingga titik air berjatuhan dari sela-sela daun-daunnya. Setiap titik air yang jatuh, menimpa air yang mengalir di tanah, membentuk gelombang kecil melingkar. Ya lingkaran gelombang itu kecil-kecil, lalu membesar hingga saling bertabrakan atau malah ketetesan air lagi dan jadi lingkaran baru lagi… Sebenarnya aku juga ingin hujan-hujanan. Ya hujan-hujanan lagi seperti kemarin. Kemarin kudengar ibu berteriak-teriak memanggilku. Ibu menyuruhku masuk ke rumah. Ibu melarangku hujan-hujanan. Tapi aku tetap berlari-lari di halaman rumah, menikmati guyuran air hujan. Aku berlari ke halaman sekolah. Di sana banyak teman-teman. Kami berjingkrak-jingkrak, berteriak-teriak, berkecipak, bermain air sepuasnya. Asyik sekali. Ya sangat menyenangkan. Tapi, benar kata ibu. Tadi malam badanku demam. Tenggorokanku gatal hingga aku batuk. Kata ibu itulah hasil dari hujan-hujanan. Sampai sekarang batukku belum sembuh. Kata ibu, kalau mau batukku lebih parah lagi aku boleh hujan-hujanan lagi. Hai, usaplah kaca jendelamu. Iya lama-lama kaca jendela jadi buram karena berembun. Usaplah dengan tanganmu biar bening lagi. Lihat. Ada teman-temanku yang sedang hujan-hujanan. Mereka pasti menuju ke halaman sekolah. Sekarang mereka tertawa-tawa, nanti malam baru tahu rasa. Sekarang senang-senang, nanti malam kesakitan. Badan demam dan tengorokan gatal. Rasain! Eh. Aku tidak boleh berdoa seperti itu ya?! Seharusnya aku berdoa semoga teman-teman kita tetap sehat. Ya tuhan, lindungilah teman-temanku. Semoga teman-temanku yang hujan-hujanan itu tidak terserang demam dan batuk sepertiku. Amin. Ah hujan mulai reda. Tinggal gerimis. Ayo kita keluar. Hai, lihat. Di sana ada pelangi. Merah, kuning, hijau, biru. Oh indahnya. Aku ingin naik ke langit lewat pelangi itu. Kata orang pelangi itu adalah selendang yang digunanakan bidadari untuk turun ke bumi. Bidadari itu mau mandi. Tapi mengapa bidadari mau mandi di sungai bumi? Mungkin sungai di langit kering karena airnya turun ke bumi jadi hujan. Ah itu bapak sudah pulang. Bapak pasti dari sungai. Setiap turun hujan, bapak memang pergi ke sungai. Bapak menacri ikan dengan jala. Kata bapak, kalau hujan turun, biasanya banyak ikan yang berenang ke pinggir. Jadi, mudah ditangkap.
“Pak, apakah bapak lihat bidadari?"
“Bidadari?! Di mana?”
“Itu ada pelangi. Pasti ada bidadari mandi di sungai sana. Tadi, bapak tidak ketemu bidadari?”
“Wah mungkin bidadari itu tidak jadi mandi di sungai.”
“Kenapa, Pak?”
“Lha sungainya kotor. Airnya kuning keruh dan banyak sampah-sampah yang ikut hanyut. Mungkin akan datang banjir. Ayo kita siap-siap.”

Aduuh tahun kemarin kan sudah banjir. Masa sekarang banjir lagi. Tapi mungkin bidadari itu bisa menolong kita. Hai bidadari tolong jagalah sungai agar airnya tidak meluap ke kampung. Hai bidadari. Apakah kau mendengar suaraku?[]

Labels:


This page is powered by Blogger. Isn't yours?