<$BlogRSDUrl$>

Wednesday, December 08, 2004

Mengapa Langit Menangis Terus, Bu?
Cerpen oleh Faiq Aminuddin

Hujan belum reda juga padahal sudah sejak kemarin pagi. Ya, sudah sehari semalam hujan terus. Seakan tak ada habisnya air dilangit itu. Dulu, hujan adalah kabar gembira bagi kami tapi sekarang tidak. Sekarang setiap tetes air hujan membuatku merasa sepi dan sedih. Tak pernah lagi kudengar suara khas yang memanggilku, “Diajeng…”

Hari sudah siang tapi udara terasa sangat dingin. Malas sekali bangkit dari tempat tidur. Eh tapi si Ali sudah tidak ada di sampingku. Ah, ibu macam apa aku ini. Kanga bangun tidur kalah pagi dengan si bungsu yang masih kecil. Ali, dialah yang bisa mengurangi rasa sepi di rumah ini. Untung dulu aku tidak ikut KB. Aku tidak bisa membayangkan betapa sepinya rumah ini, bila dulu kami ikut KB dan merasa cukup dengan dua anak saja. Syukurlah aku masih punya Ali yang manis.
Lela, anak pertamaku sudah tidak di sini lagi. Dia tinggal di rumah suaminya. Aku tidak bisa memaksanya untuk sering-sering berkunjung kemari. Seorang istri kan harus nurut suaminya. Adapun adiknya, Yusuf, sudah lama tidak betah di rumah. Dialah yang pertama kali pergi meninggalkan rumah ini. Sekarang yang di rumah tinggal si Ali yang masih kecil. Ohya kemana anak itu. Kok bisa ya aku bangun sesiang ini. Jangan-jangan….
Ah, paling karena kecapekan. Semalam aku tidur sekitar jam dua-an, setelah menggoreng dan membungkusi kripik singkong. Pagi ini aku akan menitipkannya ke warung-warung sambil menagih hasil yang kemarin. Hasilnya lumayan. Cukup buat beli beras. Syukur kemarin ada juga tetangga yang pesan lumayan banyak. Katanya mau dikirim ke anaknya yang kuliah di kota. Ah… Kalau saja Kang Amin ada di rumah, pekerjaan ini akan terasa sangat ringan. Biasanya setelah menggoreng aku dipersilahkan oleh Kang Amin untuk tidur. Biarlah aku saja yang membungkusi, begitu kata Kang Amin. Sekarang Kang Amin tidak ada di rumah.
Mangkel dan jengkel rasanya bila ingat kejadian itu. Kalau Kang Amin tidak menghiburku, mungkin aku sudah gila karena stres. Kang Amin selalu bilang untuk apa menangis dan meratapi nasib. Yang perlu kita lakukan adalah menghadapinya bukan meratapi atau menangisi. Serahkan semua pada Allah. Kita hanya perlu berusaha. Mari kita jadikan musibah itu sebagai cambuk untuk kita bekerja. Aku tahu maksud Kang Amin. Sekarang kami harus bekerja keras.
Sebenarnya aku tidak rela Kang Amin kerja di luar negeri tapi mau bagaimana lagi. Keadaan memaksa begitu. Padahal dulu Kang Amin sering mewanti-wanti pada Lela dan Yusuf agar tidak jadi buruh. Kerja apa saja boleh tapi kalau bisa jangan jadi buruh. Lebih baik bertani dari pada jadi karyawan perusahaan mebel di kota. Lebih baik jadi nelayan atau jualan ikan dari pada jadi karyawan perusahaan tekstil.
Tapi sekarang malah Kang Amin sendiri yang jadi buruh. Ya Allah apa salah kami. Mengapa Kang Amin harus menjalani pekerjaan yang paling dibencinya sendiri. Mengapa Kang harus jadi TKI. Mengapa harus jauh-jauh ke Arab Saudi. Kang Amin tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Kang Amin hanya bilang, “Lha mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin ke sawah lagi. Aku malu… aku… Ah entahlah. Mungkin memang sebaiknya aku pergi dari desa ini. Ya, kumohon Diajeng tidak keberatan aku pergi ke luar negeri.” Itulah pertama kali aku melihat Kang Amin bersedih.
Aku hanya bisa berdoa semoga Kang Amin mendapat kerja yang enak. Dapat juragan yang baik. Sehingga bisa kerja dengan tenang dan dapat kirim uang setiap bulan buat mengangsur hutang-hutang kami. Dulu, aku tidak menyangka sama sekali kalau akhirnya kami punya hutang sampai jutaan begini.
Kang Amin adalah orang yang sangat tidak suka dengan hutang. Jangan pernah hutang serupiahpun, begitu kata Kang Amin dengan serius. Bahkan Kang Amin mengajariku menabung. Dulu, sebelum kami punya anak, Kang Amin sudah mengajak menabung. Selain buat jaga-jaga kebutuhan yang terduga, ternyata Kang Amin punya rencana buat masa depan anak-anaknya. Sedikit demi sedikit kami sisihkan hasil panen untuk ditabung. Ketika Ali lahir, kami sudah bisa membeli sawah lagi. Sawah itu akan kami berikan pada Lela. Itu kalau suaminya mau bertani. Kalau tidak, bisa saja kami menjual sawah itu dan uangnya bisa digunakan modal untuk dagang. Dan kami juga sudah mulai menabung lagi untuk membeli sawah sebaga jatah Yusuf.
Tapi sekarang kami tidak punya sawah lagi. Semua kami jual. Sawah yang kami yang beli dengan tabungan dan kami berikan pada Lela sudah kami jual buat melunasi hutang. Ya, baru kali ini kami punya hutang. Sekali punya hutang, lha kok ya sebegitu banyak. Aduh tobat… tobat. Uhhh Mangkel sekali aku kalau ingat kejadian itu.
Malam itu tiba-tiba ada beberapa tetangga datang bertamu. Seperti biasa, Kang Amin memintaku menyiapkan makan malam tamu-tamu itu. Kami makan malam bersama. Ya Aku dan Ali makan bersama Kang Ali dan tamu-tamu itu. Tapi tidak seperti biasanya kalau ada tamu. Malam itu Kang Ali lebih banyak diam. Dan sesudah makan, kudengar Kang Ali berbicara dengan suara agak keras. Itu tandanya Kang Ali marah. Aku jadi takut sekali. Sangat jarang Kang Ali Marah. Kang Ali itu orangnya sangat sabar. Kalau sampai Kang Ali marah itu berarti ….
Dari beberapa pembicaraan yang aku dengar aku juga kaget. Aku tidak menyangka kalau para tetangga itu datang untuk meminta Kang Ali mencalonkan diri jadi Modin. Ya sudah pasti Kang Amin menolak. Aku tahu Kang Amin tidak ingin jadi pejabat walau setingkat RT pun. Kang Amin hanya ingin jadi petani. Lebih enak jadi wong biasa. Aku itu tidak bisa kalau ngurusi orang banyak. Lha wong ngurusi keluarga sendiri saja kangelan, begitu kata Kang Amin. “Menurut Diajeng bagaimana?” Aku tidak bisa menjawab. Aku diam saja tapi ternyata Kang Amin menunggu pendapatku. Maka kubilang, kalau Kang Amin tidak mau jadi Modin, ya tidak usah nyalon.
Tapi malam berikutnya tamu-tamu itu datang lagi. Kang Amin tetap menolak tapi mereka terus menerus merayu agar Kang Amin mau. Bahkan mereka bersedia mengurus semua surat-surat yang diperlukan. Menurut mereka, kami tidak perlu mengeluarkan biaya pendaftaran. “Pak Amin tidak perlu bagi-bagi uang sabet. Tidak usah kampanye. Tidak perlu membagi-bagi uang. Lha wong mereka sendiri kok yang ingin Pak Amin jadi Modin. Tidak beri uangpun mereka pasti mendukung Pak Amin. Kalaupun ada yang tidak mendukung paling hanya sedikit. Ya tidak lebih dari sepertiga. Pokoknya yang penting Pak Amin mau.” Aku ingat benar kalimat itu. Ya sampai sekarang aku masih ingat. Tapi mereka, tamu-tamu itu cepat sekali melupakannya.
Aku masih bisa menerima kalau hanya harus belanja tiap hari karena setiap hari selalu ada tamu yang datang. Semakin dekat dengan hari pemilihan semakin banyak tamu yang datang. Itu sudah jadi, kebiasaan. Dan kami tahu, itu berarti kami harus menyiapkan kopi, teh, berbagai panganan, dan tentu saja rokok. Dari hari ke hari pengeluaran semakin tidak terkontrol. Yang belanja bukan aku karena mereka, para tamu-tamu itu telah membentuk panitia. Tiap hari mereka menyodorkan laopran bahwa semalam telah membeli sekian bungkus teh, kopi, kacang, pisang goreng, sekian kilo gula pasir, dan sekian bungkus rokok. Mau tidak mau harus mengganti uang yang mereka keluarkan.
Begitu setiap hari dan semakin tidak terkendali. Aku seperti terseret arus. Tak terasa uang tabungan kami habis. Mereka, para panitia itu tidak mau tahu. Mereka terus menodong kami Ya menodong. Apa lagi kalau bukan menodong namanya. Lha wong mereka memaksa…Kalau aku mengeluh mereka bilang pelit. “Wah baru jadi calon Modi saja sudah sombong lupa sama tetangga apalagi nanti kalau jadi…” Uhhh mangkel dan jengkel aku bila ingat kejadian itu.
Aku tidak menyagka kalau jumlahnya sampai enam juta lebih. Aku tidak yakin uang itu hanya untuk makan minum dan rokok. Panitia bilang mereka harus memberi amplo pada polisi juga. Ya kulihat hampir setaip hari ada beberapa polisi yang datang bertamu, makan, ngobrol sebentar kemudian pulang. Aku tidak menyangka kalau semua polisi itu datang untuk minta amplop.
Ibu-ibu tetanggaku menghiburku bahwa semua yang kami keluarkan itu tidak akan sia-sia. “Pak Amin pasti jadi,” kata mereka dengan sangat yakin. “Kalau dihitung seperti orang dagang memang rugi. Tapi ini kan bukan dagang. Nama dan kehormatan memang mahal,” kata yang lain.
Waktu pemilihan aku terkejut setengah mati. Ternyata Kang Amin tidak mendapat suara yang banyak. Mungkin hanya sepertiga dari jumlah pemilih. Dan mereka, para panitia itu malah menggerurutu dan menyalahkan kami. “Salah sendiri tidak mau keluar modal.” Ya kami menolak ketika panitia minta kami lima juta lagi untuk dibagi-bagi pada penduduk. Aku tidak mau karena aku masih ingat kata-kata mereka. Bukankah dulu mereka bilang bahwa kami tidak perlu membagi-bagi uang.
“Mengapa menangis terus, Bu?” Suara Ali membuyarkan lamunanku. Menangis?! Kuraba pipiku, tidak ada air mata. Ya Aku mau menangis lagi walaupun sedih dan mangkel setengah mati. Apakah Ali tahu kalau aku sedang teringat bapaknya dan sedang sedih bercampur mangkel.
“Menangis?! Siapa yang menangis, Nak?”
“Mengapa langit menangis terus, Bu?”
“O langit…Emmm… Mungkin karena… Ah ibu tidak tahu, Nak. Tapi kira-kira karena apa ya kok dia menangis terus?”
“Karena dia lapar.”
Kuanggukkan kepala membenarkan jawabannya lalu kedekap dia dan kubawa kekamar mandi. “Sekarang mandi dulu ya. Setelah itu nanti kita buat sarapan.”

This page is powered by Blogger. Isn't yours?