Wednesday, December 08, 2004
Selaksa Cerita di Mataku
Ayo. Tataplah mataku, sayang. Jangan grogi. Jangan keki. Tak perlu salah tingkah. Temukanlah selaksa cerita di sini. Cerita orang-orang biasa. Orang-orang seperti kamu.
Ayo. Pandanglah mataku yang bening ini. Mata dengan selaksa cerita. Ayo pandanglah sepuas hatimu. Tapi tidak perlu melotot begitu. Kalau memang mau berkedip tak perlu ditahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini, di depanmu. Menemanimu dengan berbagai cerita. Cerita apa saja. Tentang kumismu, mungkin. Atau tentang lipstikku. Atau tentang tetanggamu yang selalu sarapan dengan nasi pecel. Atau tentang got depan kosmu yang mampet. Atau tentang kebiasaanku minum kopi dan merokok. Ayo. Pandanglah mataku. Masuklah dan berenanglah di danau ini.
Kau tahu?
Walau aku baru lahir sekitar dua tahun yang lalu tapi sebenarnya aku sebaya denganmu. Mungkin kau tidak percaya dan segera berteriak “Ah ya nggak logis. Kalau kau lahir dua tahun yang lalu, umurmu ya dua tahun. Kau nggak mungkin bisa sebaya denganku. Aku lahir tiga puluh tahun yang lalu, sedang kau baru dua tahun.” Baiklah. Baiklah.. Emm, kalau begitu anggap saja aku gadis dua puluh sembilan tahun. Lupakan saja tahun kelahiranku. Yang pasti, sejak kelahiranku dua tahun yang lalu sampai sekarang aku sudah lahir dua puluh delapan kali. Ya lahir lagi setiap bulan. Itu kalau tidak ada halangan. Dan ini adalah kelahiranku yang ke dua puluh sembilan. Kau boleh saja menganggapku bayi yang masih amis. Tapi maaf. Aku terlanjur merasa sebaya denganmu. Ya anggap saja aku gadis dua sembilan tahun. Sudah tua dan sudah waktunya menikah. Tapi pacarku payah. Dia selalu bilang ‘belum siap’ setiap kali kuajak menikah. Tapi dia baik kok. Dialah yang sering mengantarkanku berpetualang ke mana-mana. Setiap akhir bulan dia selalu cemas menunggu kelahiranku. Dia selalu menunggu aku yang baru. Kau juga begitu kan?! Aku nggak tahu apakah kau selalu menemuiku setiap bulan. Kadang keadaan tidak selamany berpihak pada kita. Jadi, wajar saja bila kalau kita pada bulan tertentu terpaksa tidak bertemu.
Oh ya. Kuingatkan lagi kau jangan kaget bila beberapa bulan nanti, aku jauh lebih tua darimu. Ayo mumpung aku masih muda, mumpung kita masih sebaya, pandanglah mataku. Masuklah ke dalam.
Jangan khawatir aku akan selalu mengujungimu. Begitu aku lahir, maka aku pacarku akan segera mengantarku jalan-jalan ke Solo, Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung, Padang, Makasar, Pontianak, Bali, Semarang, Banten, Palangkarya. Dan tentu saja tidak lupa ke tempatmu. Kaulah tujuanku. Dulu aku pernah juga diajak jalan-jalan ke Madiun, Purwokerto, Jember, dan secara nggak sengaja nyasar juga ke kota-kota yang lain. Tapi karena pacarku nggak sekaya yang kau sangka, dia tidak bias menuruti semua kemauanku. Aku ingin mengunjungi ingin jalan-jalan ke semua kota, ke semua desa sampai ke pelosok-pelosok. Ya keinginan yang gila memang. Tapi pacaraku tidak mengatakan aku gila. Dia hanya berbisik pelan di telinga kananku, “Uang kita sudah habis, saying.”
Kadang dia mengerutu kesal “Aku nggak tahu maksud teman-temanmu. Tiap bulan mereka menikmati matamu yang penuh cerita ini tapi mereka terus saja ngutang. Kalau begini terus-terusan bisa-bisa aku kita mati kelaparan, bisa-bisa kita tidak bisa membayar dukun beranak untuk kelahiranmu bulan depan. Kalaupun kau bisa lahir, mungkin kita terpaksa akan duduk di rumah atau sekedar jalan kaki keliling jogja. Kita tidak akan bisa menemui kekasih-kekasihmu di berbagi kota seperti ini.”
Kadang ada beberapa teman di daerah lain yang mengirim surat untukku. Mereka ingin aku juga mampir ke sana. Tapi seperti yang kukatakan tadi, pacarku tidak sekaya yang kau sangka. Jadi, aku harus menunda rencana perajalanan ke tempat yang baru itu. Aku tahu, teman-teman di sana sangat ingin memandangi mataku yang penuh cerita ini. Tapi ya bagaimana lagi. Memang begini keadaan kami. Bahkan saking miskinnya pacarku, kadang aku berkunjung ke tempatmu saja sangat terlambat. Maafkan aku. Kadang, memang, pacarku mesti cari hutangan untuk ongkos jalan-jalan kami. Kalaupun sudah ada uang, hampir tidak pernah cukup untuk beli tiket pesawat yang katanya sudah makin murah sekali itu. Ah lagian aku benci peswat. Suaranya berisik sekali.
Seharusnya, kalau kau sudah tidak melihat lagi bulan di langit malam, itu artinya aku harus segera keluar dari rahim ibu. Ya, seperti pernah kukatakan padamu, aku berjanji akan sudah duduk manis di depanmu ketika bulan sudah mulai muncul lagi di langit malam. Tapi maaf. Sekali lagi maaf. Sering kali aku lahir di saat bulan purnama. Sering kali ibu terlambat hamil. Yang paling menyebalkan adalah kalau aku terlalu lama di perut ibu. Kau tahukan betapa sempitnya ruangan di dalam rahim. Apalagi ibuku kurus sekali. Eh langsing dan semampai, maksudku. Iya sangat menyebalkan kalau sudah waktunya lahir tapi aku tidak bisa lahir karena harus menunggu dukun beranak yang sedang banyak orderan. Ibu harus antri sambil sesekali meringis dan mengelus perutnya yang kutendangi. Ibi tidak pernah marah. Ibu selalu menyanyi. Menyanyi apa saja untuk menghibur hatinya. “Sabar, nak. Sabar…” katanya selalu sambil mengelus perutnya.
Eh menurutmu aku cantik nggak? Cantik dan menarik kan? Apalagi mataku penuh dengan cerita. Kau pasti ketagihan bercinta denganku. Lagian tarifnya murah kan?! Hanya lima ribu rupiah. Dulu, bahkan lebih murah lagi. Pacarku pernah debat dengan ibu sampai larut malam karena ibu ingin menaikkan traif itu tapi pacarku nggak setuju. Jadi sampai sekarang, hanya dengan lima ripu rupiah kau bisa memandang mataku sepuas hatimu. Kau boleh memandang mataku selama kau mau. Kau juga boleh masuk ke dalam mataku dan berenang-renang di danau cerita. Kalau kau nggak bisa berenang kau bisa berendam saja. Di sana ada ikan yang bisa bercerita. Di sana ada bunga yang bisa berkisah. Di sana ada batu yang bisa mendongeng. Di sana kau bisa ngobrol dengan bayanganmu sendiri.
Siapa ibuku? Siapa ayahku?
Yang aku tahu, ibuku bercinta dengan banyak orang. Banyak manusia, pria maupun wanita. Yang pasti mereka bukan orang-orang yang terkenal. Mereka manusia biasa. Apakah ibuku pelacur? Ah boleh saja kalau ada yang bilang begitu. Yang pasti ibuku selalu meminta mencium mata teman tidurnya. Mencium mata lama sekali. Hingga tiba-tiba ibu sudah berada di dalam. Berenang-renang di danau mata. Berenang memutari danau, kadang bermain-main dengan ikan-ikan. Ibu menggambar ikan itu di rahimnya hingga tiba-tiba ikan di mataku semakin bertambah.
Sepertinya kau juga pantas jadi ayah baruku. Ayolah. Bercintalah dengan ibu.Ibuku cantik dan baik hati lho. Kalau kau mau kau pasti diberi oleh-oleh seperti tamu-tamu yang lain. Kalau dilihat harganya memang nggak mahal. Paling lima puluh ribuan. Dan sebagai bapak, pacarku akan mengantarkanku padamu. Kau boleh memandangi mataku yang penuh cerita ini sepuasmu. Kau tidak perlu membacar lima ribu. Bahkan kau boleh menjuaku. Itu kalau kau tega. Aku lebih suka kalau kau mengajakku jalan-jalan, main ke tempat teman-temanmu. Aku tahu, masih banyak orang yang belum aku kenal. Masih banyak orang yang belum mengenalku. Tabunganku belum cukup untuk membeli HP dengan nomor 0809XXX. Bahkan buat pasang iklanpun belum cukup. Selama ini aku hanya bisa merayu para penyiar radio untuk mengiklankan aku. Sebagai imbalannya kubuat tato wajahnya di punggunggku.
Kau tahu? Ibu dan pacarku mati-matian menghidupiku. Uang hasil ‘pelacuranku’ sangat tidak cukup untuk biaya hidup kami. Kadang kami datang ke para pengusaha tapi sepertinya mereka tidak begitu tertarik denganku. Mungkin aku harus tahu diri bahwa aku pergaulanku memang bukan orang-orang seperti mereka.
Mungkin kau agak sebel denganku karena tampilanku selalu berubah-ubah. Kau tak perlu sebel. Aku yakin sebenarnya kau tidak sebel. Kau hanya terkejut. Ya itulah yang hobiku, Aku suka sekali memberi kejutan. Aku ingin kau tidak bisa menebak bulan depan aku aku pakai apa. Aku ingin kau tidak bisa menebak ikan apa saja yang ada di mataku. Aku ingin, begitu melihatku, matamu terbelalak, mulutmu tiba-tiba terbuka sehingga udara menyeruak masuk memenuhi dadamu dan kaku memaki tanpa sadar. Aku ingin kau gemes dan gregetan melihat penampilanku. Aku ingin kau pingsan begitu melihat mataku.
Aku berjanji suatu saat nanti aku akan duduk manis di depanmu, menyapamu yang masih terbengong-bengong tidak percaya karena penampilanku jauh diluar dugaanmu, kau tidak akan menemukan ikan di dalam danau mataku. Yang ada hanya….ah sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Bila saja kau tidak mengenali bau tubuhku kau tentu bertanya dengan nada heran, siapakah anda?
Ya aku suka itu. Aku akan memberi senyum yang paling manis pada setiap orang yang memaki karena mendapat surprise dariku. Ya, kau juga boleh memaki. Memaki apa saja. Makian sekasar amplas juga akan aku balas dengan senyuman yang sangat manis. Kau tahu? Di keluargaku, makian adalah hal yang sangat biasa. Bagi kami, makian merupakan ungkapan kasih sayang. Jadi, maaf bila di dalam danau mataku kau menemukan ikan yang memaki-maki.
Ayo. Tataplah mataku, sayang. Jangan grogi. Jangan keki. Tak perlu salah tingkah. Temukanlah selaksa cerita di sini. Cerita orang-orang biasa. Orang-orang seperti kamu.
Ayo. Pandanglah mataku yang bening ini. Mata dengan selaksa cerita. Ayo pandanglah sepuas hatimu. Tapi tidak perlu melotot begitu. Kalau memang mau berkedip tak perlu ditahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini, di depanmu. Menemanimu dengan berbagai cerita. Cerita apa saja. Tentang kumismu, mungkin. Atau tentang lipstikku. Atau tentang tetanggamu yang selalu sarapan dengan nasi pecel. Atau tentang got depan kosmu yang mampet. Atau tentang kebiasaanku minum kopi dan merokok. Ayo. Pandanglah mataku. Masuklah dan berenanglah di danau ini.
Kau tahu?
Walau aku baru lahir sekitar dua tahun yang lalu tapi sebenarnya aku sebaya denganmu. Mungkin kau tidak percaya dan segera berteriak “Ah ya nggak logis. Kalau kau lahir dua tahun yang lalu, umurmu ya dua tahun. Kau nggak mungkin bisa sebaya denganku. Aku lahir tiga puluh tahun yang lalu, sedang kau baru dua tahun.” Baiklah. Baiklah.. Emm, kalau begitu anggap saja aku gadis dua puluh sembilan tahun. Lupakan saja tahun kelahiranku. Yang pasti, sejak kelahiranku dua tahun yang lalu sampai sekarang aku sudah lahir dua puluh delapan kali. Ya lahir lagi setiap bulan. Itu kalau tidak ada halangan. Dan ini adalah kelahiranku yang ke dua puluh sembilan. Kau boleh saja menganggapku bayi yang masih amis. Tapi maaf. Aku terlanjur merasa sebaya denganmu. Ya anggap saja aku gadis dua sembilan tahun. Sudah tua dan sudah waktunya menikah. Tapi pacarku payah. Dia selalu bilang ‘belum siap’ setiap kali kuajak menikah. Tapi dia baik kok. Dialah yang sering mengantarkanku berpetualang ke mana-mana. Setiap akhir bulan dia selalu cemas menunggu kelahiranku. Dia selalu menunggu aku yang baru. Kau juga begitu kan?! Aku nggak tahu apakah kau selalu menemuiku setiap bulan. Kadang keadaan tidak selamany berpihak pada kita. Jadi, wajar saja bila kalau kita pada bulan tertentu terpaksa tidak bertemu.
Oh ya. Kuingatkan lagi kau jangan kaget bila beberapa bulan nanti, aku jauh lebih tua darimu. Ayo mumpung aku masih muda, mumpung kita masih sebaya, pandanglah mataku. Masuklah ke dalam.
Jangan khawatir aku akan selalu mengujungimu. Begitu aku lahir, maka aku pacarku akan segera mengantarku jalan-jalan ke Solo, Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung, Padang, Makasar, Pontianak, Bali, Semarang, Banten, Palangkarya. Dan tentu saja tidak lupa ke tempatmu. Kaulah tujuanku. Dulu aku pernah juga diajak jalan-jalan ke Madiun, Purwokerto, Jember, dan secara nggak sengaja nyasar juga ke kota-kota yang lain. Tapi karena pacarku nggak sekaya yang kau sangka, dia tidak bias menuruti semua kemauanku. Aku ingin mengunjungi ingin jalan-jalan ke semua kota, ke semua desa sampai ke pelosok-pelosok. Ya keinginan yang gila memang. Tapi pacaraku tidak mengatakan aku gila. Dia hanya berbisik pelan di telinga kananku, “Uang kita sudah habis, saying.”
Kadang dia mengerutu kesal “Aku nggak tahu maksud teman-temanmu. Tiap bulan mereka menikmati matamu yang penuh cerita ini tapi mereka terus saja ngutang. Kalau begini terus-terusan bisa-bisa aku kita mati kelaparan, bisa-bisa kita tidak bisa membayar dukun beranak untuk kelahiranmu bulan depan. Kalaupun kau bisa lahir, mungkin kita terpaksa akan duduk di rumah atau sekedar jalan kaki keliling jogja. Kita tidak akan bisa menemui kekasih-kekasihmu di berbagi kota seperti ini.”
Kadang ada beberapa teman di daerah lain yang mengirim surat untukku. Mereka ingin aku juga mampir ke sana. Tapi seperti yang kukatakan tadi, pacarku tidak sekaya yang kau sangka. Jadi, aku harus menunda rencana perajalanan ke tempat yang baru itu. Aku tahu, teman-teman di sana sangat ingin memandangi mataku yang penuh cerita ini. Tapi ya bagaimana lagi. Memang begini keadaan kami. Bahkan saking miskinnya pacarku, kadang aku berkunjung ke tempatmu saja sangat terlambat. Maafkan aku. Kadang, memang, pacarku mesti cari hutangan untuk ongkos jalan-jalan kami. Kalaupun sudah ada uang, hampir tidak pernah cukup untuk beli tiket pesawat yang katanya sudah makin murah sekali itu. Ah lagian aku benci peswat. Suaranya berisik sekali.
Seharusnya, kalau kau sudah tidak melihat lagi bulan di langit malam, itu artinya aku harus segera keluar dari rahim ibu. Ya, seperti pernah kukatakan padamu, aku berjanji akan sudah duduk manis di depanmu ketika bulan sudah mulai muncul lagi di langit malam. Tapi maaf. Sekali lagi maaf. Sering kali aku lahir di saat bulan purnama. Sering kali ibu terlambat hamil. Yang paling menyebalkan adalah kalau aku terlalu lama di perut ibu. Kau tahukan betapa sempitnya ruangan di dalam rahim. Apalagi ibuku kurus sekali. Eh langsing dan semampai, maksudku. Iya sangat menyebalkan kalau sudah waktunya lahir tapi aku tidak bisa lahir karena harus menunggu dukun beranak yang sedang banyak orderan. Ibu harus antri sambil sesekali meringis dan mengelus perutnya yang kutendangi. Ibi tidak pernah marah. Ibu selalu menyanyi. Menyanyi apa saja untuk menghibur hatinya. “Sabar, nak. Sabar…” katanya selalu sambil mengelus perutnya.
Eh menurutmu aku cantik nggak? Cantik dan menarik kan? Apalagi mataku penuh dengan cerita. Kau pasti ketagihan bercinta denganku. Lagian tarifnya murah kan?! Hanya lima ribu rupiah. Dulu, bahkan lebih murah lagi. Pacarku pernah debat dengan ibu sampai larut malam karena ibu ingin menaikkan traif itu tapi pacarku nggak setuju. Jadi sampai sekarang, hanya dengan lima ripu rupiah kau bisa memandang mataku sepuas hatimu. Kau boleh memandang mataku selama kau mau. Kau juga boleh masuk ke dalam mataku dan berenang-renang di danau cerita. Kalau kau nggak bisa berenang kau bisa berendam saja. Di sana ada ikan yang bisa bercerita. Di sana ada bunga yang bisa berkisah. Di sana ada batu yang bisa mendongeng. Di sana kau bisa ngobrol dengan bayanganmu sendiri.
Siapa ibuku? Siapa ayahku?
Yang aku tahu, ibuku bercinta dengan banyak orang. Banyak manusia, pria maupun wanita. Yang pasti mereka bukan orang-orang yang terkenal. Mereka manusia biasa. Apakah ibuku pelacur? Ah boleh saja kalau ada yang bilang begitu. Yang pasti ibuku selalu meminta mencium mata teman tidurnya. Mencium mata lama sekali. Hingga tiba-tiba ibu sudah berada di dalam. Berenang-renang di danau mata. Berenang memutari danau, kadang bermain-main dengan ikan-ikan. Ibu menggambar ikan itu di rahimnya hingga tiba-tiba ikan di mataku semakin bertambah.
Sepertinya kau juga pantas jadi ayah baruku. Ayolah. Bercintalah dengan ibu.Ibuku cantik dan baik hati lho. Kalau kau mau kau pasti diberi oleh-oleh seperti tamu-tamu yang lain. Kalau dilihat harganya memang nggak mahal. Paling lima puluh ribuan. Dan sebagai bapak, pacarku akan mengantarkanku padamu. Kau boleh memandangi mataku yang penuh cerita ini sepuasmu. Kau tidak perlu membacar lima ribu. Bahkan kau boleh menjuaku. Itu kalau kau tega. Aku lebih suka kalau kau mengajakku jalan-jalan, main ke tempat teman-temanmu. Aku tahu, masih banyak orang yang belum aku kenal. Masih banyak orang yang belum mengenalku. Tabunganku belum cukup untuk membeli HP dengan nomor 0809XXX. Bahkan buat pasang iklanpun belum cukup. Selama ini aku hanya bisa merayu para penyiar radio untuk mengiklankan aku. Sebagai imbalannya kubuat tato wajahnya di punggunggku.
Kau tahu? Ibu dan pacarku mati-matian menghidupiku. Uang hasil ‘pelacuranku’ sangat tidak cukup untuk biaya hidup kami. Kadang kami datang ke para pengusaha tapi sepertinya mereka tidak begitu tertarik denganku. Mungkin aku harus tahu diri bahwa aku pergaulanku memang bukan orang-orang seperti mereka.
Mungkin kau agak sebel denganku karena tampilanku selalu berubah-ubah. Kau tak perlu sebel. Aku yakin sebenarnya kau tidak sebel. Kau hanya terkejut. Ya itulah yang hobiku, Aku suka sekali memberi kejutan. Aku ingin kau tidak bisa menebak bulan depan aku aku pakai apa. Aku ingin kau tidak bisa menebak ikan apa saja yang ada di mataku. Aku ingin, begitu melihatku, matamu terbelalak, mulutmu tiba-tiba terbuka sehingga udara menyeruak masuk memenuhi dadamu dan kaku memaki tanpa sadar. Aku ingin kau gemes dan gregetan melihat penampilanku. Aku ingin kau pingsan begitu melihat mataku.
Aku berjanji suatu saat nanti aku akan duduk manis di depanmu, menyapamu yang masih terbengong-bengong tidak percaya karena penampilanku jauh diluar dugaanmu, kau tidak akan menemukan ikan di dalam danau mataku. Yang ada hanya….ah sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Bila saja kau tidak mengenali bau tubuhku kau tentu bertanya dengan nada heran, siapakah anda?
Ya aku suka itu. Aku akan memberi senyum yang paling manis pada setiap orang yang memaki karena mendapat surprise dariku. Ya, kau juga boleh memaki. Memaki apa saja. Makian sekasar amplas juga akan aku balas dengan senyuman yang sangat manis. Kau tahu? Di keluargaku, makian adalah hal yang sangat biasa. Bagi kami, makian merupakan ungkapan kasih sayang. Jadi, maaf bila di dalam danau mataku kau menemukan ikan yang memaki-maki.