Wednesday, August 25, 2004
Mengembalikan Tanduk Ayam Jago
Oleh Faiq Aminuddin
Hari itu anak kambing senang sekali. Dia gembira karena di kepalanya mulai tumbuh sepasang tanduk. Akan tetapi, kegembiraan itu berubah menjadi kesedihan menurut ibunya, tanduk itu bukan miliknya.
“Tanduk itu hanya pinjaman,” kata ibunya.
“Pinjaman?! Bukankah tanduk ini tumbuh dari dalam kepalaku?”
“Pada jaman dahulu, desa kita diserang oleh sekelompok singa yang jahat. Tidak ada kambing yang berani melawan singa. Singa itu semakin semena-mena. Saat itu kita tidak punya senjata. Kita tidak punya tanduk.”
“Bapak juga tidak punya tanduk?”
“Waktu itu Ibu dan bapakmu belum lahir. Ibu hanya mendengar ceritanya. Menurut cerita, saat itu tidak ada kambing yang punya tanduk. Akhirnya ada yang usul untuk meminjam tanduk pada ayam jago. Dengan senjata tanduk itu kita berhasil melawan dan mengusir singa yang jahat itu. Hingga sekarang desa kita aman sentosa. Kita harus berterimakasih.”
“Mengapa tanduknya tidak dikembalikan pada ayam jago? Perangnya kan sudah selesai, Bu?”
“Menurut cerita, kita masih khawatir kalau sewaktu-waktu singa jahat menyerang lagi. Makanya, kita tidak mengembalikan tanduk pinjaman itu. Setiap pagi kau tentu mendengar ayam jago berkokok; Kukuruyuuuk… Itu artinya endi sunguku (mana tandukuku). Kita hanya bisa menjawab; Mbek. Itu artinya mben (besok ya..).”
Anak kambing itu sedih sekali. Dia senang sekali punya tanduk di kepala. Tapi ternyata tanduk itu bukan miliknya. Menurutnya barang pinjaman harus dikembalikan. Dia bertekad akan mengembalikan tanduk yang ada di kepalanya kepada ayam jago.
Suatu pagi anak kambing itu berjalan menuju desa Jago. Ketika sampai di pintu gerbang, dia disambut oleh kepala kampung Jago. Kepala kampung itu berkokok keras sekali.
“Kukuruyuk…”
Anak kambing itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Dia segera berjalan menghampiri ayam jago itu. “Aku datang ke sini memang mau mengembalikan tanduk ini.”
Ayom jago senang sekali. Dia segera membantu melepas tanduk dari kepala anak kambing lalu memasang di kepalanya.
“Aduh… berat sekali. Tolong lepas saja. Aku takut leherku patah. Kalau begini, lebih baik tanduk ini kuberikan kepadamu saja. Lagian aku sudah punya banyak senjata. Mulut dan kuku kakiku tajam. Selain itu aku juga punya senjata yang hebat.” Ayam jago mengangkat kakinya. Dia meperlihatkan jalunya yang tajam itu kepada anak kambing.
“Jadi, tanduk ini sekarang jadi milikku?”
Ayam jago mengangguk. “Ya. Dan tolong kabarkan kepala para kambing di desamu bahwa tanduk yang ada di kepala mereka mulai sekarang sudah menjadi milik mereka.”
“Terimakasih.’
Blimbingsari, 22 Agustus 2004
Oleh Faiq Aminuddin
Hari itu anak kambing senang sekali. Dia gembira karena di kepalanya mulai tumbuh sepasang tanduk. Akan tetapi, kegembiraan itu berubah menjadi kesedihan menurut ibunya, tanduk itu bukan miliknya.
“Tanduk itu hanya pinjaman,” kata ibunya.
“Pinjaman?! Bukankah tanduk ini tumbuh dari dalam kepalaku?”
“Pada jaman dahulu, desa kita diserang oleh sekelompok singa yang jahat. Tidak ada kambing yang berani melawan singa. Singa itu semakin semena-mena. Saat itu kita tidak punya senjata. Kita tidak punya tanduk.”
“Bapak juga tidak punya tanduk?”
“Waktu itu Ibu dan bapakmu belum lahir. Ibu hanya mendengar ceritanya. Menurut cerita, saat itu tidak ada kambing yang punya tanduk. Akhirnya ada yang usul untuk meminjam tanduk pada ayam jago. Dengan senjata tanduk itu kita berhasil melawan dan mengusir singa yang jahat itu. Hingga sekarang desa kita aman sentosa. Kita harus berterimakasih.”
“Mengapa tanduknya tidak dikembalikan pada ayam jago? Perangnya kan sudah selesai, Bu?”
“Menurut cerita, kita masih khawatir kalau sewaktu-waktu singa jahat menyerang lagi. Makanya, kita tidak mengembalikan tanduk pinjaman itu. Setiap pagi kau tentu mendengar ayam jago berkokok; Kukuruyuuuk… Itu artinya endi sunguku (mana tandukuku). Kita hanya bisa menjawab; Mbek. Itu artinya mben (besok ya..).”
Anak kambing itu sedih sekali. Dia senang sekali punya tanduk di kepala. Tapi ternyata tanduk itu bukan miliknya. Menurutnya barang pinjaman harus dikembalikan. Dia bertekad akan mengembalikan tanduk yang ada di kepalanya kepada ayam jago.
Suatu pagi anak kambing itu berjalan menuju desa Jago. Ketika sampai di pintu gerbang, dia disambut oleh kepala kampung Jago. Kepala kampung itu berkokok keras sekali.
“Kukuruyuk…”
Anak kambing itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Dia segera berjalan menghampiri ayam jago itu. “Aku datang ke sini memang mau mengembalikan tanduk ini.”
Ayom jago senang sekali. Dia segera membantu melepas tanduk dari kepala anak kambing lalu memasang di kepalanya.
“Aduh… berat sekali. Tolong lepas saja. Aku takut leherku patah. Kalau begini, lebih baik tanduk ini kuberikan kepadamu saja. Lagian aku sudah punya banyak senjata. Mulut dan kuku kakiku tajam. Selain itu aku juga punya senjata yang hebat.” Ayam jago mengangkat kakinya. Dia meperlihatkan jalunya yang tajam itu kepada anak kambing.
“Jadi, tanduk ini sekarang jadi milikku?”
Ayam jago mengangguk. “Ya. Dan tolong kabarkan kepala para kambing di desamu bahwa tanduk yang ada di kepala mereka mulai sekarang sudah menjadi milik mereka.”
“Terimakasih.’
Blimbingsari, 22 Agustus 2004
Kuning yang menjijikkan
Katanya cerita ini benar-benar terjadi. Aku hanya mendengarnya dari teman yang baru kukenal tapi aku percaya padanya. Dia belum pernah berbohong padaku. Makanya aku percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi.
Cerita ini kudengar saat kami makan siang di warung depan kantor. Kami duduk berhadapan di meja kursi yang diletakkan di bawah pohon beringin yang rindang.
Sehabis makan masih terasa belum lengkap kalau kami belum merokok. Entah berapa batang yang telah kami bakar selama ini. Aku tidak tahu dan tidak pernah mencoba menghitungnya. Tapi aku tahu, dia juga tahu bahwa merokok mengganggu kesehatan dan bikin hidup boros. Tapi kami tetap merokok.
Masih terasa istirahat kami bila habis makan langsung berdiri dan kembali masuk ke kantor. Maka sambil merokok kami pun ngrumpi walau aku laki-laki dan dia juga laki-laki. Jangan pernah percaya kalau temanmu bilang bahwa ngrumpi adalah hobi para wanita.
Aku tidak begitu ingat mengapa siang itu dia bercerita tentang warna kuning. Aku tidak tahu apakah dia juga membenci warna kuning itu. Kejadian itu katanya terjadi di balai desa pada suatu pagi.
Pagi-pagi sekali pak lurah sudah berangkat ke Balai desa. Speaker yang berada di atas atap balai desa itu memperkeras suara pak lurah yang sedang memberikan pengumuman. Pengumuman. Siang ini adalah hari pembuatan KTP yang baru. Sederek-sederek semua harus datang ke balai desa untuk dipoto dan tandatangan. Yang tidak datang berarti tidak punya KTP yang sah. Itu berarti tidak mendukung pembangunan.
Tidak lama kemudian orang-orang sudah memenuhi halaman balai desa, tapi petugas yang memotret belum datang. Orang-orang menunggu dan menunggu. Tidak banyak yang berani untuk sekedar menggerutu. Kalaupun ada yang menggerutu atau mengeluh pasti tidak ada yang menanggapi. Semua memilih diam. Diam itu berarti lebih aman. Tak banyak yang berani menggunjing pak lurah di tempat umum seperti ini. Karena kalau saja pak lurah atau salah satu pamong desa mendengar itu berarti segala urusannya akan menjadi ruwet. Bisa-bisa ada polisi datang ke rumah dan mengajaknya pergi ke kota dan tak pernah kembali sampai setidaknya satu bulan.
Orang-orang segera berdiri ketika ada yang mendnegar bahwa tukang poto sudah datang. Tukang poto itu minta diambilkan sebuah bangku panjang. Selembar kain hijau dibentangkan dan ditempel di tembok. Bangku di letakkan di depan bentangan kain itu.
Pamong desa yang duduk mengahadi meja dengan kertas-kertas memanggil nama demi nama untuk diminta masuk ke balai desa. Delapan orang duduk di bangku dan delapan orang lagi berdiri di belakangnya. Dua orang pamong desa membantu membentangkan kain hijau di belakang punggung dan kepala delapan orang yang duduk di bangku.
Tukang poto masih sibuk menyiapkan alat-alatnya.
Tiba-tiba ada bocah kecil yang nyetetuk. Hidup petiga.
Celetukan itu disambut dengan senyuman, maksudku tawa yang ditahan. Tapi muka pak luarah tiba-tiba jadi jelek sekali. Ketika tukang poto sudah memberi aba-aba dan siap mengambil gambar, pak lurah menghentikannya. Katanya kain itu harus diganti. Dia memerintan pamong untuk mencari kain kuning.
Orang-orang harus menunggu. Tidak banyak yang berani menggerutu.
Dengan keringat yang bercucuran pamong itu datang dengan membawa dua gulung kain kuning. Kain hijau di copot dan diganti kain kuning.
Sebelum kembali memeberi aba-ba dan mengambil gambar, tukang poto itu bilang pada pak lurah. Pak lurah, poto KTP itu kan hitam putih. Jadi, kain kuning itu nanti juga akan jadi putih.
Pak lurah hanya mengangguk dengan wajah yang semakin jelek.
Dikembangkan dari cerita Mail
Katanya cerita ini benar-benar terjadi. Aku hanya mendengarnya dari teman yang baru kukenal tapi aku percaya padanya. Dia belum pernah berbohong padaku. Makanya aku percaya bahwa cerita ini benar-benar terjadi.
Cerita ini kudengar saat kami makan siang di warung depan kantor. Kami duduk berhadapan di meja kursi yang diletakkan di bawah pohon beringin yang rindang.
Sehabis makan masih terasa belum lengkap kalau kami belum merokok. Entah berapa batang yang telah kami bakar selama ini. Aku tidak tahu dan tidak pernah mencoba menghitungnya. Tapi aku tahu, dia juga tahu bahwa merokok mengganggu kesehatan dan bikin hidup boros. Tapi kami tetap merokok.
Masih terasa istirahat kami bila habis makan langsung berdiri dan kembali masuk ke kantor. Maka sambil merokok kami pun ngrumpi walau aku laki-laki dan dia juga laki-laki. Jangan pernah percaya kalau temanmu bilang bahwa ngrumpi adalah hobi para wanita.
Aku tidak begitu ingat mengapa siang itu dia bercerita tentang warna kuning. Aku tidak tahu apakah dia juga membenci warna kuning itu. Kejadian itu katanya terjadi di balai desa pada suatu pagi.
Pagi-pagi sekali pak lurah sudah berangkat ke Balai desa. Speaker yang berada di atas atap balai desa itu memperkeras suara pak lurah yang sedang memberikan pengumuman. Pengumuman. Siang ini adalah hari pembuatan KTP yang baru. Sederek-sederek semua harus datang ke balai desa untuk dipoto dan tandatangan. Yang tidak datang berarti tidak punya KTP yang sah. Itu berarti tidak mendukung pembangunan.
Tidak lama kemudian orang-orang sudah memenuhi halaman balai desa, tapi petugas yang memotret belum datang. Orang-orang menunggu dan menunggu. Tidak banyak yang berani untuk sekedar menggerutu. Kalaupun ada yang menggerutu atau mengeluh pasti tidak ada yang menanggapi. Semua memilih diam. Diam itu berarti lebih aman. Tak banyak yang berani menggunjing pak lurah di tempat umum seperti ini. Karena kalau saja pak lurah atau salah satu pamong desa mendengar itu berarti segala urusannya akan menjadi ruwet. Bisa-bisa ada polisi datang ke rumah dan mengajaknya pergi ke kota dan tak pernah kembali sampai setidaknya satu bulan.
Orang-orang segera berdiri ketika ada yang mendnegar bahwa tukang poto sudah datang. Tukang poto itu minta diambilkan sebuah bangku panjang. Selembar kain hijau dibentangkan dan ditempel di tembok. Bangku di letakkan di depan bentangan kain itu.
Pamong desa yang duduk mengahadi meja dengan kertas-kertas memanggil nama demi nama untuk diminta masuk ke balai desa. Delapan orang duduk di bangku dan delapan orang lagi berdiri di belakangnya. Dua orang pamong desa membantu membentangkan kain hijau di belakang punggung dan kepala delapan orang yang duduk di bangku.
Tukang poto masih sibuk menyiapkan alat-alatnya.
Tiba-tiba ada bocah kecil yang nyetetuk. Hidup petiga.
Celetukan itu disambut dengan senyuman, maksudku tawa yang ditahan. Tapi muka pak luarah tiba-tiba jadi jelek sekali. Ketika tukang poto sudah memberi aba-aba dan siap mengambil gambar, pak lurah menghentikannya. Katanya kain itu harus diganti. Dia memerintan pamong untuk mencari kain kuning.
Orang-orang harus menunggu. Tidak banyak yang berani menggerutu.
Dengan keringat yang bercucuran pamong itu datang dengan membawa dua gulung kain kuning. Kain hijau di copot dan diganti kain kuning.
Sebelum kembali memeberi aba-ba dan mengambil gambar, tukang poto itu bilang pada pak lurah. Pak lurah, poto KTP itu kan hitam putih. Jadi, kain kuning itu nanti juga akan jadi putih.
Pak lurah hanya mengangguk dengan wajah yang semakin jelek.
Dikembangkan dari cerita Mail
Tetap tidak jawaban dari Alie. Padahal aku sudah memanggilnya beberapa kali. Tentu saja aku tidak perlu berteriak. Mungkin dia sedang asyik di depan komputer. Game baru yang tadi pagi ku install tentu sangat dia sukai. Aku tahu dia suka game yang perang-perangan dengan berbagai lawan yang harus dikalahkan. Aku banga punya anak seperti dia. Semangatnya untuk menang sangat besar. Tidak pernah mau kalah. Apapun akan dia lakuakan untuk mencapai kemenangan. Tapi kadang memang agak merepotkan juga. Karena semua kemauannya harus dituruti. Mungkin karena dia masih kecil. Seperti dugaanku di masih duduk manis di depan komputer.
Sampai-sampai tidak tahu kalau Papanya yang penyayang ini sudah datang dan berdidri di belakang kursinya. Tapi aku yakin begitu aku sodorkan mainan baru ini di mejanya dia akan berteriak gembira, wah sudah lama aku ingin punya pistol. Ya, tadi aku sempatkan mampir di toko mainan. Aku belikan dia pistol-pitolan yang mrip sekali dengan pistol betulan.
Wah. Gawat. Mengapa dia tetap diam saja. Kupegang pundaknya.
‘Alie, sayang. Papa sudah pulang. Apakah Alie marah sama papa? Nih Papabelikan pistol untukmu.’
Aduh… tolong….. ada apa dengan anakku?
Alie, kau kenapa, Nak? Mengapa tubuhmu tadi patung batu? Oh pundakmu jatuh…. Tanganmu patah,…
Lelaki berdasi itu terus berteriak-teriak. Bajunya yang utih bersih kini dikotori debu. Debu dari patung batu yang rapuh. Hancur jadi debu karena dia telah memeluknya.
Dan komputer itu tidak tahu apa yang terjadi dengan dua manusia yang ada di depannya. Speakernya masih menyanyikan lagu riang berirama cepat. Lagu peperangan.
Sampai-sampai tidak tahu kalau Papanya yang penyayang ini sudah datang dan berdidri di belakang kursinya. Tapi aku yakin begitu aku sodorkan mainan baru ini di mejanya dia akan berteriak gembira, wah sudah lama aku ingin punya pistol. Ya, tadi aku sempatkan mampir di toko mainan. Aku belikan dia pistol-pitolan yang mrip sekali dengan pistol betulan.
Wah. Gawat. Mengapa dia tetap diam saja. Kupegang pundaknya.
‘Alie, sayang. Papa sudah pulang. Apakah Alie marah sama papa? Nih Papabelikan pistol untukmu.’
Aduh… tolong….. ada apa dengan anakku?
Alie, kau kenapa, Nak? Mengapa tubuhmu tadi patung batu? Oh pundakmu jatuh…. Tanganmu patah,…
Lelaki berdasi itu terus berteriak-teriak. Bajunya yang utih bersih kini dikotori debu. Debu dari patung batu yang rapuh. Hancur jadi debu karena dia telah memeluknya.
Dan komputer itu tidak tahu apa yang terjadi dengan dua manusia yang ada di depannya. Speakernya masih menyanyikan lagu riang berirama cepat. Lagu peperangan.
Hari sudah pagi. Aku belum juga mati.
Oleh :Faiq
Hari sudah pagi. Sepi. Hanya aku penghuni rumah ini. Istriku sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Anakku, tiga-tiganya sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri. Sekarang mereka sedang menjalani hari seperti aku dulu. Tinggal di rumah yang ramai. Ada anak-anak. Kadang ada tawa dan canda ceria. Kadang ada teriakan dan makian marah. Kadang ada jerit dan tangis. Suatu hari nanti mereka pasti akan mengalami apa yang kualami sekarang. Anak-anak itu, satu persatu akan pergi meninggalkan rumah. Setelah itu tinggal menunggu pasangan hidupnya pergi untuk selamanya. Apa lagi kalau bukan sepi yang terasa, bila setiap hari sendirian. Rumah terasa terlalu besar, kosong dan hampa. Tapi mungkin tidak persis seperti itu. Memang, di dunia ini tidak ada yang benar-benar sama. Yang ada hanya serupa tapi tetap tidak sama.
Hari ini pasti berbeda dengan hari kemarin walaupun banyak hal yang sama. Seperti kemarin, pagi ini kuambil koran yang terselip di salah satu sela jeruji besi gerbang rumah ini. Kubaca sambil duduk di kursi goyang di teras depan. Tentu saja berita hari ini berbeda dengan berita kemarin. Tapi pada dasarnya sama saja. Koran ini selalu bercerita tentang si A yang bicara begini dan si B bilang begitu, kerusuhan di daerah C dan D belum juga selesai, disusul kerusuhan baru di daerah E, bencana alam melanda daerah F, karyawan PT G melakukan mogok masal, ada penemuan teknologi baru oleh ilmuwan H, kecelakaan lalu lintas di jalan I, LSM J mengritik kebijakan K, dan sebagainya, dan sebagainya. Ada juga berita duka kematian di samping berbagai jenis iklan.
Apa yang kumakan hari ini pada dasarnya tidak berbeda dengan kemarin. Kemarin sarapan bubur ayam, sekarang sarapan nasi kuning. Tapi aku masih sarapan di tempat yang sama, di trotoar, tepi jalan, depan perumahan ini. Acara TV setiap hari tentu berbeda tapi tetap itu-itu saja; berita, sinetron, musik, kuis, dialog dengan pakar, dan film. Aku tidak tahu apakah tidurku malam ini sama dengan tidurku kemarin. Sangat mungkin mimpiku hari ini tetap sama dengan mimpiku yang kemarin.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga.
Tadi malam aku mimpi apa? Aku bermimpi seperti kemarin, Persis. Tapi otakku yang sudah tua ini tidak mampu mengingatnya dengan baik. Aku merasa seperti berada di sebuah… ah entahlah. Yang pasti saat itu aku me…. Ah mengapa aku tidak ingat apa yang aku lakukan semalam…. Aneh. Aku tidak tahu mengapa ingatan yang selalu kuasah tiba-tiba semakin lemah. Makin hari semakin sering aku lupa. Kemarin aku bingung mencari-cari kaos putih kesayanganku yang ternyata sudah kupakai. Tadi pagi, aku lupa menaruh korek. Sampai sekarang aku belum menemukannya padahal aku mau menyalakan kompor. Aku ingin bikin kopi.
Sudah lama aku tidak minum kopi. Terakhir kali kuminum kopi adalah puluhan tahun yang lalu. Pagi itu aku duduk di kantin fakultas seorang diri. Teman-teman bekum datang. Aku hanya ditemani secangkir kopi. Sesaat kemudian datanglah dia. Tak perlu kuceritakan bagaimana indahnya perkenalan kami pagi itu. Yang pasti, sejak saat itu aku mulai menjauhi kopi. Sejak kami menikah, istriku mengharamkan kopi untukku. Di dapur kami tidak kopi atau pun teh. Setiap ada tamu istriku selalu menawarkan jeruk, jahe, atau secang. Kadang ada juga tamu yang minta air putih saja.
Maka bertahun-tahun aku selalu mencoba menyelundupkan kopi ke dalam rumah karena aku hanya ingin menikmati kopi di waktu pagi. Sejak dulu, sejak aku belum menikah, terbayang jelas rencanaku; pagi-pagi duduk di beranda rumah membaca koran sambil minum kopi setelah itu menulis sebuah puisi yang akan kubaca-baca dan kubenahi sambil merebus lima butir telur sampai setengah matang. Sambil mandi kulantunkan bait-bait itu,dan kubacakan lagi di meja makan saat sarapan bersama anak-anak dan istri.
Rencana itu hilang. Tak pernah ada kopi di meja bambu dekat kursi goyang saat aku membuka-buka koran. Maka tidak pernah ada puisi lagi di pagi hari. Awalnya aku jengkel dengan larangan isrtriku ini tapi aku tetap ingin menulis puisi. Tapi, setiap kali aku mencoba menulis puisi aku teringat kopi. Hilang semua inspirasi. Ah mungkin aku hanya mencari-cari alasan. Sepertinya aku memang tidak bakat jadi penyair. Tapi, jujur saja aku ingin sekali menulis puisi. Ah seandainya saja istriku tidak…
Suatu siang, sepulang dari mengajar aku sempatkan membeli beberapa sachet kopi instan, kumasukkan ke dalam bekas amplop soal ujian. Amplop coklat itu segera kuselipkan di antara diktat dan buku-buku di meja kamarku. Paginya kuletakkan amplop coklat itu beserta beberapa buku pada meja. Kuambil gelas dan kuisi air panas. Sebuah sendok kecil sudah kusembunyikan di gulungan sarungku. Kau tahu apa yang terjadi? Amplop coklat itu sudah kosong. Tidak ada kopi instan sesachet pun.
Hingga malam tiba korek belum kutemukan. Aku sudah tak ingin menyalakan kompor dan memasak air untuk membuat kopi. Aku butuh korek itu karena sekarang aku ingin membakar koran. Sudah dua hari ini aku gagal membakarnya padahal sudah sejak tiga hari yang lalu aku bertekad untuk tidak membaca koran. Aku tidak mau membaca berita kematian lagi. Aku harus membakar koran itu setiap pagi sebelum aku atau orang lain tergoda untuk membacanya.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga. Mimpi apa aku semalam? Aku tidak bisa mengingatnya. Yang pasti di dalam mimpi itu aku sendirian….
Korek. Mana korek? Aku harus membakar koran itu.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati. Sepi semakin menjadi-jadi.
Seperti kemarin, kutunggu tukang koran itu dengan korek api tergenggam di tangan telapak kiri. Tukang sampah sudah datang. Itu berarti sebentar lagi tukang koran akan segara datang. Aku sudah tak sabar lagi. Api akan menyambutmu wahai koran pagi.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati.
Seperti kemarin kutunggu koran pagi. Telapak kiri menggenggam erat korek api.
Tukang sampah datang. Itu berarti… Eh tukang sampah itu mengajakku bicara. Ah sudah berapa lama aku tidak bicara dengan orang.
“Den, apakah boleh saya minta koran yang kemarin, Den.”
“Apa?”
“Koran kemarin, Den. Bolehkah saya minta koran yang kemarin. Kata teman-teman, foto saya ada di koran. Waktu itu saya sedang lihat-lihat pameran tanaman hias. Katanya saya dapat hadiah karena foto saya diberi tanda bintang. Bolehkah saya minta koran kemarin itu, Den…..”
“Wah.. maaf. Koran yang kemarin sudah tidak ada.”
Tukang sampah itu pergi. Tapi tidak jadi karena tukang koran datang. Aku segera menerima koran pagi ini, sedangkan tukang sampah segera menanyakan apakah tukang koran masih punya koran yang kemarin. Aku segera masuk. Aku ingin secepatnya membakar koran ini di belakang rumah tapi… aku tidak bisa. Kulemapr koran itu ke lantai.
Lamat-lamat kudengar tukang koran dan tukang sampah tawar menawar. Aku keluar. Tukangsamapah sudah pergi.
“Kau jual berapa koran kemarin itu?”
“Seharga koran baru.”
“Kejam kamu.”
“Bapak lebih kejam. Bapak kan punya koran kemarin mengapa tidak diberikan saja. Kalau memang tidak boleh, bilang saja. Tak perlu bilang sudah tidak ada. Masa koran baru kemarin kok sudah tidak ada.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menannyakan kembali apakah langganan koranku bisa dihentikan? Dia bilang bisa tapi uangnya tetap tidak bisa dikembalikan.
Hari sudah pagi. Aku belum mati. Tapi hari ini tidak akan ada koran terselip di pintu gerbang itu. Tebakanku salah. Di sini, di jeruji besi ini ada koran.
“Itu buat Raden. Koran Raden yang kemarin itu kan tidak ada.”
“Wah. Tidak. Tidak. Ohya. Bagaimana ? Dapat hadia berapa?”
“Wah hadiah itu tidak bisa diambil, Den.”
“Kenapa?”
“Saya tidak punya KTP.”
Yogyakarta, Juli 2004
Oleh :Faiq
Hari sudah pagi. Sepi. Hanya aku penghuni rumah ini. Istriku sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Anakku, tiga-tiganya sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri. Sekarang mereka sedang menjalani hari seperti aku dulu. Tinggal di rumah yang ramai. Ada anak-anak. Kadang ada tawa dan canda ceria. Kadang ada teriakan dan makian marah. Kadang ada jerit dan tangis. Suatu hari nanti mereka pasti akan mengalami apa yang kualami sekarang. Anak-anak itu, satu persatu akan pergi meninggalkan rumah. Setelah itu tinggal menunggu pasangan hidupnya pergi untuk selamanya. Apa lagi kalau bukan sepi yang terasa, bila setiap hari sendirian. Rumah terasa terlalu besar, kosong dan hampa. Tapi mungkin tidak persis seperti itu. Memang, di dunia ini tidak ada yang benar-benar sama. Yang ada hanya serupa tapi tetap tidak sama.
Hari ini pasti berbeda dengan hari kemarin walaupun banyak hal yang sama. Seperti kemarin, pagi ini kuambil koran yang terselip di salah satu sela jeruji besi gerbang rumah ini. Kubaca sambil duduk di kursi goyang di teras depan. Tentu saja berita hari ini berbeda dengan berita kemarin. Tapi pada dasarnya sama saja. Koran ini selalu bercerita tentang si A yang bicara begini dan si B bilang begitu, kerusuhan di daerah C dan D belum juga selesai, disusul kerusuhan baru di daerah E, bencana alam melanda daerah F, karyawan PT G melakukan mogok masal, ada penemuan teknologi baru oleh ilmuwan H, kecelakaan lalu lintas di jalan I, LSM J mengritik kebijakan K, dan sebagainya, dan sebagainya. Ada juga berita duka kematian di samping berbagai jenis iklan.
Apa yang kumakan hari ini pada dasarnya tidak berbeda dengan kemarin. Kemarin sarapan bubur ayam, sekarang sarapan nasi kuning. Tapi aku masih sarapan di tempat yang sama, di trotoar, tepi jalan, depan perumahan ini. Acara TV setiap hari tentu berbeda tapi tetap itu-itu saja; berita, sinetron, musik, kuis, dialog dengan pakar, dan film. Aku tidak tahu apakah tidurku malam ini sama dengan tidurku kemarin. Sangat mungkin mimpiku hari ini tetap sama dengan mimpiku yang kemarin.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga.
Tadi malam aku mimpi apa? Aku bermimpi seperti kemarin, Persis. Tapi otakku yang sudah tua ini tidak mampu mengingatnya dengan baik. Aku merasa seperti berada di sebuah… ah entahlah. Yang pasti saat itu aku me…. Ah mengapa aku tidak ingat apa yang aku lakukan semalam…. Aneh. Aku tidak tahu mengapa ingatan yang selalu kuasah tiba-tiba semakin lemah. Makin hari semakin sering aku lupa. Kemarin aku bingung mencari-cari kaos putih kesayanganku yang ternyata sudah kupakai. Tadi pagi, aku lupa menaruh korek. Sampai sekarang aku belum menemukannya padahal aku mau menyalakan kompor. Aku ingin bikin kopi.
Sudah lama aku tidak minum kopi. Terakhir kali kuminum kopi adalah puluhan tahun yang lalu. Pagi itu aku duduk di kantin fakultas seorang diri. Teman-teman bekum datang. Aku hanya ditemani secangkir kopi. Sesaat kemudian datanglah dia. Tak perlu kuceritakan bagaimana indahnya perkenalan kami pagi itu. Yang pasti, sejak saat itu aku mulai menjauhi kopi. Sejak kami menikah, istriku mengharamkan kopi untukku. Di dapur kami tidak kopi atau pun teh. Setiap ada tamu istriku selalu menawarkan jeruk, jahe, atau secang. Kadang ada juga tamu yang minta air putih saja.
Maka bertahun-tahun aku selalu mencoba menyelundupkan kopi ke dalam rumah karena aku hanya ingin menikmati kopi di waktu pagi. Sejak dulu, sejak aku belum menikah, terbayang jelas rencanaku; pagi-pagi duduk di beranda rumah membaca koran sambil minum kopi setelah itu menulis sebuah puisi yang akan kubaca-baca dan kubenahi sambil merebus lima butir telur sampai setengah matang. Sambil mandi kulantunkan bait-bait itu,dan kubacakan lagi di meja makan saat sarapan bersama anak-anak dan istri.
Rencana itu hilang. Tak pernah ada kopi di meja bambu dekat kursi goyang saat aku membuka-buka koran. Maka tidak pernah ada puisi lagi di pagi hari. Awalnya aku jengkel dengan larangan isrtriku ini tapi aku tetap ingin menulis puisi. Tapi, setiap kali aku mencoba menulis puisi aku teringat kopi. Hilang semua inspirasi. Ah mungkin aku hanya mencari-cari alasan. Sepertinya aku memang tidak bakat jadi penyair. Tapi, jujur saja aku ingin sekali menulis puisi. Ah seandainya saja istriku tidak…
Suatu siang, sepulang dari mengajar aku sempatkan membeli beberapa sachet kopi instan, kumasukkan ke dalam bekas amplop soal ujian. Amplop coklat itu segera kuselipkan di antara diktat dan buku-buku di meja kamarku. Paginya kuletakkan amplop coklat itu beserta beberapa buku pada meja. Kuambil gelas dan kuisi air panas. Sebuah sendok kecil sudah kusembunyikan di gulungan sarungku. Kau tahu apa yang terjadi? Amplop coklat itu sudah kosong. Tidak ada kopi instan sesachet pun.
Hingga malam tiba korek belum kutemukan. Aku sudah tak ingin menyalakan kompor dan memasak air untuk membuat kopi. Aku butuh korek itu karena sekarang aku ingin membakar koran. Sudah dua hari ini aku gagal membakarnya padahal sudah sejak tiga hari yang lalu aku bertekad untuk tidak membaca koran. Aku tidak mau membaca berita kematian lagi. Aku harus membakar koran itu setiap pagi sebelum aku atau orang lain tergoda untuk membacanya.
Hari sudah pagi. Aku belum mati juga. Mimpi apa aku semalam? Aku tidak bisa mengingatnya. Yang pasti di dalam mimpi itu aku sendirian….
Korek. Mana korek? Aku harus membakar koran itu.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati. Sepi semakin menjadi-jadi.
Seperti kemarin, kutunggu tukang koran itu dengan korek api tergenggam di tangan telapak kiri. Tukang sampah sudah datang. Itu berarti sebentar lagi tukang koran akan segara datang. Aku sudah tak sabar lagi. Api akan menyambutmu wahai koran pagi.
Hari sudah pagi lagi. Aku belum mati.
Seperti kemarin kutunggu koran pagi. Telapak kiri menggenggam erat korek api.
Tukang sampah datang. Itu berarti… Eh tukang sampah itu mengajakku bicara. Ah sudah berapa lama aku tidak bicara dengan orang.
“Den, apakah boleh saya minta koran yang kemarin, Den.”
“Apa?”
“Koran kemarin, Den. Bolehkah saya minta koran yang kemarin. Kata teman-teman, foto saya ada di koran. Waktu itu saya sedang lihat-lihat pameran tanaman hias. Katanya saya dapat hadiah karena foto saya diberi tanda bintang. Bolehkah saya minta koran kemarin itu, Den…..”
“Wah.. maaf. Koran yang kemarin sudah tidak ada.”
Tukang sampah itu pergi. Tapi tidak jadi karena tukang koran datang. Aku segera menerima koran pagi ini, sedangkan tukang sampah segera menanyakan apakah tukang koran masih punya koran yang kemarin. Aku segera masuk. Aku ingin secepatnya membakar koran ini di belakang rumah tapi… aku tidak bisa. Kulemapr koran itu ke lantai.
Lamat-lamat kudengar tukang koran dan tukang sampah tawar menawar. Aku keluar. Tukangsamapah sudah pergi.
“Kau jual berapa koran kemarin itu?”
“Seharga koran baru.”
“Kejam kamu.”
“Bapak lebih kejam. Bapak kan punya koran kemarin mengapa tidak diberikan saja. Kalau memang tidak boleh, bilang saja. Tak perlu bilang sudah tidak ada. Masa koran baru kemarin kok sudah tidak ada.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menannyakan kembali apakah langganan koranku bisa dihentikan? Dia bilang bisa tapi uangnya tetap tidak bisa dikembalikan.
Hari sudah pagi. Aku belum mati. Tapi hari ini tidak akan ada koran terselip di pintu gerbang itu. Tebakanku salah. Di sini, di jeruji besi ini ada koran.
“Itu buat Raden. Koran Raden yang kemarin itu kan tidak ada.”
“Wah. Tidak. Tidak. Ohya. Bagaimana ? Dapat hadia berapa?”
“Wah hadiah itu tidak bisa diambil, Den.”
“Kenapa?”
“Saya tidak punya KTP.”
Yogyakarta, Juli 2004