Saturday, December 27, 2003
Pewarna Ajaib
sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Bel tanda pulang berbunyi. Sesaat kemudian kami berdoa bersama. Pak guru mengucapkan salam. Kami menjawabnya lalu segera berlari keluar kelas. Aku senang waktu pulang sekolah. Jam-jam pelajaran sangat membosankan. Sebelum pulang aku dan Ani bicara sebentar. Nanti siang kami mau menggambar bersama. Tempatnya di rumahku.
Aku segera pulang. Berlari menuju rumah. Rumahku agak jauh dari sekolah. Aku lapar sekali. Aku ingin segera sampai di rumah. Aku ingin segera makan siang. Samapi di rumah nafasku ngos-ngosan. Aku heran. ‘Kok sepi ?’ tanyaku dalam hati. Aku berteriak memanggil ibu. Tidak ada sahutan. Kutengok ke dalam kamar. Tidak ada. Kupanggil lagi dengan suara keras. Tidak ada jawaban. aku berlari ke dapur. Dapur kosong. Hanya ada si Belang. Aku jongkok dan bertanya pada kucing itu ‘Ibu dan adik kemana ?’ si Belang hanya menggosok-gosokkan tubuhnya ke tanganku. Dia hanya bilang Meong..meong…
Aku kembali ke ruang tengah. Aku ingin minum. Ya, aku haus sekali karena tadi berlari-lari padahal sinar matahari panas sekali. Ketika mau menuang air ke gelas aku melihat selembar kertas. Oh ini tulisan ibu. ‘Untuk Siti. Siti sayang… maaf Ibu dan Adik pergi menjemput bapak. Sekalian belanja. Makan siangmu di Almari. Jangan lupa beri makan kucingmu.’ begitu bunyi tulisan di kertas buram itu. Ya lima hari yang lalu kami menerima surat dari Bapak. Sudah lima bulan Bapak meninggalkan kami di desa. Bapak kerja di Jakarta. Dalam suratnya Bapak bilang hari ini akan pulang. Mungkin sore nanti Bapak sampai di terminal kecamatan. Desa kami tidak begitu jauh dari kecamatan. Tidak ada angkutan dari desaku ke kecamatan. Biasanya orang-orang jalan kaki lewat sawah lalu menyeberang sungai. Ya… paling lama satu jam sudah sampai.
Betapa senangnya hatiku karena sebentar lagi bapak datang. Dulu waktu bapak berangkat aku sudah pesan sama bapak. ‘Besok kalau Bapak pulang jangan lupa beli oleh-oleh.’ begitu kataku saat itu. Aku minta dibelikan boneka, tas, sepatu, buku gambar dan pensil warna. Mudah-mudahan bapak tidak lupa. Ya, nanti sore bapak datang dengan membawa tas besar. Aku akan segera membukanya. Aku ingin segera menimang boneka baru yang lucu. Besok aku akan berangkat sekolah dengan sepatu dan tas baru. Dan siangnya aku bisa menggambar bersama Ani dengan pensil warna. Aduh…betapa senangnya hati ini.
“Siti…” suara itu mengejutkanku. Oh Ani sudah datang. Aku terlalu gembira sampai lupa makan siang. Ani kupersilahkan masuk. Ani kutinggal sebentar. Aku mau makan dulu.Ketika sedang makan Ani memanggilku. Dia mau pinjam peraut pensil. Aku segera berlari. Kuambilakan peraut pensil dari tas, kuberikan pada Ani lalu kembali. Aku mau meneruskan makan. ‘Eh… kemana ikanku ?’ tanyaku dalam hati. Ikan yang tadi kubuat lauk sekarang tidak ada. Di piring hanya tinggal nasi putih.
Oo.. aku tahu sekarang. Ikanku diambil si Belang. Lihat itu si Belang sedang makan ikan di bawah meja. Oh ya aku tadi lupa tidak memberinya makan. Ya sudah. Kuambil krupuk dan kulanjutkan makan. Setelah makan aku menggambar bersama Ani. Ani menggambar bunga mawar. Aku menggambar si Belang sedang makan ikan. Aku bilang nanti sore bapakku akan pulang dari jakarta. ‘Aku akan dibelikan pensil warna. Besok kita warnai gambar ini. Ok ?!’ Ani menjawab ‘Baiklah. tapi besok menggambarnya di rumahku kan ?!’
Ketika hari hampir malam bapak datang. Adik digendong bapak. Ibu meneteng tas. Ternyata bapak tidak membaw tas yang besar. Aku segera menyambutnya. Aku jabat tangan bapak lalu kucium. Bapak mengusap-ngusap rambutku dan mencubit pipiku. ‘Tambah manis saja anak bapak ini.’ Aku tersenyum.
Setelah masuk rumah aku segera bertanya ‘Mana oleh-olehnya ?’ Bapak diam saja. Aku segera membuka tas yang tadi di bawa ibu. Tidak ada boneka, tidak ada tas, tidak ada sepatu, tidak ada pensil warna…. Aku sebel sekali. ‘Mana pesananku ?’ Bapak tidak menjawab. ‘Bapak jahat. Mengapa bapak lupa ? Siti kan pesan sepatu. tas, pensil warna, boneka dan buku gambar…. hua huaa… Bapak nakal’ Aku menangis. Bapak mengangkat tubuhku lalu didudukkan di atas kursi. Bapak mengambil sebuah bungkusan kecil dari dalam tas.
‘Bapak tidak bisa membelikan semua pesananmu. Bapak hanya bisa membelikan ini. Inipun bukan barang baru. Bapak membelinya di pasar loak. Semoga ini bisa menyenangkan hatimu.’ Bapak menyodorkan bungkusan itu kepadaku. Aku tidak tahu apa isinya. Kuterima bungkusan kecil itu. ‘Pasar loak itu pasar apa ?’ tanyaku. Kata Bapak pasar loak adalah pasar yang menjual barang-barang bekas.
Ketika Bapak mandi aku bertanya pada ibu ‘Mengapa bapak tidak membelikanku sepatu, tas, pensil warna, boneka, dan buku gambar ?’ Menurut ibu bayaran kerja bapak tidak banyak. Kalau bapak membelikan semua permintaanku aku tidak akan bisa sekolah lagi. ‘Mengapa tanyaku ?’ Ibu bilang karena uang untuk membayar sekolahku sudah habis untuk membeli sepatu baru, tas baru, pensil warna, boneka, dan buku gambar. Menurut Ibu kita harus hemat dalam menggunakan uang. Kalau tas dan sepatu lama masih bisa dipakai untuk apa beli sepatu baru ? Aku diam saja mendengar penjelasan ibu. Setelah itu aku masuk kamar. Kubuka bungkusan yang tadi diberikan bapak. Ternyata sebuah buku cerita. Aku membacanya sampai tertidur.
Pagi harinya aku berangkat sekolah. Tidak memakai sepatu baru dan tas baru seperti yang kubayangkan kemarin siang. Waktu istirahat aku menemui Ani. Aku minta maaf karena bapak tidak membelikanku pensil warna. Ani hanya tersenyum. Dia bilang ‘Nanti siang kita tetap menggambar. Aku akan menunjukkan sebuah rahasia.’
‘Rahasia apa ?’ tanyaku penasaran.
‘Pokoknya nanti siang datang saja ke rumahku. Ok ?!’
Sepulang sekolah dan makan siang aku langsung berlari ke rumah Ani. Aku ingin segera mengetahui rahasia yang dijanjikan Ani. ‘Sekarang aku punya pewarna.’ kata ani sambil membuka sebuah kotak. Di dalam kotak itu tidak ada pensil warna. Isinya daun-daun dan kuncit dan… ya seperti kotak tempat ibu menyimpan bumbu masak. ‘Inilah rahasia yang tadi pagi aku katakan. Ani mengambil daun jati muda lalu mewarnai gambar mawarnya. Lalu Ani menjelaskan rahasianya. Daun jati muda bisa digunakan untuk pewarna merah. Kunyit bisa digunakan untuk pewarna kuning. Daun Klere sede bisa digunakan untuk pewarna hijau. ‘Asyik sekali’ kataku dalam hati. Aku mencoba mewarnai gambar kucingku.
‘Eh Siti. Bapakmu bawa oleh-oleh apa ?’ tanya Ani. kuambil tasku lalu kukeluarkan sebuah buku cerita. ‘Bapak hanya membelikan buku bekas ini tapi aku senang sekali. Ceritanya bagus.’
sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Bel tanda pulang berbunyi. Sesaat kemudian kami berdoa bersama. Pak guru mengucapkan salam. Kami menjawabnya lalu segera berlari keluar kelas. Aku senang waktu pulang sekolah. Jam-jam pelajaran sangat membosankan. Sebelum pulang aku dan Ani bicara sebentar. Nanti siang kami mau menggambar bersama. Tempatnya di rumahku.
Aku segera pulang. Berlari menuju rumah. Rumahku agak jauh dari sekolah. Aku lapar sekali. Aku ingin segera sampai di rumah. Aku ingin segera makan siang. Samapi di rumah nafasku ngos-ngosan. Aku heran. ‘Kok sepi ?’ tanyaku dalam hati. Aku berteriak memanggil ibu. Tidak ada sahutan. Kutengok ke dalam kamar. Tidak ada. Kupanggil lagi dengan suara keras. Tidak ada jawaban. aku berlari ke dapur. Dapur kosong. Hanya ada si Belang. Aku jongkok dan bertanya pada kucing itu ‘Ibu dan adik kemana ?’ si Belang hanya menggosok-gosokkan tubuhnya ke tanganku. Dia hanya bilang Meong..meong…
Aku kembali ke ruang tengah. Aku ingin minum. Ya, aku haus sekali karena tadi berlari-lari padahal sinar matahari panas sekali. Ketika mau menuang air ke gelas aku melihat selembar kertas. Oh ini tulisan ibu. ‘Untuk Siti. Siti sayang… maaf Ibu dan Adik pergi menjemput bapak. Sekalian belanja. Makan siangmu di Almari. Jangan lupa beri makan kucingmu.’ begitu bunyi tulisan di kertas buram itu. Ya lima hari yang lalu kami menerima surat dari Bapak. Sudah lima bulan Bapak meninggalkan kami di desa. Bapak kerja di Jakarta. Dalam suratnya Bapak bilang hari ini akan pulang. Mungkin sore nanti Bapak sampai di terminal kecamatan. Desa kami tidak begitu jauh dari kecamatan. Tidak ada angkutan dari desaku ke kecamatan. Biasanya orang-orang jalan kaki lewat sawah lalu menyeberang sungai. Ya… paling lama satu jam sudah sampai.
Betapa senangnya hatiku karena sebentar lagi bapak datang. Dulu waktu bapak berangkat aku sudah pesan sama bapak. ‘Besok kalau Bapak pulang jangan lupa beli oleh-oleh.’ begitu kataku saat itu. Aku minta dibelikan boneka, tas, sepatu, buku gambar dan pensil warna. Mudah-mudahan bapak tidak lupa. Ya, nanti sore bapak datang dengan membawa tas besar. Aku akan segera membukanya. Aku ingin segera menimang boneka baru yang lucu. Besok aku akan berangkat sekolah dengan sepatu dan tas baru. Dan siangnya aku bisa menggambar bersama Ani dengan pensil warna. Aduh…betapa senangnya hati ini.
“Siti…” suara itu mengejutkanku. Oh Ani sudah datang. Aku terlalu gembira sampai lupa makan siang. Ani kupersilahkan masuk. Ani kutinggal sebentar. Aku mau makan dulu.Ketika sedang makan Ani memanggilku. Dia mau pinjam peraut pensil. Aku segera berlari. Kuambilakan peraut pensil dari tas, kuberikan pada Ani lalu kembali. Aku mau meneruskan makan. ‘Eh… kemana ikanku ?’ tanyaku dalam hati. Ikan yang tadi kubuat lauk sekarang tidak ada. Di piring hanya tinggal nasi putih.
Oo.. aku tahu sekarang. Ikanku diambil si Belang. Lihat itu si Belang sedang makan ikan di bawah meja. Oh ya aku tadi lupa tidak memberinya makan. Ya sudah. Kuambil krupuk dan kulanjutkan makan. Setelah makan aku menggambar bersama Ani. Ani menggambar bunga mawar. Aku menggambar si Belang sedang makan ikan. Aku bilang nanti sore bapakku akan pulang dari jakarta. ‘Aku akan dibelikan pensil warna. Besok kita warnai gambar ini. Ok ?!’ Ani menjawab ‘Baiklah. tapi besok menggambarnya di rumahku kan ?!’
Ketika hari hampir malam bapak datang. Adik digendong bapak. Ibu meneteng tas. Ternyata bapak tidak membaw tas yang besar. Aku segera menyambutnya. Aku jabat tangan bapak lalu kucium. Bapak mengusap-ngusap rambutku dan mencubit pipiku. ‘Tambah manis saja anak bapak ini.’ Aku tersenyum.
Setelah masuk rumah aku segera bertanya ‘Mana oleh-olehnya ?’ Bapak diam saja. Aku segera membuka tas yang tadi di bawa ibu. Tidak ada boneka, tidak ada tas, tidak ada sepatu, tidak ada pensil warna…. Aku sebel sekali. ‘Mana pesananku ?’ Bapak tidak menjawab. ‘Bapak jahat. Mengapa bapak lupa ? Siti kan pesan sepatu. tas, pensil warna, boneka dan buku gambar…. hua huaa… Bapak nakal’ Aku menangis. Bapak mengangkat tubuhku lalu didudukkan di atas kursi. Bapak mengambil sebuah bungkusan kecil dari dalam tas.
‘Bapak tidak bisa membelikan semua pesananmu. Bapak hanya bisa membelikan ini. Inipun bukan barang baru. Bapak membelinya di pasar loak. Semoga ini bisa menyenangkan hatimu.’ Bapak menyodorkan bungkusan itu kepadaku. Aku tidak tahu apa isinya. Kuterima bungkusan kecil itu. ‘Pasar loak itu pasar apa ?’ tanyaku. Kata Bapak pasar loak adalah pasar yang menjual barang-barang bekas.
Ketika Bapak mandi aku bertanya pada ibu ‘Mengapa bapak tidak membelikanku sepatu, tas, pensil warna, boneka, dan buku gambar ?’ Menurut ibu bayaran kerja bapak tidak banyak. Kalau bapak membelikan semua permintaanku aku tidak akan bisa sekolah lagi. ‘Mengapa tanyaku ?’ Ibu bilang karena uang untuk membayar sekolahku sudah habis untuk membeli sepatu baru, tas baru, pensil warna, boneka, dan buku gambar. Menurut Ibu kita harus hemat dalam menggunakan uang. Kalau tas dan sepatu lama masih bisa dipakai untuk apa beli sepatu baru ? Aku diam saja mendengar penjelasan ibu. Setelah itu aku masuk kamar. Kubuka bungkusan yang tadi diberikan bapak. Ternyata sebuah buku cerita. Aku membacanya sampai tertidur.
Pagi harinya aku berangkat sekolah. Tidak memakai sepatu baru dan tas baru seperti yang kubayangkan kemarin siang. Waktu istirahat aku menemui Ani. Aku minta maaf karena bapak tidak membelikanku pensil warna. Ani hanya tersenyum. Dia bilang ‘Nanti siang kita tetap menggambar. Aku akan menunjukkan sebuah rahasia.’
‘Rahasia apa ?’ tanyaku penasaran.
‘Pokoknya nanti siang datang saja ke rumahku. Ok ?!’
Sepulang sekolah dan makan siang aku langsung berlari ke rumah Ani. Aku ingin segera mengetahui rahasia yang dijanjikan Ani. ‘Sekarang aku punya pewarna.’ kata ani sambil membuka sebuah kotak. Di dalam kotak itu tidak ada pensil warna. Isinya daun-daun dan kuncit dan… ya seperti kotak tempat ibu menyimpan bumbu masak. ‘Inilah rahasia yang tadi pagi aku katakan. Ani mengambil daun jati muda lalu mewarnai gambar mawarnya. Lalu Ani menjelaskan rahasianya. Daun jati muda bisa digunakan untuk pewarna merah. Kunyit bisa digunakan untuk pewarna kuning. Daun Klere sede bisa digunakan untuk pewarna hijau. ‘Asyik sekali’ kataku dalam hati. Aku mencoba mewarnai gambar kucingku.
‘Eh Siti. Bapakmu bawa oleh-oleh apa ?’ tanya Ani. kuambil tasku lalu kukeluarkan sebuah buku cerita. ‘Bapak hanya membelikan buku bekas ini tapi aku senang sekali. Ceritanya bagus.’
Bukan Undangan
BUKAN. Kami bukan orang yang tidak bisa berpakaian rapi sama sekali. Memang setiap hari Anda meilhat kami selalu tidak rapi (menurut standar Anda) Sandal jepit. Kaos oblong. Celana sobek. Rambut kumal. Wajah lusuh. Gelang. Kalung. Anting-anting. Tidak. Kami tidak selalu begitu.
TIDAK. Anda tidak dilarang menyebut kami ‘tidak rapi’. Tidak disipilin. Tidak bisa diatur. Tidak tertib. Sebutan apa saja boleh, tidak kami larang, tapi kami tidak mau dilarang.
TIDAK. Anda tidak dilarang membuat aturan.Dilarang masuk kampus dengan sandal japet dan kaos.Rambut tidak boleh gondrong. Dilarang merokok di kampus. Mahasiswa harus mengikuti kuliah 60 %. Tidak boleh bemalam di kampus. Tidak boleh membuat kegiatan yang aneh-aneh. Aturan apa saja boleh, tapi kami tidak mau dipaksa.
TIDAK. Kami tidak selalu begini. Tidak selalu menyebalkan mata Anda. Pada waktu tertentu kami berdandan sangat rapi. Tidak di pagi hari. Tidak siang. Tidak juga sore. ‘Makan malam’ itulah saatnya kami berdandan. Melepas sandal japit ganti sepatu. Kaos ganti batik. Jins robek ganti celana rapi. Lepasa gelang, kalung dan anting-anting. Tentu saja sebelumnya kami tidak lupa mandi sekaligus keramas.
BUKAN. Ini bukan makan malam biasa. Bagi kami ‘makan malam’ adalah pesta perbaikan gizi. Berbagai menu lezat tersedia. Tidak perlu bayar. Es krim, soda, kambing guling, soto sulung, siomay, batagor, bakso sapi, lasanze, pasta, ayam goreng, sate, sea food, bajigur, ronde, es buah……..tidak bayar.
TIDAK. Kami tidak mendapat undangan. Bukan saudara, teman, kenalan kedua mempelai ataupun orang tua mereka. Kalaupun kami kenal itu kebetulan saja. Kami tidak mewakili seseorang. Kami datang tanpa diundang.
TIDAK. Kami datang tidak untuk menyumbang. Tidak untuk menonton pengantin. Tidak minta souvenir pernikahan. Tidak mau mengganggu. Bila ternyata dianggap mengganggu, itu bukan maksud dan tujuan Kami. Tidak lain kami datang untuk makan. Lain ? tidak ! Kami tidak akan mengambil atau mengurangi jatah tamu yang lain. Kami ikut menikmati makanan yang sudah pasti sisa.
TIDAK. Tidak ada kesempatan lain kalau Anda ingin melihat kami menanggalkan ketidakrapian. Hanya ‘makan malam’ itulah waktunya. Aku tidak tahu siapa yang menamakan gerombolan kami ini. Sering Kami disebut KM3 (Komunitas Mahasiswa Makan Malam)
BUKAN. KM3 bukan organisasi ekstra atau intra kampus. Bukan Unit kegiatan Mahasiswa. Bukan badan semi otonomnya organisasi lain. Bukan gerombolan perusuh, tapi bila disebut begitu Kamipun tidak marah. Kami tidak punya ketua. Kami tidak butuh tukang perintah. Kami hanya butuh makan. Anggota tidak jelas jumlahnya.
TIDAK. Bila mengadakan resepsi pernikahan, Anda tidak perlu memberi Kami undangan. Janur kuning yang melengkung di depan Graha Pra Sanggama itulah yang akan memberitahu kami bahwa nanti malam ada ‘makan malam’. Tidak setiap resepsi Kami kunjungi. Kami tidak punya jadwal kunjungan. Kalau Kami ingin, Kami datang. Tapi tidak janji. Bila ada rezeki mungkin kami di warung koboi. Bila tidak ada rezeqi dan tidak ada resepsi, tidak perlu khawatir. Kami yakin rezeqi tak akan lari. Kami yakin tidak akan mati kelaparan.
BUKAN. Kami bukan orang yang tidak bisa berpakaian rapi sama sekali. Memang setiap hari Anda meilhat kami selalu tidak rapi (menurut standar Anda) Sandal jepit. Kaos oblong. Celana sobek. Rambut kumal. Wajah lusuh. Gelang. Kalung. Anting-anting. Tidak. Kami tidak selalu begitu.
TIDAK. Anda tidak dilarang menyebut kami ‘tidak rapi’. Tidak disipilin. Tidak bisa diatur. Tidak tertib. Sebutan apa saja boleh, tidak kami larang, tapi kami tidak mau dilarang.
TIDAK. Anda tidak dilarang membuat aturan.Dilarang masuk kampus dengan sandal japet dan kaos.Rambut tidak boleh gondrong. Dilarang merokok di kampus. Mahasiswa harus mengikuti kuliah 60 %. Tidak boleh bemalam di kampus. Tidak boleh membuat kegiatan yang aneh-aneh. Aturan apa saja boleh, tapi kami tidak mau dipaksa.
TIDAK. Kami tidak selalu begini. Tidak selalu menyebalkan mata Anda. Pada waktu tertentu kami berdandan sangat rapi. Tidak di pagi hari. Tidak siang. Tidak juga sore. ‘Makan malam’ itulah saatnya kami berdandan. Melepas sandal japit ganti sepatu. Kaos ganti batik. Jins robek ganti celana rapi. Lepasa gelang, kalung dan anting-anting. Tentu saja sebelumnya kami tidak lupa mandi sekaligus keramas.
BUKAN. Ini bukan makan malam biasa. Bagi kami ‘makan malam’ adalah pesta perbaikan gizi. Berbagai menu lezat tersedia. Tidak perlu bayar. Es krim, soda, kambing guling, soto sulung, siomay, batagor, bakso sapi, lasanze, pasta, ayam goreng, sate, sea food, bajigur, ronde, es buah……..tidak bayar.
TIDAK. Kami tidak mendapat undangan. Bukan saudara, teman, kenalan kedua mempelai ataupun orang tua mereka. Kalaupun kami kenal itu kebetulan saja. Kami tidak mewakili seseorang. Kami datang tanpa diundang.
TIDAK. Kami datang tidak untuk menyumbang. Tidak untuk menonton pengantin. Tidak minta souvenir pernikahan. Tidak mau mengganggu. Bila ternyata dianggap mengganggu, itu bukan maksud dan tujuan Kami. Tidak lain kami datang untuk makan. Lain ? tidak ! Kami tidak akan mengambil atau mengurangi jatah tamu yang lain. Kami ikut menikmati makanan yang sudah pasti sisa.
TIDAK. Tidak ada kesempatan lain kalau Anda ingin melihat kami menanggalkan ketidakrapian. Hanya ‘makan malam’ itulah waktunya. Aku tidak tahu siapa yang menamakan gerombolan kami ini. Sering Kami disebut KM3 (Komunitas Mahasiswa Makan Malam)
BUKAN. KM3 bukan organisasi ekstra atau intra kampus. Bukan Unit kegiatan Mahasiswa. Bukan badan semi otonomnya organisasi lain. Bukan gerombolan perusuh, tapi bila disebut begitu Kamipun tidak marah. Kami tidak punya ketua. Kami tidak butuh tukang perintah. Kami hanya butuh makan. Anggota tidak jelas jumlahnya.
TIDAK. Bila mengadakan resepsi pernikahan, Anda tidak perlu memberi Kami undangan. Janur kuning yang melengkung di depan Graha Pra Sanggama itulah yang akan memberitahu kami bahwa nanti malam ada ‘makan malam’. Tidak setiap resepsi Kami kunjungi. Kami tidak punya jadwal kunjungan. Kalau Kami ingin, Kami datang. Tapi tidak janji. Bila ada rezeki mungkin kami di warung koboi. Bila tidak ada rezeqi dan tidak ada resepsi, tidak perlu khawatir. Kami yakin rezeqi tak akan lari. Kami yakin tidak akan mati kelaparan.
Aku Punya Dua Ibu
Sebuah Cerita Anak oleh Faiq
Aku berpisah dengan ibu ketika aku kelas lima. Mulai saat itu aku tinggal di rumah bibi. Rumah bibi jauh sekali. Beda desa, beda kecamatan, dan beda kabupaten, beda propinsi. Rumah ibu di desa Tedunan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, propinsi Jawa Tengah. Sedangkan rumah bibi di Jogja. Bibi sudah lama menikah tapi belum punya anak. Ibu memintaku menemani mereka.
Awalnya aku keberatan. Aku tidak mau berpisah dengan ibu, bapak, kakak, adik, teman-teman sekolah, teman-teman ngaji, dan teman-teman yang lain.
Waktu berangkat ke Jogja aku senang sekali. Ibu dan bapak tidak bisa mengantarku. Aku berangkat bersama bibi dan paman. Dari terminal Semarang kami naik bis besar jurusan Jogja. Inilah pertama kalinya aku naik bis sebesar ini. Inilah pertama kalinya aku bepergian jauh. Paman dan bibi baik sekali. Ya terlalu baik. Setiap ada pedagang yang menawarkan dagangannya di bis, bibi selalu bertanya kepadaku apakah aku mau ? Walaupun aku menggeleng bibi tetap membelinya. Aku dibelikan, permen, kacang, tahu, minuman, gantungan kunci, pena, dan mainan. Ternyata bis juga seperti pasar. Banyak pedagang yang menawarkan dagangan kepada para penumpang. Dagangannya juga bermacam-macam. Ada juga pengamen dan pengemis. Aku benar-benar menikmati perjalan ini.
Aku mulai sedih ketika sudah dua hari di rumah bibi. Aku merasa rumah bibi sepi. Sepi sekali. Di sini aku tidak punya teman bermain. Akhirnya pada suatu malam aku menangis. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Ketika bangun tidur aku minta diantar pulang ke rumah ibu. Bibi menggeleng-gelengkan kepala. Bibi membujukku agar tetap mau menemaninya. Bibi sangat sedih bila aku pulang ke rumah ibu. Ya agar rumah ini tidak sepi sekali. Tapi aku di sini tidak punya teman bermain, Bi. Bibi bilang sebentar lagi aku akan mempunyai banyak teman baru yang sangat menyenangkan.
Hari itu aku diantarkan ke sekolah baruku. Ya aku jadi murid baru di sekolah itu. Aku masuk kelas lima. Aku tidak punya teman. Murid itu satu kelas itu tidak ada yang aku kenal. Mereka juga tidak ada yang mengenalku. Aku bingung. Teman sebangku diam saja. Aku hanya melihatnya. Dia hanya melihatku. Aku mau mengajak kenalan tapi tidak berani. Murid-murid yang lain juga hanya melihatku. Bahkan ada yang berbisik-bisik. Sepertinya mereka membicarakanku. Aku diam saja
Guru masuk lalu mengucapkan salam. Kami berdo’a bersama. Tapi aku tidak hapal semua. Do’a di sekolah ini berbeda dengan do’a di sekolahku dulu. Memang ada yang sama. Tapi ada yang berbeda. Setelah berdo’a teman-teman berteriak ‘Ada murid baru.’ Mana ? tanya Pak Guru. Mereka menujukku. Aku disuruh maju dan memperkenalkan diri. Aku agak takut.
Di berdiri di depan kelas. Semua mata memandangku. Kakiku gemetar. Kubuka mulutku dan berkata. Namaku Aida. Aku segera kembali ke bangku. Baru saja satu langkah, pak guru memegang bahuku. Dia bertanya aku berasal dari mana ? Aku dari MI desa Tedunan, Wedung, Demak, Jawa Tengah. Pak guru bertanya lagi, Mengapa pindah ke sini ? Karena sekarang aku tinggal di sini bersama bibi. Perkenalan selesai. Pelajaran di mulai.
Di kelas ini aku merasa paling bodoh. Padahal di sekolahku yang dulu aku selalu rangking satu. Ah ternyata masih banyak teman yang lebih pintar. Di kelas ini teman-teman sudah pandai membuka kamus bahasa Inggris. Sedangkan di sekolahku yang dulu tidak ada satu murid pun yang punya kamus. Di sini teman-teman pandai membuat karangan, pandai baca puisi, pandai menyanyi, dan sebagainya dan sebagainya. Di sini aku merasa sedih tapi juga senang. Sedih karena merasa paling bodoh. Senang karena teman-temanku pandai.
Aku mulai kenalan dengan mereka waktu istirahat. Pertama kali yang kukenal adalah teman sebangkuku. Akhirnya aku mengenal semua murid sekelasku. Aku juga mengenal beberapa murid kelas lain. Di rumah aku juga mulai punya teman. Aku sudah kenal dengan tetangga. Kadang teman-teman sekolah main ke rumah. Aku senang sekali. Aku mulai menikmati hari-hariku di Jogja.
Kadang aku juga teringat ibu, bapak, kakak, dan adik. Juga teman-temanku di Tedunan. Setiap bulan sekali aku mengirim surat untuk ibu sekeluarga. Tapi ternyata surat tidak cukup. Kadang aku ingin pulang. Ingin sekali bertemu ibu. Tapi tidak bisa. Untuk pulang aku harus menunggu liburan semester. Padahal liburan masih lama. Semakin hari semakin aku semakin rindu. Akhirnya lewat surat kuminta ibu mengirim foto. Aku juga mengirim foto dalam surat itu. Sebenarnya aku juga ingin mendengar suara ibu. Tapi sayang sungguh sayang sekali. Di rumah ibu belum ada telpon.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang. Bibi dan paman jarang di rumah. Paman dan bibi sibuk sekali. Pagi-pagi bibi dan paman berangkat kerja. Kami berangkat bersama. Tapi pulang hampir tidak pernah bersama. Aku pulang siang hari. Bibi pulang sore hari. Paman pulang malam hari. Kami makan bersama hanya waktu sarapan.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang ke rumah ibu. Paman dan bibi tidak punya hewan peliharaan. Aku ingin memelihara kucing tapi tidak boleh. Di sini, di Jogja ini ada yang menyenangkan tapi ada juga yang tidak menyenangkan. Aku ceritakan semua kepada ibu lewat surat. Dalam surat balasannya ibu bilang aku harus memahami kesibukan bibi dan paman. Ibu juga rindu kepadaku. Ibu berpesan ‘Demi ibumu gembirakanlah bibi dan pamanmu. Anggaplah mereka seperti orang tuamu sendiri. Untuk masalah kucing, coba bilang pada bibi dan paman dengan baik-baik’.
Ya, aku sayang ibu. Sayang bapak. Sayang kakak. Sayang adik. Juga sayang bibi dan paman. Aku tetap menunggu waktu liburan. Menunggu waktu untuk pulang dan bertemu ibu, bapak sekeluarga. Walau begitu aku tetap berjanji menemani bibi dan paman. Ya aku menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri. Sekarang aku punya dua ibu dan dua bapak. Ibu kandungku dan bibi, bapak kandungku dan paman. Terima kasih atas semua kebaikanmu, Bibi. Makasih, Paman. Terima kasih sekali.***
Sebuah Cerita Anak oleh Faiq
Aku berpisah dengan ibu ketika aku kelas lima. Mulai saat itu aku tinggal di rumah bibi. Rumah bibi jauh sekali. Beda desa, beda kecamatan, dan beda kabupaten, beda propinsi. Rumah ibu di desa Tedunan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, propinsi Jawa Tengah. Sedangkan rumah bibi di Jogja. Bibi sudah lama menikah tapi belum punya anak. Ibu memintaku menemani mereka.
Awalnya aku keberatan. Aku tidak mau berpisah dengan ibu, bapak, kakak, adik, teman-teman sekolah, teman-teman ngaji, dan teman-teman yang lain.
Waktu berangkat ke Jogja aku senang sekali. Ibu dan bapak tidak bisa mengantarku. Aku berangkat bersama bibi dan paman. Dari terminal Semarang kami naik bis besar jurusan Jogja. Inilah pertama kalinya aku naik bis sebesar ini. Inilah pertama kalinya aku bepergian jauh. Paman dan bibi baik sekali. Ya terlalu baik. Setiap ada pedagang yang menawarkan dagangannya di bis, bibi selalu bertanya kepadaku apakah aku mau ? Walaupun aku menggeleng bibi tetap membelinya. Aku dibelikan, permen, kacang, tahu, minuman, gantungan kunci, pena, dan mainan. Ternyata bis juga seperti pasar. Banyak pedagang yang menawarkan dagangan kepada para penumpang. Dagangannya juga bermacam-macam. Ada juga pengamen dan pengemis. Aku benar-benar menikmati perjalan ini.
Aku mulai sedih ketika sudah dua hari di rumah bibi. Aku merasa rumah bibi sepi. Sepi sekali. Di sini aku tidak punya teman bermain. Akhirnya pada suatu malam aku menangis. Aku ingin pulang ke rumah ibu. Ketika bangun tidur aku minta diantar pulang ke rumah ibu. Bibi menggeleng-gelengkan kepala. Bibi membujukku agar tetap mau menemaninya. Bibi sangat sedih bila aku pulang ke rumah ibu. Ya agar rumah ini tidak sepi sekali. Tapi aku di sini tidak punya teman bermain, Bi. Bibi bilang sebentar lagi aku akan mempunyai banyak teman baru yang sangat menyenangkan.
Hari itu aku diantarkan ke sekolah baruku. Ya aku jadi murid baru di sekolah itu. Aku masuk kelas lima. Aku tidak punya teman. Murid itu satu kelas itu tidak ada yang aku kenal. Mereka juga tidak ada yang mengenalku. Aku bingung. Teman sebangku diam saja. Aku hanya melihatnya. Dia hanya melihatku. Aku mau mengajak kenalan tapi tidak berani. Murid-murid yang lain juga hanya melihatku. Bahkan ada yang berbisik-bisik. Sepertinya mereka membicarakanku. Aku diam saja
Guru masuk lalu mengucapkan salam. Kami berdo’a bersama. Tapi aku tidak hapal semua. Do’a di sekolah ini berbeda dengan do’a di sekolahku dulu. Memang ada yang sama. Tapi ada yang berbeda. Setelah berdo’a teman-teman berteriak ‘Ada murid baru.’ Mana ? tanya Pak Guru. Mereka menujukku. Aku disuruh maju dan memperkenalkan diri. Aku agak takut.
Di berdiri di depan kelas. Semua mata memandangku. Kakiku gemetar. Kubuka mulutku dan berkata. Namaku Aida. Aku segera kembali ke bangku. Baru saja satu langkah, pak guru memegang bahuku. Dia bertanya aku berasal dari mana ? Aku dari MI desa Tedunan, Wedung, Demak, Jawa Tengah. Pak guru bertanya lagi, Mengapa pindah ke sini ? Karena sekarang aku tinggal di sini bersama bibi. Perkenalan selesai. Pelajaran di mulai.
Di kelas ini aku merasa paling bodoh. Padahal di sekolahku yang dulu aku selalu rangking satu. Ah ternyata masih banyak teman yang lebih pintar. Di kelas ini teman-teman sudah pandai membuka kamus bahasa Inggris. Sedangkan di sekolahku yang dulu tidak ada satu murid pun yang punya kamus. Di sini teman-teman pandai membuat karangan, pandai baca puisi, pandai menyanyi, dan sebagainya dan sebagainya. Di sini aku merasa sedih tapi juga senang. Sedih karena merasa paling bodoh. Senang karena teman-temanku pandai.
Aku mulai kenalan dengan mereka waktu istirahat. Pertama kali yang kukenal adalah teman sebangkuku. Akhirnya aku mengenal semua murid sekelasku. Aku juga mengenal beberapa murid kelas lain. Di rumah aku juga mulai punya teman. Aku sudah kenal dengan tetangga. Kadang teman-teman sekolah main ke rumah. Aku senang sekali. Aku mulai menikmati hari-hariku di Jogja.
Kadang aku juga teringat ibu, bapak, kakak, dan adik. Juga teman-temanku di Tedunan. Setiap bulan sekali aku mengirim surat untuk ibu sekeluarga. Tapi ternyata surat tidak cukup. Kadang aku ingin pulang. Ingin sekali bertemu ibu. Tapi tidak bisa. Untuk pulang aku harus menunggu liburan semester. Padahal liburan masih lama. Semakin hari semakin aku semakin rindu. Akhirnya lewat surat kuminta ibu mengirim foto. Aku juga mengirim foto dalam surat itu. Sebenarnya aku juga ingin mendengar suara ibu. Tapi sayang sungguh sayang sekali. Di rumah ibu belum ada telpon.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang. Bibi dan paman jarang di rumah. Paman dan bibi sibuk sekali. Pagi-pagi bibi dan paman berangkat kerja. Kami berangkat bersama. Tapi pulang hampir tidak pernah bersama. Aku pulang siang hari. Bibi pulang sore hari. Paman pulang malam hari. Kami makan bersama hanya waktu sarapan.
Ada lagi yang membuatku ingin pulang ke rumah ibu. Paman dan bibi tidak punya hewan peliharaan. Aku ingin memelihara kucing tapi tidak boleh. Di sini, di Jogja ini ada yang menyenangkan tapi ada juga yang tidak menyenangkan. Aku ceritakan semua kepada ibu lewat surat. Dalam surat balasannya ibu bilang aku harus memahami kesibukan bibi dan paman. Ibu juga rindu kepadaku. Ibu berpesan ‘Demi ibumu gembirakanlah bibi dan pamanmu. Anggaplah mereka seperti orang tuamu sendiri. Untuk masalah kucing, coba bilang pada bibi dan paman dengan baik-baik’.
Ya, aku sayang ibu. Sayang bapak. Sayang kakak. Sayang adik. Juga sayang bibi dan paman. Aku tetap menunggu waktu liburan. Menunggu waktu untuk pulang dan bertemu ibu, bapak sekeluarga. Walau begitu aku tetap berjanji menemani bibi dan paman. Ya aku menganggap mereka sebagai orang tuaku sendiri. Sekarang aku punya dua ibu dan dua bapak. Ibu kandungku dan bibi, bapak kandungku dan paman. Terima kasih atas semua kebaikanmu, Bibi. Makasih, Paman. Terima kasih sekali.***
Liburan di Desa Nenek
Sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Namaku filah. Rumahku di Surabaya. Aku punya adik satu. Namanya Ahnaf. Liburan kali ini, kami sekeluarga pergi ke desa. Ya, ibu, adik, ayah, dan aku pergi ke rumah nenek di desa Tedunan, kecamatan Wedung, Kabupaten demak, propinsi Jawa Tengah.
Dari Surabaya kami naik bus menuju terminal Kudus. Di terminal Kudus banyak yang jualan jenang kudus. Dari kudus kami naik angkutan kota menuju terminal kota. Angkutan kota itu berwarna ungu. Angkutan kota ini melewati kota kudus menuju sub terminal jenak. Sub terminal Jenak berada di pinggir kota Kudus. Dari sub terminal Jenak kami nak bus mini jurusan Jepara. Kami turun di Pecangaan. Ya, di bunderan pecangaan. Di dekat bunderan itu ada pabrik karung goni. Dari pecangaan kami naik angkutan jurusan kedung. Mobil angkutan itu sangat jelek. Catnya kusam. Sudah berkarat. Jendelanya sebagian tidak berkaca tapi diganti triplek. Bahkan ada mobil angkutan yang tidak ada daun pintunya. Angkutan jelek ini diisi orang sampai penuh. Sangat penuh dan berdesak-desakan. Udara jadi terasa panas. Hampir-hampir tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas.
Penumpangnya bermacam-macam. Ada ibu-ibu yang membawa ember. Kata ibu mereka itu pedagang ikan. Mereka pulang dari pasar. Setiap hari mereka membeli ikan dari para nelayan. Kemudian dijual di pasar. Ada mas-mas dan mbak-mbak yang berkaos cerah dan bercelana jins. Kata ibu mereka pulang dari kerja. Mereka kerja di daerah Jepara. Mereka kerja sebagai tenaga pengamplas meja, kursi dan sebagainya. Ada juga yang kerja di daerah Troso. Di Troso adalah pusat kain tenun. Ya, kain yang tidak ditenun dengan mesin pabrik. Begitu kata ibu. Ada anak kecil yang menangis terus. Mungkin karena kepanasan. Ada bapak-bapak. Ada nenek-nenek yang mengantuk. Ada anak-anak dengan seragam sekolah.
Setelah benar-benar sudah penuh, mobil angkutan ini mulai berjalan. Suara knalpotnya keras sekali. Di perjalanan ibu memberitahuku nama-nama desa yang kami lewati. Aku melihat sawah di tepi jalan. Hamparan sawah itu luas sekali. Setelah itu kami melewati desa Karang Randu lalu ada sawah lagi. Setelah melewati sawah, mobil angkutan ini membelok ke arah kanan. Kami melewati desa Gerdu lalu ada sawah lagi. Sawah di kanan dan kiri jalan.
Penduduk desa Gerdu banyak yang beternak itik. Itik petelur. Orang-orang di sini menyebutnya bebek jowo (itik jawa). Telur itik itu biasanya dibeli pedagang untuk dibuat telur asin. Sawah yang luas sekali. Beberasa saat kemudian ibu bilang, ini desa Kaliombo. Aku melihat rumah-rumah di sebelah kanan jalan sedangkan di kiri jalan ada sawah tapi tidak begitu luas. Setelah desa ini kami akan sampai di desa Tedunan.
Kami turun di desa Tedunan Lor alias Tedunan Utara. Rumah nenek bukan di desa ini tapi di Tedunan Kidul alias Tedunan Selatan. Kami harus menyebrangi sungai yang lebar sekali. Namanya sungai Serang. Kata ibu orang-orang desa menyebutnya kali gede. Artinya sungai besar. Untung masih ada jembatan. Kata ibu jembatan ini setidaknya setahun sekali roboh karena diterjang banjir. Adik bertanya Kalau jembatan roboh bagaimana cara menyebrangnya, Bu ? Ibu menjawab, Ya pakai perahu. Wah asyik dong naik perahu.
Penduduk desa Tedunan sebagian adalah nelayan. Di tepi sungai ada beberapa perahu. Kata ibu perahu itu digunakan untuk pergi ke laut. Tapi ada juga nelayan yang mencari ikan di sungai serang ini. Di tengah sungai terlihat beberapa beranjang. Beranjang dibuat dari bambu. Beranjang itu mempunyai jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
Kami berjalan pelan-pelan melewati jembatan bambu ini. Ya takut juga kalau melihat ke bawah. Yah… akhirnya sampai di Tedunan Kidul. Rumah nenek tidak jauh dari jembatan itu. Kira-kira seratus meteran lah.
Aku langsung berlari masuk rumah. Kuteriakkan salam. Aku berteriak, Mbah Putri…! Begitulah aku memanggil nenekku. Eh yang keluar malah paman Faiq. Paman Faiq adalah adiknya ibu. Paman faiq masih muda. Dia belum punya istri.
Rumah nenek besar sekali. Jauh lebih besar dari rumah kami di Surabaya. Rumah kami paling hanya sebesar ruang tamunya rumah ini. Halamannya juga luas. Halaman itu ditumbuhi rumput hijau. Wah asyik buat mainsepak bola ya ?! Di belakang rumah juga ada pekarangan. Ada Kelapa, Pisang, Sirkaya, Pepaya, Turi, dan pohon-pohon yang lain. Oh ya ada juga kolam ikan.
Kadang Mbah Putri mengambil beberapa daun pepaya. Daun pepaya itu dicuci lalu ditumbuk sampai halus. Setelah itu beri air segelas kemudian diperas dan disaring. Air perasan itu diminum. Katanya buat jamu. Mbah Putri bilang daun Pepaya bisa memperkuat daya tahan tubuh. Bisa juga menambah nafsu makan. Selain itu daun Pepaya juga bisa dibuat sayur. Agar tidak pahit waktu merebus dicampur dengan daun Kuda. Ternyata enak juga lho sayur daun pepaya. Apalagi yang memasak Mbah Putri. Siapa dulu dong cucunya ? Ha ha ha.
Di samping rumah Mbah Putri ada rumah Mbah Najib. Tapi mbah Najib tidak ada di rumah. Mbah Najib kerja di Arab. Aku sering berkunjung ke rumah Mbah Najib. Di sana ada Mas Fair. Mas Fair juga masih kecil seperti saya. Dia juga masih sekolah di MI. Mas Fair punya banyak mainan. Kadang aku, adik, dan Mas Fair bermain sepak bola di halaman rumah Mbah Putri.
Di desa ini aku punya saudara sepupu. Namanya Lina, Wafa,dan Fatih. Adik fatih masih kecil. Kecil sekali. Dia baru bisa merangkak dan mulai belajar berjalan. Dik Wafa adalah kakaknya dik Fatih. Dik Wafa dan Dik Fatih adalah anaknya paman Udin. Paman Udin adalah adiknya Ibu. Rumah paman Udin di Troso.
Kadang aku dan adik bermain ke rumah Dik Lina. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Mbah Putri. Kira-kira tiga ratus meter. Dik Lina adalah anaknya paman Subhan. Di rumahnya banyak kaligrafi. Kaligrafi itu dibuat dari kuningan. Wah bagus sekali.
Setelah satu minggu di Tedunan kami pulang ke Surabaya. Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Sholat subuh, mandi, lalu sarapan. Kami diantar dengan sepeda motor sampai di Pecangaan. Begitulah liburan kami yang sangat menyenangkan.
Sebuah cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Namaku filah. Rumahku di Surabaya. Aku punya adik satu. Namanya Ahnaf. Liburan kali ini, kami sekeluarga pergi ke desa. Ya, ibu, adik, ayah, dan aku pergi ke rumah nenek di desa Tedunan, kecamatan Wedung, Kabupaten demak, propinsi Jawa Tengah.
Dari Surabaya kami naik bus menuju terminal Kudus. Di terminal Kudus banyak yang jualan jenang kudus. Dari kudus kami naik angkutan kota menuju terminal kota. Angkutan kota itu berwarna ungu. Angkutan kota ini melewati kota kudus menuju sub terminal jenak. Sub terminal Jenak berada di pinggir kota Kudus. Dari sub terminal Jenak kami nak bus mini jurusan Jepara. Kami turun di Pecangaan. Ya, di bunderan pecangaan. Di dekat bunderan itu ada pabrik karung goni. Dari pecangaan kami naik angkutan jurusan kedung. Mobil angkutan itu sangat jelek. Catnya kusam. Sudah berkarat. Jendelanya sebagian tidak berkaca tapi diganti triplek. Bahkan ada mobil angkutan yang tidak ada daun pintunya. Angkutan jelek ini diisi orang sampai penuh. Sangat penuh dan berdesak-desakan. Udara jadi terasa panas. Hampir-hampir tidak bisa bergerak, tidak bisa bernafas.
Penumpangnya bermacam-macam. Ada ibu-ibu yang membawa ember. Kata ibu mereka itu pedagang ikan. Mereka pulang dari pasar. Setiap hari mereka membeli ikan dari para nelayan. Kemudian dijual di pasar. Ada mas-mas dan mbak-mbak yang berkaos cerah dan bercelana jins. Kata ibu mereka pulang dari kerja. Mereka kerja di daerah Jepara. Mereka kerja sebagai tenaga pengamplas meja, kursi dan sebagainya. Ada juga yang kerja di daerah Troso. Di Troso adalah pusat kain tenun. Ya, kain yang tidak ditenun dengan mesin pabrik. Begitu kata ibu. Ada anak kecil yang menangis terus. Mungkin karena kepanasan. Ada bapak-bapak. Ada nenek-nenek yang mengantuk. Ada anak-anak dengan seragam sekolah.
Setelah benar-benar sudah penuh, mobil angkutan ini mulai berjalan. Suara knalpotnya keras sekali. Di perjalanan ibu memberitahuku nama-nama desa yang kami lewati. Aku melihat sawah di tepi jalan. Hamparan sawah itu luas sekali. Setelah itu kami melewati desa Karang Randu lalu ada sawah lagi. Setelah melewati sawah, mobil angkutan ini membelok ke arah kanan. Kami melewati desa Gerdu lalu ada sawah lagi. Sawah di kanan dan kiri jalan.
Penduduk desa Gerdu banyak yang beternak itik. Itik petelur. Orang-orang di sini menyebutnya bebek jowo (itik jawa). Telur itik itu biasanya dibeli pedagang untuk dibuat telur asin. Sawah yang luas sekali. Beberasa saat kemudian ibu bilang, ini desa Kaliombo. Aku melihat rumah-rumah di sebelah kanan jalan sedangkan di kiri jalan ada sawah tapi tidak begitu luas. Setelah desa ini kami akan sampai di desa Tedunan.
Kami turun di desa Tedunan Lor alias Tedunan Utara. Rumah nenek bukan di desa ini tapi di Tedunan Kidul alias Tedunan Selatan. Kami harus menyebrangi sungai yang lebar sekali. Namanya sungai Serang. Kata ibu orang-orang desa menyebutnya kali gede. Artinya sungai besar. Untung masih ada jembatan. Kata ibu jembatan ini setidaknya setahun sekali roboh karena diterjang banjir. Adik bertanya Kalau jembatan roboh bagaimana cara menyebrangnya, Bu ? Ibu menjawab, Ya pakai perahu. Wah asyik dong naik perahu.
Penduduk desa Tedunan sebagian adalah nelayan. Di tepi sungai ada beberapa perahu. Kata ibu perahu itu digunakan untuk pergi ke laut. Tapi ada juga nelayan yang mencari ikan di sungai serang ini. Di tengah sungai terlihat beberapa beranjang. Beranjang dibuat dari bambu. Beranjang itu mempunyai jaring yang digunakan untuk menangkap ikan.
Kami berjalan pelan-pelan melewati jembatan bambu ini. Ya takut juga kalau melihat ke bawah. Yah… akhirnya sampai di Tedunan Kidul. Rumah nenek tidak jauh dari jembatan itu. Kira-kira seratus meteran lah.
Aku langsung berlari masuk rumah. Kuteriakkan salam. Aku berteriak, Mbah Putri…! Begitulah aku memanggil nenekku. Eh yang keluar malah paman Faiq. Paman Faiq adalah adiknya ibu. Paman faiq masih muda. Dia belum punya istri.
Rumah nenek besar sekali. Jauh lebih besar dari rumah kami di Surabaya. Rumah kami paling hanya sebesar ruang tamunya rumah ini. Halamannya juga luas. Halaman itu ditumbuhi rumput hijau. Wah asyik buat mainsepak bola ya ?! Di belakang rumah juga ada pekarangan. Ada Kelapa, Pisang, Sirkaya, Pepaya, Turi, dan pohon-pohon yang lain. Oh ya ada juga kolam ikan.
Kadang Mbah Putri mengambil beberapa daun pepaya. Daun pepaya itu dicuci lalu ditumbuk sampai halus. Setelah itu beri air segelas kemudian diperas dan disaring. Air perasan itu diminum. Katanya buat jamu. Mbah Putri bilang daun Pepaya bisa memperkuat daya tahan tubuh. Bisa juga menambah nafsu makan. Selain itu daun Pepaya juga bisa dibuat sayur. Agar tidak pahit waktu merebus dicampur dengan daun Kuda. Ternyata enak juga lho sayur daun pepaya. Apalagi yang memasak Mbah Putri. Siapa dulu dong cucunya ? Ha ha ha.
Di samping rumah Mbah Putri ada rumah Mbah Najib. Tapi mbah Najib tidak ada di rumah. Mbah Najib kerja di Arab. Aku sering berkunjung ke rumah Mbah Najib. Di sana ada Mas Fair. Mas Fair juga masih kecil seperti saya. Dia juga masih sekolah di MI. Mas Fair punya banyak mainan. Kadang aku, adik, dan Mas Fair bermain sepak bola di halaman rumah Mbah Putri.
Di desa ini aku punya saudara sepupu. Namanya Lina, Wafa,dan Fatih. Adik fatih masih kecil. Kecil sekali. Dia baru bisa merangkak dan mulai belajar berjalan. Dik Wafa adalah kakaknya dik Fatih. Dik Wafa dan Dik Fatih adalah anaknya paman Udin. Paman Udin adalah adiknya Ibu. Rumah paman Udin di Troso.
Kadang aku dan adik bermain ke rumah Dik Lina. Rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Mbah Putri. Kira-kira tiga ratus meter. Dik Lina adalah anaknya paman Subhan. Di rumahnya banyak kaligrafi. Kaligrafi itu dibuat dari kuningan. Wah bagus sekali.
Setelah satu minggu di Tedunan kami pulang ke Surabaya. Pagi-pagi sekali aku dibangunkan. Sholat subuh, mandi, lalu sarapan. Kami diantar dengan sepeda motor sampai di Pecangaan. Begitulah liburan kami yang sangat menyenangkan.
PRAAAANG !!!
Sebuah Cerita Anak Oleh Faiq Aminuddin
Siang itu Aida dan Agus duduk menghadapi meja makan. Perut mereka sudah lapar. Maklum sudah siang. Memang sudah waktunya makan siang. Apalagi mereka baru saja bersih-bersih kamar. Lelah dan lapar. Tapi ternyata makan siang belum siap. Di meja makan hanya ada gelas dan teko. Aida segera minum air putih untuk menghilangkan rasa haus. Agus juga minum. “Bu lapar…” teriak Agus.
“Sebentar, Sayang. Tolong Agus ambil nasi.” Kata ibu sambil menggoreng ikan.
“Aida, tolong ambil piring.” Aida segera bangkit. Dia mengambil tiga buah piring dari rak. Aida membawanya sambil bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak. Tiga buah piring itu terlepas dari tangan, meluncur ke bawah lalu membentur lantai.
PRAAANG !!!
Nyanyian Aida terhenti. Langkahnya juga terhenti. Matanya memandangi ketiga piring yang sudah menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Aduh… Aida ?! Kenapa… ?” Aida diam saja. Dia takut ibu marah. Tapi ternyata ibu tidak marah. Ibu mengambil kerangjang sampah. Lalu berjongkok memunguti pecahan-pecahan piring lalu dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Aida meniru apa yang dilakukan ibu. “Hati-hati tanganmu.”
Agus tetap duduk di kursi. Tangannya memegang perut, menahan lapar. Tiba-tiba hidungnya bergerak-gerak. Sepertinya ada bau…” Gosong… Gosong, Bu.” Teriaknya. Ibu langsung bangkit dan berlari menghampiri kompor. Ibu segera mengentas ikan yang telah berwarna hitam itu dari wajan.
Aida sudah selesai membersihkan pecahan piring. Ibu sudah selesai menggoreng ikan. Sekarang makan siang siap dimulai. Ibu sudah mengambil piring lagi. Bukan piring kaca tapi piring plastik. Sepiring ikan goreng dan semangkuk sayur sudah tersaji di meja makan. “Lho mana nasinya ?” Tanya ibu. Ternyata Agus sejak tadi hanya duduk di kursi. Nasi belum diambil. “Aida, tolong ambil nasi.” Kata ibu sambil mengambil sendok di rak. Tinggal Agus duduk sendirian di hadapan meja makan. Agus sudah sangat lapar.
Agus segera mengambil piring. Tiba-tiba seekor kucing melompat ke atas meja. Kucing hitam itu mau mengambil ikan. Agus langsung memukulnya dengan piring.
PRAK !!
Meong !.. kucing itu mengaduh dan segera melompat turun.
Sekarang makan siang benar-benar sudah siap. Masing-masing mengambil beberapa centong nasi, sepotong ikan goreng dan beberapa sendok sayur bayam. Setelah berdo’a bersama mereka mulai menikmati makan.
“Lho koq bocor ?!” tanya Agus.
“Apanya ?’
Agus mengangkat piringnya. Kuah menentes-netes dari bawah piring.
“koq bisa bocor ?” Aida heran.
Ibu segara bangkit mengambil piring lagi untuk Agus. Agus memindah nasinya ke piring itu. Mereka melanjutkan makan siang. Agus tahu mengapa piring itu bocor. Tadi dia memukul kepala kucing dengan piring plastik itu. Agus merasa bersalah. Dia harus bercerita pada ibu dan kakaknya tapi takut.
Setelah makan siang Agus bercerita pada Aida mengapa piring tadi bocor. Aida tertawa. “Adik tidak usah takut. Kakak memecahkan tiga piring kaca saja ibu tidak marah. Bilang saja pada Ibu. Dia pasti tidak marah. Apalagi hanya sebuah piring plastik yang kau pecahkan. Jangan takut, Dik…..”
“Ehm..” terdengar deheman ibu. Ternyata ibu mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ibu mengangguk-angukan kepala. “Sebenarnya Ibu juga ingin marah. Tapi apa gunanya marah ? Apakah dengan marah piring itu bisa kembali utuh ? Tidak kan ?! Kalau ibu marah, ibu khawatir kalian jadi takut sama Ibu. Apa kalian senan punya ibu yang galak ?!” Aida dan Agus menggelang. “Ibu hanya berharap lain kali kalian harus lebih berhati-hati.”
“Iya, Bu.” Jawab mereka serempak.
“Oh ya mengapa tadi kau pukul kucing itu ?”
“Dia mau mencuri ikan, Bu ?”
“Kau tahu mengapa kucing itu mau mencuri ikan di atas meja ?”
Agus garuk-garuk kepala. “Mengapa ya ?” tanya dalam hati. “Karena… dia nggak punya ikan tapi ingin makan ikan…” jawab Aida ragu.
“Benar. Kucing itu juga lapar. Dia ingin makan tapi tidak punya ikan. Mengapa dia mencuri ? Karena kita belum memberinya makan. Kucing itu kan peliharaan kita ?!” Aida dan Agus mengangguk. “Seharusnya kita memberinya makan dulu agar bisa makan saat kita makan. Dengan begitu dia tidak akan mengganggu makan siang kita.”
Hari sudah sore. Bapak sudah pulang dari kerja. Agus menceritakan kejadian tadi siang pada bapak. Bapak tertawa. Lalu bapak bercerita pengalamannya waktu kecil. Dulu bapak juga pernah memecahkan piring. Tidak hanya satu. Tidak hanya tiga. Tidak hanya sepuluh tapi satu lusin piring. Dan semuanya piring yang masih baru. Waktu itu orang tua bapak baru saja membeli piring. Karena adik bapak masih sangat kecil maka bapaklah yang bertugas mencuci piring. Waktu itu kalau mencuci piring di sungai. Ketika sudah selesai mencuci piring, bapak segera mengangkat setumpuk piring yang masih baru itu. Mungkin karena masih basah dan terlalu berat sehingga piring itu terlepas dari tangan bapak. Setumpuk piring itu meluncur menimpa jalan yang berbatu. Hampir semuanya pecah. Orang tua bapak marah-marah. Dalam hati bapak menggerutu “Mengapa aku dimarahi ? Aku kan sudah mau mencuci piring. Dan aku juga tidak sengaja menjatuhkan piring itu.” Tapi akhirnya bapak sadar, mungkin saat itu bapak memang kurang berhati-hati.
“Oh ya, mengapa tadi kucing itu kau pukul dengan piring ?” tanya bapak sesudah bercerita.
“Karena saat itu saya pegang piring, Pak.”
“O… Mestinya kucing itu cukup kita tereaki atau dijewer telinganya seperti ini..” bapak menjewer telinga Agus.
“Lho… Kok saya yang dijewer ? Saya kan bukan kucing ?” teriak Agus sambil mengelak.
Mereka tertawa bersama.***
Sebuah Cerita Anak Oleh Faiq Aminuddin
Siang itu Aida dan Agus duduk menghadapi meja makan. Perut mereka sudah lapar. Maklum sudah siang. Memang sudah waktunya makan siang. Apalagi mereka baru saja bersih-bersih kamar. Lelah dan lapar. Tapi ternyata makan siang belum siap. Di meja makan hanya ada gelas dan teko. Aida segera minum air putih untuk menghilangkan rasa haus. Agus juga minum. “Bu lapar…” teriak Agus.
“Sebentar, Sayang. Tolong Agus ambil nasi.” Kata ibu sambil menggoreng ikan.
“Aida, tolong ambil piring.” Aida segera bangkit. Dia mengambil tiga buah piring dari rak. Aida membawanya sambil bernyanyi dan berjingkrak-jingkrak. Tiga buah piring itu terlepas dari tangan, meluncur ke bawah lalu membentur lantai.
PRAAANG !!!
Nyanyian Aida terhenti. Langkahnya juga terhenti. Matanya memandangi ketiga piring yang sudah menjadi pecahan-pecahan kaca yang berserakan di lantai.
“Aduh… Aida ?! Kenapa… ?” Aida diam saja. Dia takut ibu marah. Tapi ternyata ibu tidak marah. Ibu mengambil kerangjang sampah. Lalu berjongkok memunguti pecahan-pecahan piring lalu dimasukkan ke dalam keranjang sampah. Aida meniru apa yang dilakukan ibu. “Hati-hati tanganmu.”
Agus tetap duduk di kursi. Tangannya memegang perut, menahan lapar. Tiba-tiba hidungnya bergerak-gerak. Sepertinya ada bau…” Gosong… Gosong, Bu.” Teriaknya. Ibu langsung bangkit dan berlari menghampiri kompor. Ibu segera mengentas ikan yang telah berwarna hitam itu dari wajan.
Aida sudah selesai membersihkan pecahan piring. Ibu sudah selesai menggoreng ikan. Sekarang makan siang siap dimulai. Ibu sudah mengambil piring lagi. Bukan piring kaca tapi piring plastik. Sepiring ikan goreng dan semangkuk sayur sudah tersaji di meja makan. “Lho mana nasinya ?” Tanya ibu. Ternyata Agus sejak tadi hanya duduk di kursi. Nasi belum diambil. “Aida, tolong ambil nasi.” Kata ibu sambil mengambil sendok di rak. Tinggal Agus duduk sendirian di hadapan meja makan. Agus sudah sangat lapar.
Agus segera mengambil piring. Tiba-tiba seekor kucing melompat ke atas meja. Kucing hitam itu mau mengambil ikan. Agus langsung memukulnya dengan piring.
PRAK !!
Meong !.. kucing itu mengaduh dan segera melompat turun.
Sekarang makan siang benar-benar sudah siap. Masing-masing mengambil beberapa centong nasi, sepotong ikan goreng dan beberapa sendok sayur bayam. Setelah berdo’a bersama mereka mulai menikmati makan.
“Lho koq bocor ?!” tanya Agus.
“Apanya ?’
Agus mengangkat piringnya. Kuah menentes-netes dari bawah piring.
“koq bisa bocor ?” Aida heran.
Ibu segara bangkit mengambil piring lagi untuk Agus. Agus memindah nasinya ke piring itu. Mereka melanjutkan makan siang. Agus tahu mengapa piring itu bocor. Tadi dia memukul kepala kucing dengan piring plastik itu. Agus merasa bersalah. Dia harus bercerita pada ibu dan kakaknya tapi takut.
Setelah makan siang Agus bercerita pada Aida mengapa piring tadi bocor. Aida tertawa. “Adik tidak usah takut. Kakak memecahkan tiga piring kaca saja ibu tidak marah. Bilang saja pada Ibu. Dia pasti tidak marah. Apalagi hanya sebuah piring plastik yang kau pecahkan. Jangan takut, Dik…..”
“Ehm..” terdengar deheman ibu. Ternyata ibu mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Ibu mengangguk-angukan kepala. “Sebenarnya Ibu juga ingin marah. Tapi apa gunanya marah ? Apakah dengan marah piring itu bisa kembali utuh ? Tidak kan ?! Kalau ibu marah, ibu khawatir kalian jadi takut sama Ibu. Apa kalian senan punya ibu yang galak ?!” Aida dan Agus menggelang. “Ibu hanya berharap lain kali kalian harus lebih berhati-hati.”
“Iya, Bu.” Jawab mereka serempak.
“Oh ya mengapa tadi kau pukul kucing itu ?”
“Dia mau mencuri ikan, Bu ?”
“Kau tahu mengapa kucing itu mau mencuri ikan di atas meja ?”
Agus garuk-garuk kepala. “Mengapa ya ?” tanya dalam hati. “Karena… dia nggak punya ikan tapi ingin makan ikan…” jawab Aida ragu.
“Benar. Kucing itu juga lapar. Dia ingin makan tapi tidak punya ikan. Mengapa dia mencuri ? Karena kita belum memberinya makan. Kucing itu kan peliharaan kita ?!” Aida dan Agus mengangguk. “Seharusnya kita memberinya makan dulu agar bisa makan saat kita makan. Dengan begitu dia tidak akan mengganggu makan siang kita.”
Hari sudah sore. Bapak sudah pulang dari kerja. Agus menceritakan kejadian tadi siang pada bapak. Bapak tertawa. Lalu bapak bercerita pengalamannya waktu kecil. Dulu bapak juga pernah memecahkan piring. Tidak hanya satu. Tidak hanya tiga. Tidak hanya sepuluh tapi satu lusin piring. Dan semuanya piring yang masih baru. Waktu itu orang tua bapak baru saja membeli piring. Karena adik bapak masih sangat kecil maka bapaklah yang bertugas mencuci piring. Waktu itu kalau mencuci piring di sungai. Ketika sudah selesai mencuci piring, bapak segera mengangkat setumpuk piring yang masih baru itu. Mungkin karena masih basah dan terlalu berat sehingga piring itu terlepas dari tangan bapak. Setumpuk piring itu meluncur menimpa jalan yang berbatu. Hampir semuanya pecah. Orang tua bapak marah-marah. Dalam hati bapak menggerutu “Mengapa aku dimarahi ? Aku kan sudah mau mencuci piring. Dan aku juga tidak sengaja menjatuhkan piring itu.” Tapi akhirnya bapak sadar, mungkin saat itu bapak memang kurang berhati-hati.
“Oh ya, mengapa tadi kucing itu kau pukul dengan piring ?” tanya bapak sesudah bercerita.
“Karena saat itu saya pegang piring, Pak.”
“O… Mestinya kucing itu cukup kita tereaki atau dijewer telinganya seperti ini..” bapak menjewer telinga Agus.
“Lho… Kok saya yang dijewer ? Saya kan bukan kucing ?” teriak Agus sambil mengelak.
Mereka tertawa bersama.***