Wednesday, December 08, 2004
Membelah Bola
Membelah Bola
Ceita anak oleh Faiq Aminuddin
Apa yang kau rasakan bila tiba-tiba kau menemukan uang sepuluh ribu di jalan? Kau pasti senang sekali.
Kemarin siang aku menemukan barang yang lebih berharga. Aku sangat senang walaupun yang kutemukan bukan uang sepuluh ribu.
Siang itu aku jalan-jalan bersama temanku. Kami hanya berdua. Di suatu jalan kulihat sebuah bola. Temanku kuberitahu kalau ada bola tergeletak di bawah semak-semak. Setelah tengak-tengok ke kanan kiri, dia segera mengambil bola itu. Tidak ada orang yang melihat kami mendapat bola di tepi jalan ini. Sebuah bola kasti yang maih baru. Aku senang sekali. Sudah lama sekali aku ingin punya bola kasti. Aku sudah minta pada ibu. Tapi ibu belum juga membelikannya.
“Ayo sepak bola,” ajak temanku.
Kami segera berlari ke lapangan di tepi sungai. Main sepak bola dengan bola kasti ternyata asyik juga. Tapi agak susah menyepaknya. Bahkan kadang kakiku malah membentur tanah hingga sakit sedangkan bolanya tetap diam tak bergerak.
Hari makin panas. Aku sudah capek dan lapar. Aku mau istirahat. Sebenarnya tadi kami sepakat bertanding untuk merebutkan bola itu. Siapa yang menang, dialah yang akan mendapat bola temuan itu. Tadi aku yakin aku pasti menang. Tapi ternyata aku tidak bisa memasukkan bola ke gawangnya. Mungkin karena gawangnya terlalu sempit. Ya, kubuat gawang itu hanya selebar tiga jengkal. Sedangkan temanku ini tidak kuat berlari. Dia tidak pernah menyerang. Dia hanya menjaga gawangnya terus. Jadi, tidak ada yang menang.
Kuambil bola itu dan kuajak temanku pulang. Ketika aku mau masuk rumah dia meminta bola itu. Aku tidak mau. Menurutku bola ini milikku karena aku yang melihat pertama kali. Tapi dia tidak terima. Katanya bola itu milik dia karena dia yang mengambil bola itu. Tapi dia mengambil bola itu kan karena kuberitahu. Coba kalau tidak aku beritahu. Dia tetap ngotot. Dia merebut bola itu.
“Kalau begitu, kita bagi saja bola ini,” usulku.
Dia mengangguk.
Aku berlari ke dalam rumah. Kuambil pisau.
Aku ingat kejadian kemarin.
Kemarin, ada tetangga yang mengirim sekotak makanan. Isinya macam-macam. Ada nasi dan lauk pauk. Ada kue dan buah apel tapi hanya satu. Aku mau apel itu tapi adik sudah mengambilnya. Aku merebutnya. Adik menangis. Lalu bapak membelah apel itu menjadi dua. Separoh untukku. Separoh lagi untuk adik. “Jadi, nggak perlu rebutan kan?!” Kata bapak sambil mencubit pipiku.
Kubelah bola kasti itu dengan pisau. Ya, kubelah dengan pisau seperti membelah buah apel. Yang separoh nanti buat aku dan separoh yang lain untuk temanku.
“Adil kan?!” tanyaku dalam hati.
Tapi pisau tidak mempan. Bola kasti itu keras dan alot. Sampai tanganku capek, bola itu masih utuh. Belum belah sedikitpun. Sekarang ganti temanku yang mencoba membelahnya. Dia juga tidak bisa membelah bola itu.
Sekarang aku tahu. Bola itu harus dibelah seperti orang membelah kayu. Biasanya orang membelah kayu dengan kapak. Kapak itu diangkat tinggi-tinggi lalu diayukan dengan cepat.
Kuangkat pisau tinggi-tinggi.
“Satu, dua, ti…ga,” kuberi aba-aba sendiri.
Dengan sekuat tenaga kuayunkan pisau itu ke atas bola itu sambil berteriak “Hiaaat!!”
Crash!!!
“Aduuhhh!” Tanganku sakit sekali.
Ternyata pisau itu mental dan terlepas dari tangan. Pisau terlempar. Aku tidak tahu bagaimana geraknya. Tiba-tiba pisau itu sudah menancap di lenganku. Darah keluar banyak sekali. Lenganku jadi merah semua.
“Aduuhhh. Hua hua… aduuuuh…”
Untung ibu segera datang. Darah dan lukaku dibersihkan. Ibu mengajakku ke belakang rumah. Di sana lukaku ditetesi getah pohon yodium.
“Aduuuh periiiih!” Temanku ikut meringis melihatku kesakitan. Kata ibu lukaku mungkin perlu dijahit oleh dokter. Jadi, aku diajak ke puskesmas.
Sebelum berangkat aku minta ibu membelahkan bola kasti itu.
“Lho ini bola siapa?” Tanya ibu.
Kuceritakan bahwa tadi aku menemukan bola itu di tepi jalan lalu temanku itu mengambilnya lalu kami rebutan bola itu.
“Dari pada rebutan, kan lebih baik dibelah. Ya kan, Bu?!” tanyaku.
Ibu menggeleng.
“Sebaiknya kalian mencari siapa yang punya. Kembalikan bola ini padanya. Kalau bolamu hilang tentu kau akan sedih. Yang kehilangan bola ini mungkin sedang mencari-carinya. Kita tidak boleh mengambil dan memiliki barang orang lain walaupun tergeletak di tepi jalan.
Ayo kita ke Puskesmas. Nanti keburu tutup.” []
Labels: Cerita Anak
HUJAN-HUJANAN DI DALAM RUMAH
HUJAN-HUJANAN DI DALAM RUMAH
Cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Bila hujan turun, kau tentu senang. Aku juga senang.
Lihat. Langit mulai mendung. Angin sudah bau air hujan.
Lihat. Ada air yang menetes di ujung hidungku. Tengadahkan tanganmu ke atas langit nanti pasti kau diberi beberapa tetes air. Hai, Ayo masuk ke rumah. Hujan sudah mulai turun. Ayo cepat. Nanti baju kita basah. Ayolah, nanti ibu marah lho. Ayo kita lihat hujan di balik jendela saja.
Lihat. Bunga-bunga di depan rumah itu. Dia pasti merasa sangat segar. Saking gembiranya dia sampai menari-nari. Ya, bergoyang meliuk-liuk bersama teman-temannya. Kembangnya basah. Daunnya basah. Tangkainya basah. Akarnya yang di dalam tanah pasti basah juga.
Lihat pohon asam di pojok halaman itu. Dia seperti itik yang baru saja mentas dari kolam. Titik-titik air bercipratan ke sana ke mari ketika itik itu mengibas-ngibaskan sayapnya. Pohon asam itu juga begitu. Daun-daunya yang kecil-kecil itu menadahi guyuran air hujan. Ketika ada angin agak kecang, pohon asam akan bergoyang-goyang sehingga titik air berjatuhan dari sela-sela daun-daunnya. Setiap titik air yang jatuh, menimpa air yang mengalir di tanah, membentuk gelombang kecil melingkar. Ya lingkaran gelombang itu kecil-kecil, lalu membesar hingga saling bertabrakan atau malah ketetesan air lagi dan jadi lingkaran baru lagi…
Sebenarnya aku juga ingin hujan-hujanan. Ya hujan-hujanan lagi seperti kemarin. Kemarin kudengar ibu berteriak-teriak memanggilku. Ibu menyuruhku masuk ke rumah. Ibu melarangku hujan-hujanan. Tapi aku tetap berlari-lari di halaman rumah, menikmati guyuran air hujan. Aku berlari ke halaman sekolah. Di sana banyak teman-teman. Kami berjingkrak-jingkrak, berteriak-teriak, berkecipak, bermain air sepuasnya. Asyik sekali. Ya sangat menyenangkan. Tapi, benar kata ibu. Tadi malam badanku demam. Tenggorokanku gatal hingga aku batuk. Kata ibu itulah hasil dari hujan-hujanan. Sampai sekarang batukku belum sembuh. Kata ibu, kalau mau batukku lebih parah lagi aku boleh hujan-hujanan lagi.
Hai, usaplah kaca jendelamu. Iya lama-lama kaca jendela jadi buram karena berembun. Usaplah dengan tanganmu biar bening lagi. Lihat. Ada teman-temanku yang sedang hujan-hujanan. Mereka pasti menuju ke halaman sekolah. Sekarang mereka tertawa-tawa, nanti malam baru tahu rasa. Sekarang senang-senang, nanti malam kesakitan. Badan demam dan tengorokan gatal. Rasain!
Eh. Aku tidak boleh berdoa seperti itu ya?! Seharusnya aku berdoa semoga teman-teman kita tetap sehat. Ya tuhan, lindungilah teman-temanku. Semoga teman-temanku yang hujan-hujanan itu tidak terserang demam dan batuk sepertiku. Amin.
Ah hujan mulai reda. Tinggal gerimis. Ayo kita keluar. Hai, lihat. Di sana ada pelangi. Merah, kuning, hijau, biru. Oh indahnya. Aku ingin naik ke langit lewat pelangi itu. Kata orang pelangi itu adalah selendang yang digunanakan bidadari untuk turun ke bumi. Bidadari itu mau mandi. Tapi mengapa bidadari mau mandi di sungai bumi? Mungkin sungai di langit kering karena airnya turun ke bumi jadi hujan.
Ah itu bapak sudah pulang. Bapak pasti dari sungai. Setiap turun hujan, bapak memang pergi ke sungai. Bapak menacri ikan dengan jala. Kata bapak, kalau hujan turun, biasanya banyak ikan yang berenang ke pinggir. Jadi, mudah ditangkap.
“Pak, apakah bapak lihat bidadari?"
“Bidadari?! Di mana?”
“Itu ada pelangi. Pasti ada bidadari mandi di sungai sana. Tadi, bapak tidak ketemu bidadari?”
“Wah mungkin bidadari itu tidak jadi mandi di sungai.”
“Kenapa, Pak?”
“Lha sungainya kotor. Airnya kuning keruh dan banyak sampah-sampah yang ikut hanyut. Mungkin akan datang banjir. Ayo kita siap-siap.”
Aduuh tahun kemarin kan sudah banjir. Masa sekarang banjir lagi. Tapi mungkin bidadari itu bisa menolong kita. Hai bidadari tolong jagalah sungai agar airnya tidak meluap ke kampung. Hai bidadari. Apakah kau mendengar suaraku?[]
Labels: Cerita Anak
Porong yang Terkejut
Porong yang Terkejut
Cerita Anak oleh Faiq Aminuddin
Apakah kau percaya percikan air bisa memecahkan kaca? Malam itu, bapakku bilang porong teplok itu pecah karena kena percikan air. Porong kan terbuat dari kaca. Masa bisa pecah hanya gara-gara percikan air? Menurutku porong itu pecah karena dipukul hantu.
Waktu itu di desaku belum ada PLN. Seperti biasanya, sore itu aku menyiapkan lampu teplok. Aku harus membersihkan porongnya dan mengisi minyak tanahnya. Porong kuelap dengan kain sehingga terlihat bening lagi. Tidak ada hangus hitamnya lagi. Porong yang sudah bersih kuletakkan di atas meja. Aku mau membersihkan porong yang lain. Tiba-tiba porong itu menggelinding ke pinggir meja dan jatuh ke lantai. Prang!!!
Untung saja. Ibu tidak marah. Kata ibu “Hati-hati. Belingnya disapu dulu. Bahaya kalau kena kaki.” Setelah menyapu membersihkan pecahan porong yang berserakan di lantai, ibu menyuruhku membeli porong baru. Aku ke warung dengan sepeda. Kukayuh sepeda dengan cepat. Sampai di rumah aku terkejut. Porong baru sudah retak. Dan waktu mau kupasang malah pecah. Ibu marah-marah. Kata bapak porong itu pecah karena terbentur stang sepeda. Ya, porong itu dimasukkan ke dalam kresek. Kresek itu kugantungkan di stang. Mungkin kresek itu bergoyang-goyang dan membentur-bentur pipa sepeda.
Biasanya, tiga teplok kusulut semua. Tapi malam itu hanya kusulut dua teplok karena teplok satu tidak ada porongya. Setelah makan malam ayah menyuruh kakak dan aku belajar. Biasanya aku belajar di mejaku, pakai satu teplok sendiri. Kakak juga begitu. Sedangkan ibu dan bapak membaca buku di meja makan, hanya memakai satu teplok. Tapi malam ini aku harus belajar di meja makan. Dua teplok diletakkan di tengah meja. Kami duduk mengelilingi meja. Kakak selalu menggerutu dan menyalahkan aku. Sebel. Kan aku tidak sengaja memecahkan porong itu.
Sebenarnya aku sudah lama ingin kecing tapi aku tahan. Kalau aku kencing, kakak pasti menggerutu karena teploknya kubawa ke belakang. Tapi lama-lama aku tidak kuat menahan. Celanaku sudah basah sedikit. Maka segera kuambil salah satu teplok. Kakak membentakku. Aku segera berlari ke belakang hingga teplok itu hampir mati. Teplok kuletakkan di atas padasan. Setelah kencing aku cuci muka. Biar tidak ngantuk.PR-ku belum selesai.
Kratak!
Ada suara aneh. Entah suara apa. Cepat-cepat aku kututup padasan dan segera kuambil teplok. Tapi…
Prang!
Porongnya pecah, hingga tinggal separoh. Aku tidak tahu mengapa porong itu tiba-tiba pecah. Jangan-jangan ada hantu yang menggangguku…. Aku takut sekali. Aku berteriak “Aaaaa.. Tolooooong!” Bapak datang. Aku dituntun dan didudukan di kursiku. Ibu bertanya “Kenapa, Nak?” Kakak bertanya pada bapak “Adik kenapa, Pak.” Bapak mengambil menuang air di gelas. Ibu menyodorkan gelas itu padaku. “Ayo minum dulu, biar tenang.”
Ya. Setelah minum aku gak tenang. Dadaku terasa lebih lega. “Kamu kenapa, Nak? Bapak dan ibu bertanya bersamaan. “Ada hantu, Bu,” jawabku. “Kamu melihatnya?” Aku menggeleng lalu kuceritakan kejadiaannya. Tapi bapak malah tertawa dan berkata “Kamu ini ada-ada saja. Ha ha ha. Masa anak bapak kok penakut. Eh di rumah ini tidak ada hantu…” Aku menyela “tapi hantu itu memecah porong…” Tapi kata bapak porong itu pecah karena kena air yang nyiprat-nyiprat saat aku cuci muka. Benarkah?
Pagi harinya aku masih penasaran kejadian malam itu. Aku masih belum percaya. Masa porong bisa pecah karena percikan air. Padahal airnya dingin. Kalau disiram air panas, mungkin aku bisa percaya. Mengapa? Karena dulu aku pernah melihat sendiri. Waktu itu aku mau membuat susu. Air ditremos sudah habis. Tapi kebetulan ibu sedang merebus air. Kuambil air yang sudah mendidih itu dengan gayung lalu kutuang ke dalam gelas. Tiba-tiba gelas itu pecah. Air tumpah. Lantai dapur jadi basah. Mungkin saja porong akan pecah kalau disiram air panas seperti itu.
Siang itu aku mau membuktikan sendiri. Kuambil porong dan kubawa ke belakang. Kusiram porong itu dengan air padasan. Horeee!! Dugaanku benar. Porong itu tidak pecah. Tiba-tiba ibu datang. “Lho, sedang ada kamu?” Aku agak terkejut. “Bapak bohong,” kataku. Wajah ibu mengkerut, “Bohong? Bohong apa?”
Wah payah. Ibu tidak tahu maksudku. Maka kutunjukkan porong itu pada ibu. Kuangkat tingi-tinggi porong yang masih basah itu. “Tadi malam bapak bilang porong itu pecah karena percikan air. Tapi nyatanya porong ini kusiram dengan air saja tidak pecah. Jadi, bapak bohong, Bu.” Aku senang karena ibu tersenyum dan mengangguk. Tapi porong yang kupegang itu lepas dari tanganku, jatuh. Prang ! Porong pecah. Jadi, sudah tiga porong aku pecahkan.
Untung ibu tidak marah. Kata ibu, tadi malam, porong pecah itu karena terkejut. Porong itu pasti panas karena teploknya menyala. Dia terkejut bila kena air dingin. “Ya. Seperti gelas yang terkejut karena tiba-tiba diisi dengan air yang panas sekali,” kata ibu sambil menemaniku membersihkan pecahan-pecahan porong. “Tapi kalau orang terkejut kok tidak pecah, Bu?” Ibu tersenyum. “Kamu ini ada-ada saja. Tapi ada juga orang yang meninggal karena terkejut. Yaitu orang yang punya penyakit jantungan.”
Labels: Cerita Anak
Catatan: Haram hukumnya membaca lembaran jumat ini sewaktu khotib sedang khotbah.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita semua dari segumpal darah. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada rasul akhir zaman Muhammad shollawohu alaihi wassalam yang telah membebaskan kita semua dari jurang jahiliyah.
Saudara-saudara jamaah yang dimuliakan Allah.
Mungkin saudara-saudara terkejut karena tiba-tiba saya berkhobah di sini. Walaupun begitu, yakinlah saudara-saudaraku, majlis ini adalah majlis yang penuh berkah. Mengapa? Karena ini adalah majlis ilmu. Allah telah memerintahkan para malaikat untuk memayungi setiap jalan yang dilalu orang yang menuntut ilmu. Allah juga telah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Tapi perlu diingat bahwa al-ilmu bila amalin kas sajaru bila tsamarin, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Oleh karena itu sekalilagi saya fatwakan pada diri saya dan pada saudara-saudara semua untuk mengamalkan ilmu-ilmu kita diantaranya ilmu membaca dan menulis. Mari kita membaca ON/OFF dan menulis untuk ON/OFF.
Saudara-saudara jamaah yang dikasihi Allah.
Pertama-tama saya akan berwasiat pada saudara-saudara, khususnya juga pada diri saya sendiri agar kita senatiasa meningkatkan taqwa kita. Bagaimana caranya? Yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangannya.
Saudara-saudara jamaah yang dikasihi Allah. Pada majlis yang mubarok ini, Allah telah berfirman lain syakartum lazidannakumi bila kau bersyukur maka pasti akan Aku tambah, walain kafartum inna adabi lasyadid, tapi bila kau mengingkari maka sesungguhnya siksaku sangat berat. Allah juga berkali-kali bertanya fa bi ayyi alai rabikuma tukadziban?, nikmat dari tuhanmu yang mana yang kau ingkari? Allah telah meminjami kita nyawa dan tubuh ini. Apakah kita akan mengingkarinya? Allah telah memberi kita rezeki setiap hari. Apakah kita akan mengingkarinya dengan berkata “ini adalah jerih payahku sendiri. Ini adalah hasil kerja kerasku, membanting tulang memeras keringat.” Apakah kita lupa bahwa kita tinggal di bumi? Bumi ini milik siapa? Bila kau merasa tidak puas dengan hukum-hukum Allah maka keluarlah dari kolong langit dan cari tuhan selain Allah. Ayo siapa yang bisa keluar dari kolong langit? Tidak ada yang bisa. Masya Allah. Allahu akbar. Mari kita syukuri nikmat yang telag dilimpahkan kepada kita. Allah telah meminjami kita mata. Mari kita gunakan dengan baik, misalnya kita gunakan untuk membaca ON/OFF. Kita sudah diberi rezeki oleh Allah. Mari kita gunakan dengan baik. Misalnya untuk membeli ON/OFF. Wahallawahu baia waharrama riba, Allah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Beli ON/OFF halal tapi togel haram. Saudara-saudara tentu bisa memilih mana yang baik.
Saudara-saudara jamaah yang dirahmati Allah. Mari kita tundukkan kepala, tenangkan hati untuk sesaat memohon kepada Allah.
Allahumagfir lil muslimin wal muslimat, Ya Allah ampunilah orang yang pasrah ini pria maupun wanita. Ya Allah, ampunilah saya karena saya telah menggunakan firman-firmanMu untuk membujuk saudara-saudara agar membeli dan membaca ON/OFF serta menulis untuk ON/OFF. Ya Allah ampunilah kami semua yang telah mempermainkan ayat-ayatMu. Ya Allah ampunilah segala dosa kami, segala dosa orang tua kami, segala dosa saudara-saudara kami, segala dosa teman-teman kami. Ya Allah sesungguhnya Engkau maha pengampun, maha pengasih dan penyayang. Ya Allah bimbinglah tangan kami, tuntun kami ke jalan yang bena, ya Allah. Rabbana atina fidunya Khasana Wafil akhirati Khasanah Waqiana Adaba Nar.
Wassalamu alaiku wa rahmatullahi wabarakatuh.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan kita semua dari segumpal darah. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada rasul akhir zaman Muhammad shollawohu alaihi wassalam yang telah membebaskan kita semua dari jurang jahiliyah.
Saudara-saudara jamaah yang dimuliakan Allah.
Mungkin saudara-saudara terkejut karena tiba-tiba saya berkhobah di sini. Walaupun begitu, yakinlah saudara-saudaraku, majlis ini adalah majlis yang penuh berkah. Mengapa? Karena ini adalah majlis ilmu. Allah telah memerintahkan para malaikat untuk memayungi setiap jalan yang dilalu orang yang menuntut ilmu. Allah juga telah menjanjikan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Tapi perlu diingat bahwa al-ilmu bila amalin kas sajaru bila tsamarin, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Oleh karena itu sekalilagi saya fatwakan pada diri saya dan pada saudara-saudara semua untuk mengamalkan ilmu-ilmu kita diantaranya ilmu membaca dan menulis. Mari kita membaca ON/OFF dan menulis untuk ON/OFF.
Saudara-saudara jamaah yang dikasihi Allah.
Pertama-tama saya akan berwasiat pada saudara-saudara, khususnya juga pada diri saya sendiri agar kita senatiasa meningkatkan taqwa kita. Bagaimana caranya? Yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangannya.
Saudara-saudara jamaah yang dikasihi Allah. Pada majlis yang mubarok ini, Allah telah berfirman lain syakartum lazidannakumi bila kau bersyukur maka pasti akan Aku tambah, walain kafartum inna adabi lasyadid, tapi bila kau mengingkari maka sesungguhnya siksaku sangat berat. Allah juga berkali-kali bertanya fa bi ayyi alai rabikuma tukadziban?, nikmat dari tuhanmu yang mana yang kau ingkari? Allah telah meminjami kita nyawa dan tubuh ini. Apakah kita akan mengingkarinya? Allah telah memberi kita rezeki setiap hari. Apakah kita akan mengingkarinya dengan berkata “ini adalah jerih payahku sendiri. Ini adalah hasil kerja kerasku, membanting tulang memeras keringat.” Apakah kita lupa bahwa kita tinggal di bumi? Bumi ini milik siapa? Bila kau merasa tidak puas dengan hukum-hukum Allah maka keluarlah dari kolong langit dan cari tuhan selain Allah. Ayo siapa yang bisa keluar dari kolong langit? Tidak ada yang bisa. Masya Allah. Allahu akbar. Mari kita syukuri nikmat yang telag dilimpahkan kepada kita. Allah telah meminjami kita mata. Mari kita gunakan dengan baik, misalnya kita gunakan untuk membaca ON/OFF. Kita sudah diberi rezeki oleh Allah. Mari kita gunakan dengan baik. Misalnya untuk membeli ON/OFF. Wahallawahu baia waharrama riba, Allah mengahalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Beli ON/OFF halal tapi togel haram. Saudara-saudara tentu bisa memilih mana yang baik.
Saudara-saudara jamaah yang dirahmati Allah. Mari kita tundukkan kepala, tenangkan hati untuk sesaat memohon kepada Allah.
Allahumagfir lil muslimin wal muslimat, Ya Allah ampunilah orang yang pasrah ini pria maupun wanita. Ya Allah, ampunilah saya karena saya telah menggunakan firman-firmanMu untuk membujuk saudara-saudara agar membeli dan membaca ON/OFF serta menulis untuk ON/OFF. Ya Allah ampunilah kami semua yang telah mempermainkan ayat-ayatMu. Ya Allah ampunilah segala dosa kami, segala dosa orang tua kami, segala dosa saudara-saudara kami, segala dosa teman-teman kami. Ya Allah sesungguhnya Engkau maha pengampun, maha pengasih dan penyayang. Ya Allah bimbinglah tangan kami, tuntun kami ke jalan yang bena, ya Allah. Rabbana atina fidunya Khasana Wafil akhirati Khasanah Waqiana Adaba Nar.
Wassalamu alaiku wa rahmatullahi wabarakatuh.
Selaksa Cerita di Mataku
Ayo. Tataplah mataku, sayang. Jangan grogi. Jangan keki. Tak perlu salah tingkah. Temukanlah selaksa cerita di sini. Cerita orang-orang biasa. Orang-orang seperti kamu.
Ayo. Pandanglah mataku yang bening ini. Mata dengan selaksa cerita. Ayo pandanglah sepuas hatimu. Tapi tidak perlu melotot begitu. Kalau memang mau berkedip tak perlu ditahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini, di depanmu. Menemanimu dengan berbagai cerita. Cerita apa saja. Tentang kumismu, mungkin. Atau tentang lipstikku. Atau tentang tetanggamu yang selalu sarapan dengan nasi pecel. Atau tentang got depan kosmu yang mampet. Atau tentang kebiasaanku minum kopi dan merokok. Ayo. Pandanglah mataku. Masuklah dan berenanglah di danau ini.
Kau tahu?
Walau aku baru lahir sekitar dua tahun yang lalu tapi sebenarnya aku sebaya denganmu. Mungkin kau tidak percaya dan segera berteriak “Ah ya nggak logis. Kalau kau lahir dua tahun yang lalu, umurmu ya dua tahun. Kau nggak mungkin bisa sebaya denganku. Aku lahir tiga puluh tahun yang lalu, sedang kau baru dua tahun.” Baiklah. Baiklah.. Emm, kalau begitu anggap saja aku gadis dua puluh sembilan tahun. Lupakan saja tahun kelahiranku. Yang pasti, sejak kelahiranku dua tahun yang lalu sampai sekarang aku sudah lahir dua puluh delapan kali. Ya lahir lagi setiap bulan. Itu kalau tidak ada halangan. Dan ini adalah kelahiranku yang ke dua puluh sembilan. Kau boleh saja menganggapku bayi yang masih amis. Tapi maaf. Aku terlanjur merasa sebaya denganmu. Ya anggap saja aku gadis dua sembilan tahun. Sudah tua dan sudah waktunya menikah. Tapi pacarku payah. Dia selalu bilang ‘belum siap’ setiap kali kuajak menikah. Tapi dia baik kok. Dialah yang sering mengantarkanku berpetualang ke mana-mana. Setiap akhir bulan dia selalu cemas menunggu kelahiranku. Dia selalu menunggu aku yang baru. Kau juga begitu kan?! Aku nggak tahu apakah kau selalu menemuiku setiap bulan. Kadang keadaan tidak selamany berpihak pada kita. Jadi, wajar saja bila kalau kita pada bulan tertentu terpaksa tidak bertemu.
Oh ya. Kuingatkan lagi kau jangan kaget bila beberapa bulan nanti, aku jauh lebih tua darimu. Ayo mumpung aku masih muda, mumpung kita masih sebaya, pandanglah mataku. Masuklah ke dalam.
Jangan khawatir aku akan selalu mengujungimu. Begitu aku lahir, maka aku pacarku akan segera mengantarku jalan-jalan ke Solo, Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung, Padang, Makasar, Pontianak, Bali, Semarang, Banten, Palangkarya. Dan tentu saja tidak lupa ke tempatmu. Kaulah tujuanku. Dulu aku pernah juga diajak jalan-jalan ke Madiun, Purwokerto, Jember, dan secara nggak sengaja nyasar juga ke kota-kota yang lain. Tapi karena pacarku nggak sekaya yang kau sangka, dia tidak bias menuruti semua kemauanku. Aku ingin mengunjungi ingin jalan-jalan ke semua kota, ke semua desa sampai ke pelosok-pelosok. Ya keinginan yang gila memang. Tapi pacaraku tidak mengatakan aku gila. Dia hanya berbisik pelan di telinga kananku, “Uang kita sudah habis, saying.”
Kadang dia mengerutu kesal “Aku nggak tahu maksud teman-temanmu. Tiap bulan mereka menikmati matamu yang penuh cerita ini tapi mereka terus saja ngutang. Kalau begini terus-terusan bisa-bisa aku kita mati kelaparan, bisa-bisa kita tidak bisa membayar dukun beranak untuk kelahiranmu bulan depan. Kalaupun kau bisa lahir, mungkin kita terpaksa akan duduk di rumah atau sekedar jalan kaki keliling jogja. Kita tidak akan bisa menemui kekasih-kekasihmu di berbagi kota seperti ini.”
Kadang ada beberapa teman di daerah lain yang mengirim surat untukku. Mereka ingin aku juga mampir ke sana. Tapi seperti yang kukatakan tadi, pacarku tidak sekaya yang kau sangka. Jadi, aku harus menunda rencana perajalanan ke tempat yang baru itu. Aku tahu, teman-teman di sana sangat ingin memandangi mataku yang penuh cerita ini. Tapi ya bagaimana lagi. Memang begini keadaan kami. Bahkan saking miskinnya pacarku, kadang aku berkunjung ke tempatmu saja sangat terlambat. Maafkan aku. Kadang, memang, pacarku mesti cari hutangan untuk ongkos jalan-jalan kami. Kalaupun sudah ada uang, hampir tidak pernah cukup untuk beli tiket pesawat yang katanya sudah makin murah sekali itu. Ah lagian aku benci peswat. Suaranya berisik sekali.
Seharusnya, kalau kau sudah tidak melihat lagi bulan di langit malam, itu artinya aku harus segera keluar dari rahim ibu. Ya, seperti pernah kukatakan padamu, aku berjanji akan sudah duduk manis di depanmu ketika bulan sudah mulai muncul lagi di langit malam. Tapi maaf. Sekali lagi maaf. Sering kali aku lahir di saat bulan purnama. Sering kali ibu terlambat hamil. Yang paling menyebalkan adalah kalau aku terlalu lama di perut ibu. Kau tahukan betapa sempitnya ruangan di dalam rahim. Apalagi ibuku kurus sekali. Eh langsing dan semampai, maksudku. Iya sangat menyebalkan kalau sudah waktunya lahir tapi aku tidak bisa lahir karena harus menunggu dukun beranak yang sedang banyak orderan. Ibu harus antri sambil sesekali meringis dan mengelus perutnya yang kutendangi. Ibi tidak pernah marah. Ibu selalu menyanyi. Menyanyi apa saja untuk menghibur hatinya. “Sabar, nak. Sabar…” katanya selalu sambil mengelus perutnya.
Eh menurutmu aku cantik nggak? Cantik dan menarik kan? Apalagi mataku penuh dengan cerita. Kau pasti ketagihan bercinta denganku. Lagian tarifnya murah kan?! Hanya lima ribu rupiah. Dulu, bahkan lebih murah lagi. Pacarku pernah debat dengan ibu sampai larut malam karena ibu ingin menaikkan traif itu tapi pacarku nggak setuju. Jadi sampai sekarang, hanya dengan lima ripu rupiah kau bisa memandang mataku sepuas hatimu. Kau boleh memandang mataku selama kau mau. Kau juga boleh masuk ke dalam mataku dan berenang-renang di danau cerita. Kalau kau nggak bisa berenang kau bisa berendam saja. Di sana ada ikan yang bisa bercerita. Di sana ada bunga yang bisa berkisah. Di sana ada batu yang bisa mendongeng. Di sana kau bisa ngobrol dengan bayanganmu sendiri.
Siapa ibuku? Siapa ayahku?
Yang aku tahu, ibuku bercinta dengan banyak orang. Banyak manusia, pria maupun wanita. Yang pasti mereka bukan orang-orang yang terkenal. Mereka manusia biasa. Apakah ibuku pelacur? Ah boleh saja kalau ada yang bilang begitu. Yang pasti ibuku selalu meminta mencium mata teman tidurnya. Mencium mata lama sekali. Hingga tiba-tiba ibu sudah berada di dalam. Berenang-renang di danau mata. Berenang memutari danau, kadang bermain-main dengan ikan-ikan. Ibu menggambar ikan itu di rahimnya hingga tiba-tiba ikan di mataku semakin bertambah.
Sepertinya kau juga pantas jadi ayah baruku. Ayolah. Bercintalah dengan ibu.Ibuku cantik dan baik hati lho. Kalau kau mau kau pasti diberi oleh-oleh seperti tamu-tamu yang lain. Kalau dilihat harganya memang nggak mahal. Paling lima puluh ribuan. Dan sebagai bapak, pacarku akan mengantarkanku padamu. Kau boleh memandangi mataku yang penuh cerita ini sepuasmu. Kau tidak perlu membacar lima ribu. Bahkan kau boleh menjuaku. Itu kalau kau tega. Aku lebih suka kalau kau mengajakku jalan-jalan, main ke tempat teman-temanmu. Aku tahu, masih banyak orang yang belum aku kenal. Masih banyak orang yang belum mengenalku. Tabunganku belum cukup untuk membeli HP dengan nomor 0809XXX. Bahkan buat pasang iklanpun belum cukup. Selama ini aku hanya bisa merayu para penyiar radio untuk mengiklankan aku. Sebagai imbalannya kubuat tato wajahnya di punggunggku.
Kau tahu? Ibu dan pacarku mati-matian menghidupiku. Uang hasil ‘pelacuranku’ sangat tidak cukup untuk biaya hidup kami. Kadang kami datang ke para pengusaha tapi sepertinya mereka tidak begitu tertarik denganku. Mungkin aku harus tahu diri bahwa aku pergaulanku memang bukan orang-orang seperti mereka.
Mungkin kau agak sebel denganku karena tampilanku selalu berubah-ubah. Kau tak perlu sebel. Aku yakin sebenarnya kau tidak sebel. Kau hanya terkejut. Ya itulah yang hobiku, Aku suka sekali memberi kejutan. Aku ingin kau tidak bisa menebak bulan depan aku aku pakai apa. Aku ingin kau tidak bisa menebak ikan apa saja yang ada di mataku. Aku ingin, begitu melihatku, matamu terbelalak, mulutmu tiba-tiba terbuka sehingga udara menyeruak masuk memenuhi dadamu dan kaku memaki tanpa sadar. Aku ingin kau gemes dan gregetan melihat penampilanku. Aku ingin kau pingsan begitu melihat mataku.
Aku berjanji suatu saat nanti aku akan duduk manis di depanmu, menyapamu yang masih terbengong-bengong tidak percaya karena penampilanku jauh diluar dugaanmu, kau tidak akan menemukan ikan di dalam danau mataku. Yang ada hanya….ah sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Bila saja kau tidak mengenali bau tubuhku kau tentu bertanya dengan nada heran, siapakah anda?
Ya aku suka itu. Aku akan memberi senyum yang paling manis pada setiap orang yang memaki karena mendapat surprise dariku. Ya, kau juga boleh memaki. Memaki apa saja. Makian sekasar amplas juga akan aku balas dengan senyuman yang sangat manis. Kau tahu? Di keluargaku, makian adalah hal yang sangat biasa. Bagi kami, makian merupakan ungkapan kasih sayang. Jadi, maaf bila di dalam danau mataku kau menemukan ikan yang memaki-maki.
Ayo. Tataplah mataku, sayang. Jangan grogi. Jangan keki. Tak perlu salah tingkah. Temukanlah selaksa cerita di sini. Cerita orang-orang biasa. Orang-orang seperti kamu.
Ayo. Pandanglah mataku yang bening ini. Mata dengan selaksa cerita. Ayo pandanglah sepuas hatimu. Tapi tidak perlu melotot begitu. Kalau memang mau berkedip tak perlu ditahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini, di depanmu. Menemanimu dengan berbagai cerita. Cerita apa saja. Tentang kumismu, mungkin. Atau tentang lipstikku. Atau tentang tetanggamu yang selalu sarapan dengan nasi pecel. Atau tentang got depan kosmu yang mampet. Atau tentang kebiasaanku minum kopi dan merokok. Ayo. Pandanglah mataku. Masuklah dan berenanglah di danau ini.
Kau tahu?
Walau aku baru lahir sekitar dua tahun yang lalu tapi sebenarnya aku sebaya denganmu. Mungkin kau tidak percaya dan segera berteriak “Ah ya nggak logis. Kalau kau lahir dua tahun yang lalu, umurmu ya dua tahun. Kau nggak mungkin bisa sebaya denganku. Aku lahir tiga puluh tahun yang lalu, sedang kau baru dua tahun.” Baiklah. Baiklah.. Emm, kalau begitu anggap saja aku gadis dua puluh sembilan tahun. Lupakan saja tahun kelahiranku. Yang pasti, sejak kelahiranku dua tahun yang lalu sampai sekarang aku sudah lahir dua puluh delapan kali. Ya lahir lagi setiap bulan. Itu kalau tidak ada halangan. Dan ini adalah kelahiranku yang ke dua puluh sembilan. Kau boleh saja menganggapku bayi yang masih amis. Tapi maaf. Aku terlanjur merasa sebaya denganmu. Ya anggap saja aku gadis dua sembilan tahun. Sudah tua dan sudah waktunya menikah. Tapi pacarku payah. Dia selalu bilang ‘belum siap’ setiap kali kuajak menikah. Tapi dia baik kok. Dialah yang sering mengantarkanku berpetualang ke mana-mana. Setiap akhir bulan dia selalu cemas menunggu kelahiranku. Dia selalu menunggu aku yang baru. Kau juga begitu kan?! Aku nggak tahu apakah kau selalu menemuiku setiap bulan. Kadang keadaan tidak selamany berpihak pada kita. Jadi, wajar saja bila kalau kita pada bulan tertentu terpaksa tidak bertemu.
Oh ya. Kuingatkan lagi kau jangan kaget bila beberapa bulan nanti, aku jauh lebih tua darimu. Ayo mumpung aku masih muda, mumpung kita masih sebaya, pandanglah mataku. Masuklah ke dalam.
Jangan khawatir aku akan selalu mengujungimu. Begitu aku lahir, maka aku pacarku akan segera mengantarku jalan-jalan ke Solo, Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung, Padang, Makasar, Pontianak, Bali, Semarang, Banten, Palangkarya. Dan tentu saja tidak lupa ke tempatmu. Kaulah tujuanku. Dulu aku pernah juga diajak jalan-jalan ke Madiun, Purwokerto, Jember, dan secara nggak sengaja nyasar juga ke kota-kota yang lain. Tapi karena pacarku nggak sekaya yang kau sangka, dia tidak bias menuruti semua kemauanku. Aku ingin mengunjungi ingin jalan-jalan ke semua kota, ke semua desa sampai ke pelosok-pelosok. Ya keinginan yang gila memang. Tapi pacaraku tidak mengatakan aku gila. Dia hanya berbisik pelan di telinga kananku, “Uang kita sudah habis, saying.”
Kadang dia mengerutu kesal “Aku nggak tahu maksud teman-temanmu. Tiap bulan mereka menikmati matamu yang penuh cerita ini tapi mereka terus saja ngutang. Kalau begini terus-terusan bisa-bisa aku kita mati kelaparan, bisa-bisa kita tidak bisa membayar dukun beranak untuk kelahiranmu bulan depan. Kalaupun kau bisa lahir, mungkin kita terpaksa akan duduk di rumah atau sekedar jalan kaki keliling jogja. Kita tidak akan bisa menemui kekasih-kekasihmu di berbagi kota seperti ini.”
Kadang ada beberapa teman di daerah lain yang mengirim surat untukku. Mereka ingin aku juga mampir ke sana. Tapi seperti yang kukatakan tadi, pacarku tidak sekaya yang kau sangka. Jadi, aku harus menunda rencana perajalanan ke tempat yang baru itu. Aku tahu, teman-teman di sana sangat ingin memandangi mataku yang penuh cerita ini. Tapi ya bagaimana lagi. Memang begini keadaan kami. Bahkan saking miskinnya pacarku, kadang aku berkunjung ke tempatmu saja sangat terlambat. Maafkan aku. Kadang, memang, pacarku mesti cari hutangan untuk ongkos jalan-jalan kami. Kalaupun sudah ada uang, hampir tidak pernah cukup untuk beli tiket pesawat yang katanya sudah makin murah sekali itu. Ah lagian aku benci peswat. Suaranya berisik sekali.
Seharusnya, kalau kau sudah tidak melihat lagi bulan di langit malam, itu artinya aku harus segera keluar dari rahim ibu. Ya, seperti pernah kukatakan padamu, aku berjanji akan sudah duduk manis di depanmu ketika bulan sudah mulai muncul lagi di langit malam. Tapi maaf. Sekali lagi maaf. Sering kali aku lahir di saat bulan purnama. Sering kali ibu terlambat hamil. Yang paling menyebalkan adalah kalau aku terlalu lama di perut ibu. Kau tahukan betapa sempitnya ruangan di dalam rahim. Apalagi ibuku kurus sekali. Eh langsing dan semampai, maksudku. Iya sangat menyebalkan kalau sudah waktunya lahir tapi aku tidak bisa lahir karena harus menunggu dukun beranak yang sedang banyak orderan. Ibu harus antri sambil sesekali meringis dan mengelus perutnya yang kutendangi. Ibi tidak pernah marah. Ibu selalu menyanyi. Menyanyi apa saja untuk menghibur hatinya. “Sabar, nak. Sabar…” katanya selalu sambil mengelus perutnya.
Eh menurutmu aku cantik nggak? Cantik dan menarik kan? Apalagi mataku penuh dengan cerita. Kau pasti ketagihan bercinta denganku. Lagian tarifnya murah kan?! Hanya lima ribu rupiah. Dulu, bahkan lebih murah lagi. Pacarku pernah debat dengan ibu sampai larut malam karena ibu ingin menaikkan traif itu tapi pacarku nggak setuju. Jadi sampai sekarang, hanya dengan lima ripu rupiah kau bisa memandang mataku sepuas hatimu. Kau boleh memandang mataku selama kau mau. Kau juga boleh masuk ke dalam mataku dan berenang-renang di danau cerita. Kalau kau nggak bisa berenang kau bisa berendam saja. Di sana ada ikan yang bisa bercerita. Di sana ada bunga yang bisa berkisah. Di sana ada batu yang bisa mendongeng. Di sana kau bisa ngobrol dengan bayanganmu sendiri.
Siapa ibuku? Siapa ayahku?
Yang aku tahu, ibuku bercinta dengan banyak orang. Banyak manusia, pria maupun wanita. Yang pasti mereka bukan orang-orang yang terkenal. Mereka manusia biasa. Apakah ibuku pelacur? Ah boleh saja kalau ada yang bilang begitu. Yang pasti ibuku selalu meminta mencium mata teman tidurnya. Mencium mata lama sekali. Hingga tiba-tiba ibu sudah berada di dalam. Berenang-renang di danau mata. Berenang memutari danau, kadang bermain-main dengan ikan-ikan. Ibu menggambar ikan itu di rahimnya hingga tiba-tiba ikan di mataku semakin bertambah.
Sepertinya kau juga pantas jadi ayah baruku. Ayolah. Bercintalah dengan ibu.Ibuku cantik dan baik hati lho. Kalau kau mau kau pasti diberi oleh-oleh seperti tamu-tamu yang lain. Kalau dilihat harganya memang nggak mahal. Paling lima puluh ribuan. Dan sebagai bapak, pacarku akan mengantarkanku padamu. Kau boleh memandangi mataku yang penuh cerita ini sepuasmu. Kau tidak perlu membacar lima ribu. Bahkan kau boleh menjuaku. Itu kalau kau tega. Aku lebih suka kalau kau mengajakku jalan-jalan, main ke tempat teman-temanmu. Aku tahu, masih banyak orang yang belum aku kenal. Masih banyak orang yang belum mengenalku. Tabunganku belum cukup untuk membeli HP dengan nomor 0809XXX. Bahkan buat pasang iklanpun belum cukup. Selama ini aku hanya bisa merayu para penyiar radio untuk mengiklankan aku. Sebagai imbalannya kubuat tato wajahnya di punggunggku.
Kau tahu? Ibu dan pacarku mati-matian menghidupiku. Uang hasil ‘pelacuranku’ sangat tidak cukup untuk biaya hidup kami. Kadang kami datang ke para pengusaha tapi sepertinya mereka tidak begitu tertarik denganku. Mungkin aku harus tahu diri bahwa aku pergaulanku memang bukan orang-orang seperti mereka.
Mungkin kau agak sebel denganku karena tampilanku selalu berubah-ubah. Kau tak perlu sebel. Aku yakin sebenarnya kau tidak sebel. Kau hanya terkejut. Ya itulah yang hobiku, Aku suka sekali memberi kejutan. Aku ingin kau tidak bisa menebak bulan depan aku aku pakai apa. Aku ingin kau tidak bisa menebak ikan apa saja yang ada di mataku. Aku ingin, begitu melihatku, matamu terbelalak, mulutmu tiba-tiba terbuka sehingga udara menyeruak masuk memenuhi dadamu dan kaku memaki tanpa sadar. Aku ingin kau gemes dan gregetan melihat penampilanku. Aku ingin kau pingsan begitu melihat mataku.
Aku berjanji suatu saat nanti aku akan duduk manis di depanmu, menyapamu yang masih terbengong-bengong tidak percaya karena penampilanku jauh diluar dugaanmu, kau tidak akan menemukan ikan di dalam danau mataku. Yang ada hanya….ah sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Bila saja kau tidak mengenali bau tubuhku kau tentu bertanya dengan nada heran, siapakah anda?
Ya aku suka itu. Aku akan memberi senyum yang paling manis pada setiap orang yang memaki karena mendapat surprise dariku. Ya, kau juga boleh memaki. Memaki apa saja. Makian sekasar amplas juga akan aku balas dengan senyuman yang sangat manis. Kau tahu? Di keluargaku, makian adalah hal yang sangat biasa. Bagi kami, makian merupakan ungkapan kasih sayang. Jadi, maaf bila di dalam danau mataku kau menemukan ikan yang memaki-maki.
Mengapa Langit Menangis Terus, Bu?
Cerpen oleh Faiq Aminuddin
Hujan belum reda juga padahal sudah sejak kemarin pagi. Ya, sudah sehari semalam hujan terus. Seakan tak ada habisnya air dilangit itu. Dulu, hujan adalah kabar gembira bagi kami tapi sekarang tidak. Sekarang setiap tetes air hujan membuatku merasa sepi dan sedih. Tak pernah lagi kudengar suara khas yang memanggilku, “Diajeng…”
Hari sudah siang tapi udara terasa sangat dingin. Malas sekali bangkit dari tempat tidur. Eh tapi si Ali sudah tidak ada di sampingku. Ah, ibu macam apa aku ini. Kanga bangun tidur kalah pagi dengan si bungsu yang masih kecil. Ali, dialah yang bisa mengurangi rasa sepi di rumah ini. Untung dulu aku tidak ikut KB. Aku tidak bisa membayangkan betapa sepinya rumah ini, bila dulu kami ikut KB dan merasa cukup dengan dua anak saja. Syukurlah aku masih punya Ali yang manis.
Lela, anak pertamaku sudah tidak di sini lagi. Dia tinggal di rumah suaminya. Aku tidak bisa memaksanya untuk sering-sering berkunjung kemari. Seorang istri kan harus nurut suaminya. Adapun adiknya, Yusuf, sudah lama tidak betah di rumah. Dialah yang pertama kali pergi meninggalkan rumah ini. Sekarang yang di rumah tinggal si Ali yang masih kecil. Ohya kemana anak itu. Kok bisa ya aku bangun sesiang ini. Jangan-jangan….
Ah, paling karena kecapekan. Semalam aku tidur sekitar jam dua-an, setelah menggoreng dan membungkusi kripik singkong. Pagi ini aku akan menitipkannya ke warung-warung sambil menagih hasil yang kemarin. Hasilnya lumayan. Cukup buat beli beras. Syukur kemarin ada juga tetangga yang pesan lumayan banyak. Katanya mau dikirim ke anaknya yang kuliah di kota. Ah… Kalau saja Kang Amin ada di rumah, pekerjaan ini akan terasa sangat ringan. Biasanya setelah menggoreng aku dipersilahkan oleh Kang Amin untuk tidur. Biarlah aku saja yang membungkusi, begitu kata Kang Amin. Sekarang Kang Amin tidak ada di rumah.
Mangkel dan jengkel rasanya bila ingat kejadian itu. Kalau Kang Amin tidak menghiburku, mungkin aku sudah gila karena stres. Kang Amin selalu bilang untuk apa menangis dan meratapi nasib. Yang perlu kita lakukan adalah menghadapinya bukan meratapi atau menangisi. Serahkan semua pada Allah. Kita hanya perlu berusaha. Mari kita jadikan musibah itu sebagai cambuk untuk kita bekerja. Aku tahu maksud Kang Amin. Sekarang kami harus bekerja keras.
Sebenarnya aku tidak rela Kang Amin kerja di luar negeri tapi mau bagaimana lagi. Keadaan memaksa begitu. Padahal dulu Kang Amin sering mewanti-wanti pada Lela dan Yusuf agar tidak jadi buruh. Kerja apa saja boleh tapi kalau bisa jangan jadi buruh. Lebih baik bertani dari pada jadi karyawan perusahaan mebel di kota. Lebih baik jadi nelayan atau jualan ikan dari pada jadi karyawan perusahaan tekstil.
Tapi sekarang malah Kang Amin sendiri yang jadi buruh. Ya Allah apa salah kami. Mengapa Kang Amin harus menjalani pekerjaan yang paling dibencinya sendiri. Mengapa Kang harus jadi TKI. Mengapa harus jauh-jauh ke Arab Saudi. Kang Amin tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Kang Amin hanya bilang, “Lha mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin ke sawah lagi. Aku malu… aku… Ah entahlah. Mungkin memang sebaiknya aku pergi dari desa ini. Ya, kumohon Diajeng tidak keberatan aku pergi ke luar negeri.” Itulah pertama kali aku melihat Kang Amin bersedih.
Aku hanya bisa berdoa semoga Kang Amin mendapat kerja yang enak. Dapat juragan yang baik. Sehingga bisa kerja dengan tenang dan dapat kirim uang setiap bulan buat mengangsur hutang-hutang kami. Dulu, aku tidak menyangka sama sekali kalau akhirnya kami punya hutang sampai jutaan begini.
Kang Amin adalah orang yang sangat tidak suka dengan hutang. Jangan pernah hutang serupiahpun, begitu kata Kang Amin dengan serius. Bahkan Kang Amin mengajariku menabung. Dulu, sebelum kami punya anak, Kang Amin sudah mengajak menabung. Selain buat jaga-jaga kebutuhan yang terduga, ternyata Kang Amin punya rencana buat masa depan anak-anaknya. Sedikit demi sedikit kami sisihkan hasil panen untuk ditabung. Ketika Ali lahir, kami sudah bisa membeli sawah lagi. Sawah itu akan kami berikan pada Lela. Itu kalau suaminya mau bertani. Kalau tidak, bisa saja kami menjual sawah itu dan uangnya bisa digunakan modal untuk dagang. Dan kami juga sudah mulai menabung lagi untuk membeli sawah sebaga jatah Yusuf.
Tapi sekarang kami tidak punya sawah lagi. Semua kami jual. Sawah yang kami yang beli dengan tabungan dan kami berikan pada Lela sudah kami jual buat melunasi hutang. Ya, baru kali ini kami punya hutang. Sekali punya hutang, lha kok ya sebegitu banyak. Aduh tobat… tobat. Uhhh Mangkel sekali aku kalau ingat kejadian itu.
Malam itu tiba-tiba ada beberapa tetangga datang bertamu. Seperti biasa, Kang Amin memintaku menyiapkan makan malam tamu-tamu itu. Kami makan malam bersama. Ya Aku dan Ali makan bersama Kang Ali dan tamu-tamu itu. Tapi tidak seperti biasanya kalau ada tamu. Malam itu Kang Ali lebih banyak diam. Dan sesudah makan, kudengar Kang Ali berbicara dengan suara agak keras. Itu tandanya Kang Ali marah. Aku jadi takut sekali. Sangat jarang Kang Ali Marah. Kang Ali itu orangnya sangat sabar. Kalau sampai Kang Ali marah itu berarti ….
Dari beberapa pembicaraan yang aku dengar aku juga kaget. Aku tidak menyangka kalau para tetangga itu datang untuk meminta Kang Ali mencalonkan diri jadi Modin. Ya sudah pasti Kang Amin menolak. Aku tahu Kang Amin tidak ingin jadi pejabat walau setingkat RT pun. Kang Amin hanya ingin jadi petani. Lebih enak jadi wong biasa. Aku itu tidak bisa kalau ngurusi orang banyak. Lha wong ngurusi keluarga sendiri saja kangelan, begitu kata Kang Amin. “Menurut Diajeng bagaimana?” Aku tidak bisa menjawab. Aku diam saja tapi ternyata Kang Amin menunggu pendapatku. Maka kubilang, kalau Kang Amin tidak mau jadi Modin, ya tidak usah nyalon.
Tapi malam berikutnya tamu-tamu itu datang lagi. Kang Amin tetap menolak tapi mereka terus menerus merayu agar Kang Amin mau. Bahkan mereka bersedia mengurus semua surat-surat yang diperlukan. Menurut mereka, kami tidak perlu mengeluarkan biaya pendaftaran. “Pak Amin tidak perlu bagi-bagi uang sabet. Tidak usah kampanye. Tidak perlu membagi-bagi uang. Lha wong mereka sendiri kok yang ingin Pak Amin jadi Modin. Tidak beri uangpun mereka pasti mendukung Pak Amin. Kalaupun ada yang tidak mendukung paling hanya sedikit. Ya tidak lebih dari sepertiga. Pokoknya yang penting Pak Amin mau.” Aku ingat benar kalimat itu. Ya sampai sekarang aku masih ingat. Tapi mereka, tamu-tamu itu cepat sekali melupakannya.
Aku masih bisa menerima kalau hanya harus belanja tiap hari karena setiap hari selalu ada tamu yang datang. Semakin dekat dengan hari pemilihan semakin banyak tamu yang datang. Itu sudah jadi, kebiasaan. Dan kami tahu, itu berarti kami harus menyiapkan kopi, teh, berbagai panganan, dan tentu saja rokok. Dari hari ke hari pengeluaran semakin tidak terkontrol. Yang belanja bukan aku karena mereka, para tamu-tamu itu telah membentuk panitia. Tiap hari mereka menyodorkan laopran bahwa semalam telah membeli sekian bungkus teh, kopi, kacang, pisang goreng, sekian kilo gula pasir, dan sekian bungkus rokok. Mau tidak mau harus mengganti uang yang mereka keluarkan.
Begitu setiap hari dan semakin tidak terkendali. Aku seperti terseret arus. Tak terasa uang tabungan kami habis. Mereka, para panitia itu tidak mau tahu. Mereka terus menodong kami Ya menodong. Apa lagi kalau bukan menodong namanya. Lha wong mereka memaksa…Kalau aku mengeluh mereka bilang pelit. “Wah baru jadi calon Modi saja sudah sombong lupa sama tetangga apalagi nanti kalau jadi…” Uhhh mangkel dan jengkel aku bila ingat kejadian itu.
Aku tidak menyagka kalau jumlahnya sampai enam juta lebih. Aku tidak yakin uang itu hanya untuk makan minum dan rokok. Panitia bilang mereka harus memberi amplo pada polisi juga. Ya kulihat hampir setaip hari ada beberapa polisi yang datang bertamu, makan, ngobrol sebentar kemudian pulang. Aku tidak menyangka kalau semua polisi itu datang untuk minta amplop.
Ibu-ibu tetanggaku menghiburku bahwa semua yang kami keluarkan itu tidak akan sia-sia. “Pak Amin pasti jadi,” kata mereka dengan sangat yakin. “Kalau dihitung seperti orang dagang memang rugi. Tapi ini kan bukan dagang. Nama dan kehormatan memang mahal,” kata yang lain.
Waktu pemilihan aku terkejut setengah mati. Ternyata Kang Amin tidak mendapat suara yang banyak. Mungkin hanya sepertiga dari jumlah pemilih. Dan mereka, para panitia itu malah menggerurutu dan menyalahkan kami. “Salah sendiri tidak mau keluar modal.” Ya kami menolak ketika panitia minta kami lima juta lagi untuk dibagi-bagi pada penduduk. Aku tidak mau karena aku masih ingat kata-kata mereka. Bukankah dulu mereka bilang bahwa kami tidak perlu membagi-bagi uang.
“Mengapa menangis terus, Bu?” Suara Ali membuyarkan lamunanku. Menangis?! Kuraba pipiku, tidak ada air mata. Ya Aku mau menangis lagi walaupun sedih dan mangkel setengah mati. Apakah Ali tahu kalau aku sedang teringat bapaknya dan sedang sedih bercampur mangkel.
“Menangis?! Siapa yang menangis, Nak?”
“Mengapa langit menangis terus, Bu?”
“O langit…Emmm… Mungkin karena… Ah ibu tidak tahu, Nak. Tapi kira-kira karena apa ya kok dia menangis terus?”
“Karena dia lapar.”
Kuanggukkan kepala membenarkan jawabannya lalu kedekap dia dan kubawa kekamar mandi. “Sekarang mandi dulu ya. Setelah itu nanti kita buat sarapan.”
Cerpen oleh Faiq Aminuddin
Hujan belum reda juga padahal sudah sejak kemarin pagi. Ya, sudah sehari semalam hujan terus. Seakan tak ada habisnya air dilangit itu. Dulu, hujan adalah kabar gembira bagi kami tapi sekarang tidak. Sekarang setiap tetes air hujan membuatku merasa sepi dan sedih. Tak pernah lagi kudengar suara khas yang memanggilku, “Diajeng…”
Hari sudah siang tapi udara terasa sangat dingin. Malas sekali bangkit dari tempat tidur. Eh tapi si Ali sudah tidak ada di sampingku. Ah, ibu macam apa aku ini. Kanga bangun tidur kalah pagi dengan si bungsu yang masih kecil. Ali, dialah yang bisa mengurangi rasa sepi di rumah ini. Untung dulu aku tidak ikut KB. Aku tidak bisa membayangkan betapa sepinya rumah ini, bila dulu kami ikut KB dan merasa cukup dengan dua anak saja. Syukurlah aku masih punya Ali yang manis.
Lela, anak pertamaku sudah tidak di sini lagi. Dia tinggal di rumah suaminya. Aku tidak bisa memaksanya untuk sering-sering berkunjung kemari. Seorang istri kan harus nurut suaminya. Adapun adiknya, Yusuf, sudah lama tidak betah di rumah. Dialah yang pertama kali pergi meninggalkan rumah ini. Sekarang yang di rumah tinggal si Ali yang masih kecil. Ohya kemana anak itu. Kok bisa ya aku bangun sesiang ini. Jangan-jangan….
Ah, paling karena kecapekan. Semalam aku tidur sekitar jam dua-an, setelah menggoreng dan membungkusi kripik singkong. Pagi ini aku akan menitipkannya ke warung-warung sambil menagih hasil yang kemarin. Hasilnya lumayan. Cukup buat beli beras. Syukur kemarin ada juga tetangga yang pesan lumayan banyak. Katanya mau dikirim ke anaknya yang kuliah di kota. Ah… Kalau saja Kang Amin ada di rumah, pekerjaan ini akan terasa sangat ringan. Biasanya setelah menggoreng aku dipersilahkan oleh Kang Amin untuk tidur. Biarlah aku saja yang membungkusi, begitu kata Kang Amin. Sekarang Kang Amin tidak ada di rumah.
Mangkel dan jengkel rasanya bila ingat kejadian itu. Kalau Kang Amin tidak menghiburku, mungkin aku sudah gila karena stres. Kang Amin selalu bilang untuk apa menangis dan meratapi nasib. Yang perlu kita lakukan adalah menghadapinya bukan meratapi atau menangisi. Serahkan semua pada Allah. Kita hanya perlu berusaha. Mari kita jadikan musibah itu sebagai cambuk untuk kita bekerja. Aku tahu maksud Kang Amin. Sekarang kami harus bekerja keras.
Sebenarnya aku tidak rela Kang Amin kerja di luar negeri tapi mau bagaimana lagi. Keadaan memaksa begitu. Padahal dulu Kang Amin sering mewanti-wanti pada Lela dan Yusuf agar tidak jadi buruh. Kerja apa saja boleh tapi kalau bisa jangan jadi buruh. Lebih baik bertani dari pada jadi karyawan perusahaan mebel di kota. Lebih baik jadi nelayan atau jualan ikan dari pada jadi karyawan perusahaan tekstil.
Tapi sekarang malah Kang Amin sendiri yang jadi buruh. Ya Allah apa salah kami. Mengapa Kang Amin harus menjalani pekerjaan yang paling dibencinya sendiri. Mengapa Kang harus jadi TKI. Mengapa harus jauh-jauh ke Arab Saudi. Kang Amin tidak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaanku itu. Kang Amin hanya bilang, “Lha mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin ke sawah lagi. Aku malu… aku… Ah entahlah. Mungkin memang sebaiknya aku pergi dari desa ini. Ya, kumohon Diajeng tidak keberatan aku pergi ke luar negeri.” Itulah pertama kali aku melihat Kang Amin bersedih.
Aku hanya bisa berdoa semoga Kang Amin mendapat kerja yang enak. Dapat juragan yang baik. Sehingga bisa kerja dengan tenang dan dapat kirim uang setiap bulan buat mengangsur hutang-hutang kami. Dulu, aku tidak menyangka sama sekali kalau akhirnya kami punya hutang sampai jutaan begini.
Kang Amin adalah orang yang sangat tidak suka dengan hutang. Jangan pernah hutang serupiahpun, begitu kata Kang Amin dengan serius. Bahkan Kang Amin mengajariku menabung. Dulu, sebelum kami punya anak, Kang Amin sudah mengajak menabung. Selain buat jaga-jaga kebutuhan yang terduga, ternyata Kang Amin punya rencana buat masa depan anak-anaknya. Sedikit demi sedikit kami sisihkan hasil panen untuk ditabung. Ketika Ali lahir, kami sudah bisa membeli sawah lagi. Sawah itu akan kami berikan pada Lela. Itu kalau suaminya mau bertani. Kalau tidak, bisa saja kami menjual sawah itu dan uangnya bisa digunakan modal untuk dagang. Dan kami juga sudah mulai menabung lagi untuk membeli sawah sebaga jatah Yusuf.
Tapi sekarang kami tidak punya sawah lagi. Semua kami jual. Sawah yang kami yang beli dengan tabungan dan kami berikan pada Lela sudah kami jual buat melunasi hutang. Ya, baru kali ini kami punya hutang. Sekali punya hutang, lha kok ya sebegitu banyak. Aduh tobat… tobat. Uhhh Mangkel sekali aku kalau ingat kejadian itu.
Malam itu tiba-tiba ada beberapa tetangga datang bertamu. Seperti biasa, Kang Amin memintaku menyiapkan makan malam tamu-tamu itu. Kami makan malam bersama. Ya Aku dan Ali makan bersama Kang Ali dan tamu-tamu itu. Tapi tidak seperti biasanya kalau ada tamu. Malam itu Kang Ali lebih banyak diam. Dan sesudah makan, kudengar Kang Ali berbicara dengan suara agak keras. Itu tandanya Kang Ali marah. Aku jadi takut sekali. Sangat jarang Kang Ali Marah. Kang Ali itu orangnya sangat sabar. Kalau sampai Kang Ali marah itu berarti ….
Dari beberapa pembicaraan yang aku dengar aku juga kaget. Aku tidak menyangka kalau para tetangga itu datang untuk meminta Kang Ali mencalonkan diri jadi Modin. Ya sudah pasti Kang Amin menolak. Aku tahu Kang Amin tidak ingin jadi pejabat walau setingkat RT pun. Kang Amin hanya ingin jadi petani. Lebih enak jadi wong biasa. Aku itu tidak bisa kalau ngurusi orang banyak. Lha wong ngurusi keluarga sendiri saja kangelan, begitu kata Kang Amin. “Menurut Diajeng bagaimana?” Aku tidak bisa menjawab. Aku diam saja tapi ternyata Kang Amin menunggu pendapatku. Maka kubilang, kalau Kang Amin tidak mau jadi Modin, ya tidak usah nyalon.
Tapi malam berikutnya tamu-tamu itu datang lagi. Kang Amin tetap menolak tapi mereka terus menerus merayu agar Kang Amin mau. Bahkan mereka bersedia mengurus semua surat-surat yang diperlukan. Menurut mereka, kami tidak perlu mengeluarkan biaya pendaftaran. “Pak Amin tidak perlu bagi-bagi uang sabet. Tidak usah kampanye. Tidak perlu membagi-bagi uang. Lha wong mereka sendiri kok yang ingin Pak Amin jadi Modin. Tidak beri uangpun mereka pasti mendukung Pak Amin. Kalaupun ada yang tidak mendukung paling hanya sedikit. Ya tidak lebih dari sepertiga. Pokoknya yang penting Pak Amin mau.” Aku ingat benar kalimat itu. Ya sampai sekarang aku masih ingat. Tapi mereka, tamu-tamu itu cepat sekali melupakannya.
Aku masih bisa menerima kalau hanya harus belanja tiap hari karena setiap hari selalu ada tamu yang datang. Semakin dekat dengan hari pemilihan semakin banyak tamu yang datang. Itu sudah jadi, kebiasaan. Dan kami tahu, itu berarti kami harus menyiapkan kopi, teh, berbagai panganan, dan tentu saja rokok. Dari hari ke hari pengeluaran semakin tidak terkontrol. Yang belanja bukan aku karena mereka, para tamu-tamu itu telah membentuk panitia. Tiap hari mereka menyodorkan laopran bahwa semalam telah membeli sekian bungkus teh, kopi, kacang, pisang goreng, sekian kilo gula pasir, dan sekian bungkus rokok. Mau tidak mau harus mengganti uang yang mereka keluarkan.
Begitu setiap hari dan semakin tidak terkendali. Aku seperti terseret arus. Tak terasa uang tabungan kami habis. Mereka, para panitia itu tidak mau tahu. Mereka terus menodong kami Ya menodong. Apa lagi kalau bukan menodong namanya. Lha wong mereka memaksa…Kalau aku mengeluh mereka bilang pelit. “Wah baru jadi calon Modi saja sudah sombong lupa sama tetangga apalagi nanti kalau jadi…” Uhhh mangkel dan jengkel aku bila ingat kejadian itu.
Aku tidak menyagka kalau jumlahnya sampai enam juta lebih. Aku tidak yakin uang itu hanya untuk makan minum dan rokok. Panitia bilang mereka harus memberi amplo pada polisi juga. Ya kulihat hampir setaip hari ada beberapa polisi yang datang bertamu, makan, ngobrol sebentar kemudian pulang. Aku tidak menyangka kalau semua polisi itu datang untuk minta amplop.
Ibu-ibu tetanggaku menghiburku bahwa semua yang kami keluarkan itu tidak akan sia-sia. “Pak Amin pasti jadi,” kata mereka dengan sangat yakin. “Kalau dihitung seperti orang dagang memang rugi. Tapi ini kan bukan dagang. Nama dan kehormatan memang mahal,” kata yang lain.
Waktu pemilihan aku terkejut setengah mati. Ternyata Kang Amin tidak mendapat suara yang banyak. Mungkin hanya sepertiga dari jumlah pemilih. Dan mereka, para panitia itu malah menggerurutu dan menyalahkan kami. “Salah sendiri tidak mau keluar modal.” Ya kami menolak ketika panitia minta kami lima juta lagi untuk dibagi-bagi pada penduduk. Aku tidak mau karena aku masih ingat kata-kata mereka. Bukankah dulu mereka bilang bahwa kami tidak perlu membagi-bagi uang.
“Mengapa menangis terus, Bu?” Suara Ali membuyarkan lamunanku. Menangis?! Kuraba pipiku, tidak ada air mata. Ya Aku mau menangis lagi walaupun sedih dan mangkel setengah mati. Apakah Ali tahu kalau aku sedang teringat bapaknya dan sedang sedih bercampur mangkel.
“Menangis?! Siapa yang menangis, Nak?”
“Mengapa langit menangis terus, Bu?”
“O langit…Emmm… Mungkin karena… Ah ibu tidak tahu, Nak. Tapi kira-kira karena apa ya kok dia menangis terus?”
“Karena dia lapar.”
Kuanggukkan kepala membenarkan jawabannya lalu kedekap dia dan kubawa kekamar mandi. “Sekarang mandi dulu ya. Setelah itu nanti kita buat sarapan.”