<$BlogRSDUrl$>

Thursday, July 15, 2004

Pedang api

Kudengar suara motor keras sekali. Wah pasti sedang ada kampanye. Aku ingin menontonnya. Tadi pagi, teman-temanku di kelas empat bercerita tentang kampanye itu. Hanya aku yang tidak bisa ikut bercerita. Aku hanya mendengarkan dan bertanya. Aku tidak tahu kalau kemarin ada kampanye. Waktu arak-arakan kampanyne lewat di jalan depan desa, aku sedang mengangsu air. Siang ini ada kampanye lagi tapi partai yang lain. Aku ingin menontonnya.
Siang ini aku ingin melihat kampanye dengan mata kepalaku sendiri. Aku segera keluar rumah dan berlari menuju jalan raya. Aku berdiri di tepi jalan. Ternyata sangat ramai sekali. Mereka seperti memakai seragam. Warna kaos mereka sama. Gambarnya juga banyak yang sama.
Mereka berarak-arakan seperti sekumpulan itik. Ya, seperti itik petelur yang digiring pak Karmin ke sungai untuk mencari makan. Mereka berarak memenuhi jalan dan berisik. Wek wek wek wek.
Peserta kampanye ini juga berisik. Mereka naik motor. Suara knalpotnya keras sekali dan memekakkan telinga. Ada yang berbunyi geng ngen, ada yang tron tong, ada yang tokotok.. dan lain sebagainya. Suara itu tumpang tindih tidak karu-karuan. Ditambah lagi suara klakson dan teriakan-teriakan. Ditambah lagi suara musik yang distel keras-keras. Musik dangdut itu berasal dari salon-salon besar yang diangkut di atas truk.
Ada yang berjoget dan menari-nari seperti orang gila. Ada yang wajahnya dicoreng-coreng. Ada yang kepalanya dibungkus kain hingga yang terlihat hanya matanya. Mereka melambaikan bendera partainya atau mengacung-acungkan tangannya ke udara dengan penuh semangat.
Tiba-tiba tanganku ditarik. “Jangan berdiri di sini. Berbahaya. Ayo ke sana saja.”
Aku agak terkejut dengan suara Adi. Adi adalah temanku di kelas empat. Rumahnya tidak jauh dari jalan. Dia mengajakku berdiri di balik pagar, di halaman rumahnya.
“Lho kan lebih enak nonton dari sana? Lebih dekat.”
Dia menggeleng. “Berbahaya.”
Aku tidak tahu mengapa melihat kampanye dari dekat berbahaya. Maka aku bertanya lagi “Kenapa?”
“Kau bisa ditabrak motor atau dipukul dengan pedang.”
“Pedang? Ada yang membawa pedang? Wah seperti pendekar yang berangkat perang ya?!”
“Iya. Makanya kita harus sembunyi di sini. Kalau kau berdiri di tepi jalan, kepalamu bisa dipenggal dengan pedang. Tadi kulihat pedang itu menyala. Mengeluarkan api.”
“Benarkah?”
Dia mengangguk.
Ketika sampai di rumah, ibu menanyaiku, “Dari mana?”
“Lihat kampanye, Bu.”
“Kok tidak pamit?”
Aku tidak bias menjawab. Aku hanya diam. Memang aku tdai tidak pamit.
“Ya sudah. Lain kali pamit, ya.”
Aku mengangguk. Aku segera bercerita pada ibu. Kubercerita tentang kampanye dan pedang yang bisa menyala. Tapi ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin. Masa pedang bisa menyala dan mengeluarkan api”
“Tapi pedang itu benar-benar mengeluarkan api. Crat crat. Begitu. Seperti kembang api. Mungkin itu pedang sakti seperti pedangnya star wars.”
“Kamu melihat sendiri?”
“Emm tidak. Tapi Adi melihat sendiri.”
Ibu menggeleng. “Paling dia melebih-lebihkan ceritanya. Yang bisa menyala dan mengeluarkan api itu korek namannya.”
“Mengapa korek bisa mengeluarkan api?”
Ibu diam saja. Aku bertanya lagi, “Mengapa korek bisa menyala dan mengeluarkan api?”
“Ibu tidak tahu. Tuh tanya pada kakakmu.”
Kuhampiri kakak yang baru saja pulang sekolah. Kakak sudah kelas dua SMU. Sekolahnya jauh. Kalau berangkat sekolah, kakak naik angkot.
“Kak mengapa baru datang?”
“Iya. Jalannya macet karena ada kampanye.”
“Kak, masa ibu tidak percaya kalau ada pedang yang bisa menyala. Kalau pedangnya sakti kan memang bisa menyala. Ya nggak?!”
“Wah maaf ya, Dik. Kakak tidak tahu pedang sakti itu yang seperti apa.”
“Itu yang seperti di film.”
“Iya. Tapi itu di kan hanya di film. Belum tentu benar-benar ada.”
“Tapi… di kampanye tadi ada yang bawa pedang yang bisa menyala, kak. Yang bawa pedang itu kepalanya ditutup. Dia diboncengkan temannya. Temannya suka ngebut. Pedang itu diseret di atas aspal. Craaaaaaattttt. Ujung peang itu mengeluarkan api.”
Kakakku mengangguk lalu mengajakku pergi ke dapur. Dia mengambil palu dan paku. Kakak berjalan ke luar rumah. Aku tidak tahu buat apa paku dan palu besi itu. Kakak berhenti dan berjongkok di dekat apotik hidup. Di situ ada batu yang agak besar.
“Pedang itu pasti keras seperti paku dan palu ini. Jalan aspal juga keras. Bila dua benda itu bertabrakan maka keluarlah percik-percik api seperti ini.” Kakak meletakkan paku di atas batu lalu memukulnya dengan palu. Semakin keras palu diayunkan, maka semakin banyak percikan apinya.
“Oo ternyata begitu. Jadi pedang yang tidak sakti juga bias berapi ya.?!”
Kakak mengangguk.[]


Ky yang baik…

Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali. Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.
Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.
Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.
Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.
Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.
Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.
Orang-orang dengan menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru. “Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepet-cepat menutupnya.
Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.
Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…
Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.
Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …
Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.
Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.
Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.
Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.
Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….
Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sig out dari room chatting. P
Ky yang baik…

Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali. Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.
Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.
Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.
Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.
Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.
Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.
Orang-orang dengan menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru. “Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepet-cepat menutupnya.
Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.
Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…
Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.
Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …
Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.
Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.
Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.
Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.
Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….
Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sig out dari room chatting. Puluhan batang puntung rokok bergelimpangan bercampur abu di dalam asbak yang sudah gompel. Abu rokok berceceran mengotori karpet kumal di lantai. Sebendel kertas teronggok di atas CPU. Sepertinya naskah kumpulan cerpen yang sudah siap cetak.
Mungkin pagi ini kau balas dendam padaku karena sudah berkali-kali mengetuk kamar kosku tapi tidak menemukanku. Aku masih menunggu ruang dan waktu mepertemukan kita.
Dari kamarmu aku bisa menebak seperti apa dandananmu. Rambutmu kusut, wajah lusuh, pakaian kumal… Kalaupun misalnya ternyata kau tidak separah itu, aku yakin cara berpakainmu tetap tidak bisa disebut rapi.
Ternyata dugaanku salah. Kau modis. Hanya saja kau tidak memakai bedak dan lipstik. Kau menganggap bedak seperti bubuk beracun yang akan mepercepat menguapnya kecantikan dari wajahmu. Goresan lipstik di bibir kau samakan sebagai tanah liat membuatmu seperti merasa punya bibir yang tebal dan berat. “Pakai topeng kok di bibir.” Ah ada-ada saja kamu ini.
Baiklah. Kini saatnya aku belajar banyak padamu. Belajar pada teman baru yang asyik. Terimakasih, kau telah mengenalkanku dengan teman-temamu dan mengajakku bergabung di komunitasmu. Sebuah komunitas yang mati-matian menghidupi semua orang yang terlibat di dalamnya. Kau bilang kita berkomunitas untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan saling bantu.
Dengan senang hati kusambut uluran tanganmu. Lalu kau mengajaku melangkah bersama, bergandeng tangan, menyusuri jalan yang semakin kecil, jelek, turun naik, dan akhirnya sampai di daerah pelosok. Sore itu aku benar-benar merasa menemukan dunia baru. Kita bersama penduduk desa mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara lesungan. Malam harinya kulihat kau sangat menimati suara kayu yang berbenturan, beriringan dan tumpang-tindih dengan teriakan spontan dari penonton. Kau begitu menikmatinya…mungkin karena kau tidak bisa menikmati TV lagi.
Di hari yang lain kau mengajakku pergi. Tapi kau tidak menjelaskan mau kemana. “Mari berburu teman baru,” katamu. Ah kau memang suka aneh-aneh.
Entah sudah berapa tempat yang kau kenalkan padaku. Tempat yang baru bagi mata dan kepalaku. Tapi aku masih belum bisa mengenalmu… aku hanya mengenalmu dari potongan puzel yang belum lengkap. Aku hanya tahu kau suka menulis.
Sudah lama kudengar kau sedang menyelesaikan novel pertamamu. Beberapa waktu yang lalu sudah kulihat iklan yang mengabarkan bahwa novelmu itu segera terbit. Maka kuberlari ke toko buku. kucari-cari dan kutanyakan novelmu di hampir semua toko buku. Tidak ada. Bahkan para karyawan toko buku yang kutanyai, mengaku belum pernah mendengar namamu. Aku maklum, kau bukan artis. Tapi aku sebel banget. Semakin sebel lagi setelah tahu ternyata novel yang kau gembor-gemborkan itu sampai sekarangpun belum rampung.
Tapi aku tetap salut dan kagum padamu. Kau selalu berusaha mencari bentuk tulisan yang baru dan mecoba mensosialisasikan ide-ide atau gagasan perubahan sosial melalui karya-karyamu. Aku tahu mengapa novelmu tak kunjung rampung. Kau bukan penulis professional. Maksudku, kau tidak hanya menulis. Ternyata kau juga ikut menggarap pementasan teater, pertunjukan musik, workshop. Dan satu hal yang paling banyak menyedot perhatianmu adalah diriku. Ayo ngaku saja lah.
Ya ternyata kau bukan penulis, kau pekerja budaya. Dan masih muda.
Dulu aku tidak tahu mengapa ada yang memberimu julukan “Sang penulis muda yang lain”. Julukan itu diucapkan dengan nada agak sinis. Sekarang, aku tetap tidak tahu. Hanya saja kalau boleh aku menebak, mungkin ini ada hubungannya dengan yang kubilang tadi; kau tidak hanya menulis, kau kuli kabudayan, bahkan mungkin kau juga akan mendapat julukan “Sang aktivis gerakan sosial”. Tapi menurutku,lebih tepatnya diberi tambahan kata “yang lain”. Mengapa ? Karena kau funky. Hi hi hi. Jadi, sekarang kuanugrahkan padamu sebuah julukan baru ; “Si aktivis gerakan sosial yang lain dan funky”. Cocok kan dengan t-shirt gaul ksesukaanmu. T-shirt pink dengan gambar wanita bersayap seperti bidadari sedang bergaya dan ada tulisan: Dian Sastro for President. “sebuah kampanye,” katamu. Mungkin itu sebabnya pemilu kemarin kau golput.
Kau cerdas dan kreatif dan trampil. Entah apa yang ada di kepalamu. Akan tetapi kadang kau terlihat urakan, norak dan menyebalkan. Lihat catatan aktivitasmu sehari semalam kemarin yang kubuat ini;
Ibu sudah ingin istirahat di tempat tidur, tapi kau masih meminta dibuatkan kopi susu dan mie rebus dengan telur setengah matang. Kau menunggu pesananmu sambil ongkang-ongkang di kursi goyang sambil nonton TV. Kau biarkan kepalamu memar dan biru-biru ditimpuki tv setiap kali kau memencet tombol-tombol remotnya.
Kau begadang. Menghabiskan malam dan rokok.
Kau masih mendengkur saat ibu dan bapak mulai sibuk membersihkan piring dan gelas yang kau biarkan berserakan di meja berserta abu, puntung dan bungkus rokok serta kertas-kertas.
Kau membuka mata ketika hari sudah panas dan kau tidak segera mandi. Kau mulai hari dengan kopi dan ngrumpi, ngrokok sambil jongkok di bangku taman. Kau tidak kerja hingga malam tiba. Untung saja yang seperti itu tidak terjadi setiap hari. Hanya kadang-kadang. Tapi itu sudah cukup menyebalkan bagiku. Ya, maaf lho ya.
Kau juga suka Vodka. Suka nonton film dari yang animasi sampai semi bahkan bokep. Dari Hollywood sampai yang indie.
Ibu pernah mengeluhkan kesopananmu. Kadang kau letakkan kaki di atas kursi saat duduk bahkan kau julurkan di atas meja menghadap muka orang lain. Kalau Ibu menegurmu, kau bilang aku tidak menghormati atau menghinamu dengan telapak kaki.
Nama-nama binatanng, caci-maki, dan sumpah serapah tumpah setiap hari dari mulutmu. “Mari kita memaki sepuas hati, kawan. Memaki dengan penuh kasih sayang.” Ya, makianmu kudengar bukan bagian dari perkelahian. Kalaupun kadang yang kau teriakkan itu benar-benar makian karena emosi, tentu kita akan baikan dan segera menjalin persahabatan yang lebih erat.
Kau juga suka rapat, debat, , sms-an atau miscall-miscall-an dan chating. Tapi kau tidak suka olah raga dan agak manja.
Kau penulis. Menulis apa saja bahkan menulis rayuan gobal lewat sms. Bahkan seringkali menulis catatan hutang makan tiap hari di warung nasi.
Kau seringkali mengajak rapat sampai lelah lalu meninggalkan meja bundar itu dengan serakan sampahmu; puntung, abu dan bungkus rokok, kertas, asbak, gelas, korek, disket, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, spidol, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger, sendok, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, surat, stiker, …
Tapi bagaimanapun aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu. Kau cantik. Dandananmu modis. Kau suka pakai kaos warna ngejreng; kuning dan merah menyala dengan tulisan Zlink dan di belakangnya bertuliskan namamu besar-besar; AKY. Aih norak-norak bergembira dech kamu. Gemeeees aku. Iih.

Yogyakarta, 10 Juli 2007
Faiq Aminuddin

Ky yang Baik 

Ky yang baik…

Entah mengapa sampai sekarang aku masih merasa belum benar-benar mengenalmu padahal sudah lama aku berteman denganmu. Aku sudah tidak ingat lagi kapan jabat tangan kita pertama kali.

Yang pasti di sore hari, di bangku putih, di bawah pohon belimbing di halaman pendopomu. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah mendengar namamu. Ya, kau sudah lama menjadi buah bibir beberapa temanku. Ada yang bilang kedatanganmu di kota ini, akan membuat kota ini berubah bahkan mengubah dunia. Ada yang bilang kau sangat cantik. Rugi kalau tidak pernah bertemu denganmu.

Waktu itu kucoba bertahan untuk tidak tertarik padamu. Namamu memang menarik tapi aku tidak mau tertipu oleh nama yang kadangkala bertolak belakang dengan orangnya.

Walau ada keinginan besar yang meledak-ledak di dada, dengan sekuat tenaga kutahan untuk tidak melangkahkan kaki mencarimu, sosok yang belum aku kenal. Aku hanya tahu namamu dan sedikit tentang aktivitasmu. Kukira memang belum tiba waktu untuk kita bertemu. Maka kusimpan rapat-rapat rasa rindu ini. Rindu ? Ah entahlah. Mungkin terlalu dini bila kusebut kata itu. Apa kata dunia kalau tahu aku rindu seseorang yang belum pernah kulihat. Ya, bagiku, haram hukumnya jatuh cinta sebelum beradu pandang. Dari pertarungan mata itu akan terlihat siapa yang akan jatuh. Dan jangan berharap kau bisa menjatuhkanku. Memangnya aku cowok apaan. Ya nggak?! Pokoknya aku tidak mau jatuh cinta padamu hanya karena kudengar banyak orang telah memuji dan mengagumimu.

Maka kujalani hari-hari sebagai mata-mata. Diam-diam memburumu. Selidik sana selidik sini. Nguping sana nguping sini. Tapi jangan salah. Aku tidak mencari tahu apakah kau masih kuliah atau sudah kerja, orang tuamu usaha apa, musik apa kesukaanmu, siapa idolamu, dan sebagainya. Aku lebih tertarik untuk bertanya mengapa tiba-tiba kau muncul di kota ini, di dunia ini. Apa aktivitasmu, dan apa yang kau cari.
Maka terkutuklah aku karena tiba-tiba ada bara menyala di dada waktu kudengar seseorang mendekatimu. Tapi sebagai mata-mata aku harus diam.

Waktu berlalu dan aku mulai mengenalmu sekeping demi sekeping. Kutemukan catatan-catatan kecil tentang dirimu terselip di beberapa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, brosur dan leaflet-leaflet. Maka kusimpulkan duniamu tidak jauh-jauh dari tulis menulis. Ada yang bilang kau suka menulis karena kau punya pengalaman aneh. Kau bisa melihat yang tidak bisa dilihat oleh mata orang kebanyakan.

Orang-orang sambil tertawa-tawa mengomentari gambar karikatur. Tapi malah terserang sesak nafas. Kau bilang ada darah merembes, menetes dan terus menetes dari luka goresan pensil.

Orang-orang menikmati cerpen di koran minggu, tapi kau malah muntah-muntah begitu melihatnya. Kau bilang ada kepala di koran itu. Kepala dengan memar-memar biru.

“Cerpen itu diketik di atas dahimu,” teriakmu, “pipi, hidung, mata juga!”
Kau tidak pernah bisa membaca novel karena setiap kali kau buka lembar-lembarnya akan terlihat dengan jelas, borgol, palu, tali, rantai, plaster, kawat berduri, dan batu. Benda-benda itu bergerak-gerak siap melompat mengeroyok tubuhmu kalau kau tidak cepat-cepat menutupnya.

Memang tidak semua novel, cerpen, atau puisi, yang kau baca seperti itu. Ada juga yang menyajikan kisah yang menarik. Sebuah kisah yang benar-benar bermanfaat; menghiburmu. Tapi kau tidak suka. Kau bilang langsung terserang kantuk. Setelah itu kau tertidur lelap hingga ibumu marah-marah karena susah dibangungkan. Kau mengaku seperti merasa mengalami mati rasa. Setelah bangun pun matamu susah sekali dibuka. Kau tidak bisa melihat wajah ibumu dengan jelas. Penglihatanmu kabur.

Oh kasihan sekali dirimu. Kau tidak pernah bisa menikmati lukisan. Kau bilang begitu kau coba melihatnya, kanvas itu segara melayang membungkus kepalamu, menyumpal mata, telinga, dan mulut, membelit tangan dan kakimu…

Begitu pula ketika kau mau membaca koran atau majalah.
Lalu… apa yang bisa kau baca, bisa kau lihat, bisa kau tonton kalau tv juga selalu segera melayang menghantam kepalamu saat kau pencet remotenya? Tapi kau masih hidup kan? Ya, kau harus tetap bertahan hidup setidaknya sampai kau menemuiku. Semakin cepat kau bertemu denganku itu akan semakin baik bagimu. Kau tahu apa yang akan membuat semangat hidupmu meningkat tinggi? Itulah aku.

Tapi maaf. Aku tidak akan melangkah mendekatimu. Ingat, aku hanya menunggumu. Walau begitu bukan berarti aku berhenti memburumu. Saat itu aku merasa semakin belum mengenalmu. Penyelidikan belum selesai. Aku masih memburu foto waktu kecilmu. Aku juga penasaran seperti apa tulisanmu. Apakah kau akan berkisah tentang bunga dan rindu, atau hama dan peluru, atau …

Suatu malam, seorang teman yang mengaku sudah bersahabat dengamu, menyodorkan sebuah terbitan padaku. Semacam majalah atau news letter tapi agak beda. Sampulnya full gambar. Tidak ada jajaran huruf besar-besar yang mengabarkan isi di balik sampul berwarna cerah ceria itu. Kutimang-timang majalah tipis itu, kubolak-balik, lalu kubuka. Ternyata aku sedang berhadapan dengan terbitanmu.

Aku mencoba tetap menguasai diri. Aku harus bersikap biasa agar temanku tidak curiga. Kucoba membaca tulisanmu tapi barisan-barisan kata mengabur, melayang membentuk bayanganmu yang sedang duduk manis tidak jauh di belakangku. Aku berusaha untuk tidak menoleh. Aku berharap kau yang akan menyapaku. Tapi saat itu aku kalah. Aku menoleh... Sial! Kau pura-pura tidak tahu dan melukis senyum sinis di bibirmu, senyum Liu Lu Sian pada Kwee Seng di dongeng Kopingho.

Kuhapus bayang itu dan kucoba membaca lagi. Setelah beberapa tulisan kubaca kuletakkan terbitan itu. Maaf, saat itu aku tidak tertarik dengan terbitanmu, terlalu banyak kalimat-kalimat panjang. Sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan. Kau, seorang yang selalu tersiksa oleh karya-karya orang lain tapi kok tulisanmu hanya seperti ini.

Mungkin kesimpulan itu terlalu tergesa karena saat itu tidak satu tulisanpun berhasil aku baca sampai selesai. Maaf.
Waktu terus berjalan dan jarak kita semakin dekat. Aku yakin, kau juga merasakan tapi kau sok cool. Jangan harap kubirakan diriku terseret, tertatih-tatih menghampirimu. Jangan lupa, semuanya sudah kupersiapkan. Aku hanya menunggu waktu. Kau pasti membutuhkanku. Tunggu saja.
Dan waktu itu telah tiba hampir setahun yang lalu.

Pagi itu untuk pertama kalinya kulihat kamarmu. Aih… berantakan sekali. Banyak sekali yang menyambut kedatanganku; kertas, asbak, gelas, korek, disket, abu dan puntung rokok, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, obeng, spidol, cutter, kotak tisu yang telah beralih fungsi, lem, lakban, solasi, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger, sendok, sajadah, tali rafia, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, kartu lebaran, surat, stiker,….

Banyak teman-temanmu yang masih lelap tidur. Seekor cicak yang sedang nikmat menjilati cangkir kopi di dekat komputermu yang masih menyala segera berlari ketika tanganku menggoyang-goyang mouse tanpa mouse pad itu. Aih…beberapa situs porno yang kau kunjungi belum kau tutup. Bahkan kau juga belum sign out dari room chatting. Puluhan batang puntung rokok bergelimpangan bercampur abu di dalam asbak yang sudah gompel. Abu rokok berceceran mengotori karpet kumal di lantai. Sebendel kertas teronggok di atas CPU. Sepertinya naskah kumpulan cerpen yang sudah siap cetak.

Mungkin pagi ini kau balas dendam padaku karena sudah berkali-kali mengetuk kamar kosku tapi tidak menemukanku. Aku masih menunggu ruang dan waktu mepertemukan kita.

Dari kamarmu aku bisa menebak seperti apa dandananmu. Rambutmu kusut, wajah lusuh, pakaian kumal… Kalaupun misalnya ternyata kau tidak separah itu, aku yakin cara berpakainmu tetap tidak bisa disebut rapi.

Ternyata dugaanku salah. Kau modis. Hanya saja kau tidak memakai bedak dan lipstik. Kau menganggap bedak seperti bubuk beracun yang akan mepercepat menguapnya kecantikan dari wajahmu. Goresan lipstik di bibir kau samakan sebagai tanah liat membuatmu seperti merasa punya bibir yang tebal dan berat.

“Pakai topeng kok di bibir.” Ah ada-ada saja kamu ini.

Baiklah. Kini saatnya aku belajar banyak padamu. Belajar pada teman baru yang asyik. Terimakasih, kau telah mengenalkanku dengan teman-temamu dan mengajakku bergabung di komunitasmu. Sebuah komunitas yang mati-matian menghidupi semua orang yang terlibat di dalamnya. Kau bilang kita berkomunitas untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan saling bantu.

Dengan senang hati kusambut uluran tanganmu. Lalu kau mengajaku melangkah bersama, bergandeng tangan, menyusuri jalan yang semakin kecil, jelek, turun naik, dan akhirnya sampai di daerah pelosok. Sore itu aku benar-benar merasa menemukan dunia baru. Kita bersama penduduk desa mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara lesungan. Malam harinya kulihat kau sangat menimati suara kayu yang berbenturan, beriringan dan tumpang-tindih dengan teriakan spontan dari penonton. Kau begitu menikmatinya…mungkin karena kau tidak bisa menikmati TV lagi.
Di hari yang lain kau mengajakku pergi. Tapi kau tidak menjelaskan mau kemana. “Mari berburu teman baru,” katamu. Ah kau memang suka aneh-aneh.

Entah sudah berapa tempat yang kau kenalkan padaku. Tempat yang baru bagi mata dan kepalaku. Tapi aku masih belum bisa mengenalmu… aku hanya mengenalmu dari potongan puzel yang belum lengkap. Aku hanya tahu kau suka menulis.
Sudah lama kudengar kau sedang menyelesaikan novel pertamamu. Beberapa waktu yang lalu sudah kulihat iklan yang mengabarkan bahwa novelmu itu segera terbit. Maka kuberlari ke toko buku. kucari-cari dan kutanyakan novelmu di hampir semua toko buku. Tidak ada. Bahkan para karyawan toko buku yang kutanyai, mengaku belum pernah mendengar namamu. Aku maklum, kau bukan artis. Tapi aku sebel banget. Semakin sebel lagi setelah tahu ternyata novel yang kau gembor-gemborkan itu sampai sekarangpun belum rampung.

Tapi aku tetap salut dan kagum padamu. Kau selalu berusaha mencari bentuk tulisan yang baru dan mecoba mensosialisasikan ide-ide atau gagasan perubahan sosial melalui karya-karyamu. Aku tahu mengapa novelmu tak kunjung rampung. Kau bukan penulis professional. Maksudku, kau tidak hanya menulis. Ternyata kau juga ikut menggarap pementasan teater, pertunjukan musik, workshop. Dan satu hal yang paling banyak menyedot perhatianmu adalah diriku. Ayo ngaku saja lah.

Ya ternyata kau bukan penulis, kau pekerja budaya. Dan masih muda.
Dulu aku tidak tahu mengapa ada yang memberimu julukan “Sang penulis muda yang lain”. Julukan itu diucapkan dengan nada agak sinis. Sekarang, aku tetap tidak tahu. Hanya saja kalau boleh aku menebak, mungkin ini ada hubungannya dengan yang kubilang tadi; kau tidak hanya menulis, kau kuli kabudayan, bahkan mungkin kau juga akan mendapat julukan “Sang aktivis gerakan sosial”. Tapi menurutku, lebih tepatnya diberi tambahan kata “yang lain”. Mengapa ? Karena kau funky. Hi hi hi. Jadi, sekarang kuanugrahkan padamu sebuah julukan baru ; “Si aktivis gerakan sosial yang lain dan funky”. Cocok kan dengan t-shirt gaul ksesukaanmu. T-shirt pink dengan gambar wanita bersayap seperti bidadari sedang bergaya dan ada tulisan: Dian Sastro for President. “sebuah kampanye,” katamu. Mungkin itu sebabnya pemilu kemarin kau golput.

Kau cerdas dan kreatif dan trampil. Entah apa yang ada di kepalamu. Akan tetapi kadang kau terlihat urakan, norak dan menyebalkan.

Lihat catatan aktivitasmu sehari semalam kemarin yang kubuat ini;
Ibu sudah ingin istirahat di tempat tidur, tapi kau masih meminta dibuatkan kopi susu dan mie rebus dengan telur setengah matang. Kau menunggu pesananmu sambil ongkang-ongkang di kursi goyang sambil nonton TV. Kau biarkan kepalamu memar dan biru-biru ditimpuki tv setiap kali kau memencet tombol-tombol remotnya.

Kau begadang. Menghabiskan malam dan rokok.

Kau masih mendengkur saat ibu dan bapak mulai sibuk membersihkan piring dan gelas yang kau biarkan berserakan di meja berserta abu, puntung dan bungkus rokok serta kertas-kertas.

Kau membuka mata ketika hari sudah panas dan kau tidak segera mandi. Kau mulai hari dengan kopi dan ngrumpi, ngrokok sambil jongkok di bangku taman. Kau tidak kerja hingga malam tiba. Untung saja yang seperti itu tidak terjadi setiap hari. Hanya kadang-kadang. Tapi itu sudah cukup menyebalkan bagiku. Ya, maaf lho ya.
Kau juga suka Vodka. Suka nonton film dari yang animasi sampai semi bahkan bokep. Dari Hollywood sampai yang indie.

Ibu pernah mengeluhkan kesopananmu. Kadang kau letakkan kaki di atas kursi saat duduk bahkan kau julurkan di atas meja menghadap muka orang lain. Kalau Ibu menegurmu, kau bilang aku tidak menghormati atau menghinamu dengan telapak kaki.

Nama-nama binatang, caci-maki, dan sumpah serapah tumpah setiap hari dari mulutmu. “Mari kita memaki sepuas hati, kawan. Memaki dengan penuh kasih sayang.” Ya, makianmu kudengar bukan bagian dari perkelahian. Kalaupun kadang yang kau teriakkan itu benar-benar makian karena emosi, tentu kita akan baikan dan segera menjalin persahabatan yang lebih erat.

Kau juga suka rapat, debat, , sms-an atau miscall-miscall-an dan chating. Tapi kau tidak suka olah raga dan agak manja.

Kau penulis. Menulis apa saja bahkan menulis rayuan gobal lewat sms. Bahkan seringkali menulis catatan hutang makan tiap hari di warung nasi.

Kau seringkali mengajak rapat sampai lelah lalu meninggalkan meja bundar itu dengan serakan sampahmu; puntung, abu dan bungkus rokok, kertas, asbak, gelas, korek, disket, bekas batang korek, bungkus rokok yang telah kosong, bekas voucer pulsa HP, spidol, amplop, kabel, disket, palstik, piring, HP, charger, sendok, blok note, pensil, setip, paper clip, tas, poster, majalah, undangan, surat, stiker, …

Tapi bagaimanapun aku sudah terlanjur jatuh cinta padamu. Kau cantik. Dandananmu modis. Kau suka pakai kaos warna ngejreng; kuning dan merah menyala dengan tulisan Zlink dan di belakangnya bertuliskan namamu besar-besar; AKY. Aih norak-norak bergembira dech kamu. Gemeeees aku. Iih.

Yogyakarta, 10 Juli 2007
Faiq Aminuddin

Maaf blog kami yang lebih sering update adalah yang kebonkata.blogspot.com

Labels:


Tuhan, beri aku sepeda!
Cerpen anak oleh Faiq Aminuddin

Hampir setiap sore, aku duduk di teras sekolah, melihat teman-teman bermain sepeda. Mereka mengayuh pedal sepeda sambil bersorak-sorai. Sepeda melaju mengelilingi halaman sekolah. Kadang mereka saling mendahului. Kadang ada yang terjatuh. Tapi mereka tetap gembira. Aku hanya bisa melihat. Kalau aku ikut bermain, aku harus merayu salah satu teman agar dia mau meminjamiku sepeda. Biasanya tidak ada yang mau meminjamkan sepedanya padaku.
Kadang memang ada teman yang baik hati. Sore itu Adi mau meminjamkan sepeda kepadaku. Tapi aku tetap harus menunggu dia lelah. Ketika dia istirahat aku pinjam sepedanya. Kukayuh pedal sepeda kuat-kuat. Sepeda melaju. Kencang dan semakin kencang. Angin terasa meniup tubuhku.
“Ayo kita balapan.”
Mendengar teriakan itu aku segera menyahut “Ayo!”
Teman-teman yang lain juga menyambut usul itu dengan semangat.
“Dari sini sampai ke lapangan bola. Berani ?”
“Ayo. Siapa takut?!”
Kami berjajar di jalan. Siap melaju menuju lapangan sepak bola di pinggir desa.
“Satu… dua…”
Aku sudah siap mengayuh pedal dengan sekuat tenaga. Tapi…
“Tunggu dulu. Aku mau ikut,” teriak Adi sambil meraih sepedanya. Mau tidak mau aku harus menyerahkan sepeda itu. Aku tidak bisa ikut balapan. Aku jengkel sekali. Tapi mau apa lagi. Aku tidak punya sepeda sendiri. Aku hanya bisa berdiri, melihat teman-teman berlomba mengayuh sepeda sekencang mungkin.
“Terima kasih, Adi. Kau sudah sudi meminjamkan sepedamu. Semoga kau menang,” kataku dalam hati. Air mataku membasahi pipi.
Sudah sejak lama aku minta sepeda pada bapak. Bapak menggelengkan kepala. “Bapak tidak punya uang untuk membeli sepeda.”
Aku juga minta pada ibu. Ibu bilang “Sepeda itu harganya mahal. Kita tidak punya uang, Nak. Bahkan biaya sekolahmu bulan lalu saja belum dibayar.”
Tapi aku sangat ingin punya sepeda. Setiap pagi aku mengingatkan bapak sebelum berangkat kerja. “Nanti kalau pulang, jangan lupa beli sepeda ya, Pak.”
Bapak menggeleng-gelengkan kepala lalu menarik nafas panjang.
“Kalau ada rezeki lebih, bapak akan membelikan sepeda untuk anak bapak yang baik ini.” Bapak tersenyum dan mengusap kepalaku.
Setelah melihat teman-teman bermain sepeda, aku menunggu bapak pulang dari kerja. Aku berharap bapak membawa sepeda. Sepeda baru untuk anaknya yang baik. Benarkah aku anak yang baik? Ya, aku harus jadi anak yang baik. Aku harus selalu membantu bapak-ibu. Membantu menyapu dan mengangsu. Membantu membersihkan halaman dan menyiram sayuran di belakang rumah.
Bila di kejauhan bapak sudah terlihat, aku segera berlari menghampirinya. Ternyata bapak tidak membelikanku sepeda. Air mataku mengalir di pipi lagi.
Sore berikutnya aku menunggu bapak di depan pintu. Ketika bapak datang, aku langsung bertanya “Mana sepedaku, Pak ?”
Bapak menggeleng. “Doakan saja besok bapak dapat rezeki lebih.”
Setiap sore aku menunggu di depan pintu tapi bapak selalu pulang tanpa membawa sepeda. Aku juga tidak tahu mengapa bapak berjanji melulu. Katanya mau membelikan sepeda, tapi setiap kali kutanya, bapak selalu bilang “Kau harus sabar dan terus berdoa.”
Aku sudah berdoa. Tapi tuhan tidak mengabulkannya.
“Bu, mengapa tuhan tidak mengabulkan doaku?”
“Kau minta apa pada tuhan?”
“Aku bilang: Wahai tuhan berilah bapak uang yang sangat banyak agar bisa membelikan aku sepeda baru.”
“Mungkin memang belum waktunya. Berdoa tidak cukup sekali.”
Aku berdoa lagi, “Tuhan… sekarang aku minta padaMu; Jatuhkanlah sepeda dari langit.”
Ibu tertertawa, “Coba kalau tuhan mengabulkan doamu. Bisa-bisa sepeda itu jatuh merusak atap rumah kita atau menimpa kepalamu.”
Iya ya. Dan kalaupun tidak mejatuhi kepalaku, sepeda itu pasti rusak karena jatuh dari langit.
“Lalu… Bagaimana caranya agar aku bisa punya sepeda sendiri? Bapak dan ibuku tidak punya uang. Aku juga tidak punya uang. Minta pada tuhan, tidak dikabulkan.”
Kata ibu, selain berdoa kita juga harus berusaha.
“Bagaimana caranya berusaha, Bu?”
“Bapak berusaha mencari uang dengan bekerja di pabrik. Ibu berusaha dengan berjualan.”
“Kalau begitu, besok aku ikut bapak kerja di pabrik ya, Bu.”
“Kamu masih kecil. Belum saatnya bekerja.”
“Tapi… aku kan mau berusaha. Aku mau cari uang sendiri buat beli sepeda.”
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau kamu rajin membantu ibu dan bapak, berarti kamu sudah berusaha.”
“Tapi aku tidak dapat uang…Aku mau kerja agar dapat uang. Aku mau beli sepeda…”
Malam itu aku malas belajar sehingga ditegur bapak. “Mengapa kamu tidak belajar?”
“Malas.”
Bapak menghampiriku lalu mengusap kepalaku. Bapak berjanji, kalau ada rezeki lebih, kau pasti punya sepeda baru. Jangan malas belajar ya. Sepeda tidak bisa didapat dengan malas-malasan belajar. Bapak juga malas bekerja kalau anak bapak malas-malasan.”
Dari pada sakit hati, aku berusaha melupakan masalah sepeda. Aku mencoba menghapus keinginanku untuk punya sepeda. Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Tidak punya sepeda tidak apa-apa. Tidak bisa bermain sepeda tidak apa-apa. Aku bisa bermain mainan yang lain.[]


Pedang api

Kudengar ada suara motor keras sekali. Wah pasti sedang ada kampanye. Aku ingin menontonnya. Sebenarnya kemarin juga ada kampanye tapi aku tidak tahu. Siang itu aku tidur. Tadi pagi, teman-temanku di kelas empat bercerita tentang kampanye itu. Hanya aku yang tidak bisa ikut bercerita. Aku hanya mendengarkan dan bertanya.
Siang ini aku ingin melihat kampanye dengan mata kepalaku sendiri. Aku segera keluar rumah dan berlari menuju jalan raya. Aku berdiri di tepi jalan. Ternyata kampanye sangat ramai sekali. Mereka seperti memakai seragam. Warna kaos mereka sama. Gambarnya juga banyak yang sama. Mereka berarak-arakan seperti sekumpulan itik. Ya, seperti itik petelur yang digiring pak Karmin ke sungai untuk mencari makan. Mereka jalan beriringan dengan rapi tapi berisik. Wek wek wek wek. Peserta kampanye ini juga berisik. Mereka naik motor. Suara knalpotnya keras sekali. Ngeng ngeng ngeng tron tong trong ngeng… ditambah lagi klakson mereka bunyikan terus. Dit dit dit.
Selain itu ada juga yang naik mobil, truk atau bus. Ada juga yang membawa salon besar-besar di tas mobil atau truk. Musik disetel keras-keras. Ada yang berjoget dan menari-nari seperti orang gila. Ada yang wajahnya dicoreng-coreng. Ada yang kepalanya dibungkus kain hingga yang terlihat hanya matanya. Mereka melambaikan bendera paratainya atau mengacung-acungkan tangannya ke udara dengan penuh semangat.
Tiba-tiba tanganku ditarik orang. “Eh ada apa ini,” teriakku.
“Jangan berdiri di sini. Berbahaya. Ayo ke sana saja,” kata temanku. Namanya Adi. Rumahnya di tepi jalan raya. Dia mengajakku berdiri di balik pagar, di halaman rumahnya.
“Lho kan lebih enak nonton dari sana? Lebih dekat.”
Dia menggeleng. “Berbahaya.”
Aku tidak tahu mengapa melihat kampanye dari dekat berbahaya. Maka aku bertanya lagi “Kenapa?”
“Kau bisa ditabrak motor atau dipukul dengan pedang.”
“Pedang? Ada yang membawa pedang? Wah seperti pendekar yang mau berperang ya.”
“Iya. Makanya kita harus sembunyi di sini. Kalau kau berdiri di tepi jalan, kepalamu bisa dipenggal dengan pedang. Tadi aku lihat pedang itu menyala. Mengeluarkan api.”
“Benarkah?”
Dia mengangguk.
Ketika sampai di rumah, ibu menanyaiku, “Dari mana?”
“Lihat kampanye, Bu.”
“Kok tidak pamit?”
Ya, tadi aku lupa tidak pamit pada ibu. Begitu mendenar suara motor keras sekali aku langsung berlari ke jalan.
“Ya sudah. Lain kali pamit, ya.”
Aku mengangguk lalu aku bercerita tentang pedang yang bisa menyala dan mengeluarkan api. Mendengar cerita itu, Ibu menggeleng. “Tidak mungkin. Masa pedang bisa menyala dan mengeluarkan api”
“Tapi pedang itu benar-benar mengeluarkan api kuning menyala. Crat crat. Begitu. Seperti kembang api.”
“Kamu melihat sendiri?”
“Emm tidak. Tapi Adi melihat sendiri.”
Ibu menggeleng. “Paling dia melebih-lebihkan ceritanya. Yang bisa menyala dan mengeluarkan api itu korek namannya.”
“Mengapa korek bisa mengeluarkan api?”
Ibu diam saja. Aku bertanya lagi, “Mengapa korek bisa menyala dan mengeluarkan api?”
“Ibu tidak tahu. Tuh tanya pada kakakmu.”
Kuhampiri kakak yang baru saja pulang sekolah. Kakak kelas dua SMU. Sekolahnya jauh. Kalau berangkat sekolah, kakak naik angkot.
“Kak mengapa baru datang?”
“Iya. Jalannya macet karena ada kampanye.”
Lalu aku bercerita kalau aku tadi melihat kampanye bersama Adi. “Kata Adi ada peserta kampanye yang bawa pedang seperti pendekar. Pedangnya bisa diseret di atas aspal. Pedang itu mengeluarkan api.”
Kakak hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
“Tapi kata ibu, pedang tidak bisa menyala dan mengeluarkan api seperti korek.”
“Pedang memang bisa mengeluarkan api seperti korek api.” Kakak mengambil korek api. “Pedang yang diseret diatas aspal seperti batang korek api digorekan di sini.” Jres. Kakak menggoreskan batang korek di atas landasan coklat tua di kotak korek api. Batang korek itu menyala. “Tapi pedang tidak bisa menyala seperti ini. Makanya ibu bilang, pedang tidak bisa menyala. Pedang yang diseret di atas aspal hanya bisa memercikkan api-api kecil. Ya seperti kembang api.”
“Kalau pedangnya tidak sakti, apakah juga bisa memercikkan api?”
“Semua pedang bisa memercikan api. Tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apa, Kak?”
“Harus pedang sungguhan. Bukan pedang plastik. Pedang itu harus di goreskan dengan cepat di atas benda yang keras seperti aspal, batu atau besi.”
“Jadi kalau pedangnya hanya dicungkan ke atas, tidak bisa menyala ya?”
Kakak mengangguk.
“Pedang bisa memercikkan api karena dia bertabrakan dengan benda keras yang lain. Tabrakan itu menimbulkan panas sehingga ada percik-percik api.”
Aku mengangguk-angguk. Kakak melanjutkan penjelasannya dengan cerita. Kakak bercerita tentangan orang jaman dulu yang belum punya korek api. Kalau ingin memasak, mereka mencari kayu dan batu yang keras. Kayu itu digosok-gosokkan diatas batu. Ujung kayu dan batu itu makin lama makin panas. Kayu terus digosok-gosokkan hingga akhirnya ada api menyala membakar ujung kayu dan rumput kering yang diletakkan di sekitar batu. Setelah itu mereka menyalakan api unggun untuk memasak.
“Sekarang kita tidak perlu bersusah payah seperti itu, karena kita sudah punya korek api.”
“Jadi, kalau korek api ibu hilang, aku bisa membantu menyalakan kompor dengan pedang ya, Kak?!”
Kakak hanya tersenyum.[]

Siapakah Kamu

Sore itu kami duduk di atas trotoar yang masih basah. Siang tadi memang hujan deras sekali. Di dekat trotoar itu ada pohon yang cukup besar. Entah apa namanya. Daun-daun kuning bertebaran di atas trotoar. Mungkin karena tadi siang ada angin dan hujan lebat. Kami bertujuh duduk melingkar di atas trotoar yang masih basah bersama daun-daun kuning yang berserakan di sana-sini. Kami membicarakan banyak hal. Salah satunya tentang kamu, Mini. Ada yang bilang kunci sepadamu rusak karena dibanting oleh kakakmu. Kakakmu memang nakal tapi ada yang bilang kamu juga nakal. Benarkah kamu nakal, Mini ? Kau sering bertengkar dengan Kakakmu?
Oh ya bagaimana kabar kaktusmu? Apakah kau masih menyiramnya setiap minggu ? Apakah ibumu masih benci dengan tanaman berduri itu? Benarkah kau memilih memelihara kaktus hanya karena dia tidak butuh banyak air sehingga kau tidak perlu repot-repot mengangkat ember berisi untuk menyiramnya setiap pagi dan sore hari?
Mungkin kakakmu memang suka iseng. Aku tidak yakin kalau dia merusak kunci sepedamu hanya gara-gara kaktus ? Apakah dia juga benci kaktus atau dia hanya mencari-cari alasan untuk mengusilimu?
Mini…. Ada yang bilang walaupun sering bertengkar tapi sebenarnya kalian saling menyayangi. Kau selalu memberikan lauk daging kepada kakakmu. Kakakmu juga selalu membelikanmu kembang gula berwarna merah setiap kali pulang dari sekolah.
Kata kakakmu, kau suka warna merah. Benarkah itu, Mini? Tapi… Mengapa kau marah-marah dan ngambek ketika rok hitammu dicat merah oleh kakakmu. Ya sepertinya kau memang suka warna hitam. Kau sangat benci warna merah yang telah mendominasi rumahmu. Aku tahu, ibumu suka warna merah. Aku juga tahu, kau jengkel dengan ibumu yang selalu memilih wrana merah setiap kali membeli perabot rumah tangga. Aku tahu dirumahmu tidak ada warna selain merah. Dinding, lantai, jendela, pintu dan langit-langit rumah semua berwarna merah. Ah pasti sangat tidak nyaman tinggal di ruangan yang semuanya berwarna merah. Mungkin terasa panas dan …. Ah mungkin itulah yang menyebabkan keluargamu dan kamu sendiri sering bertengkar dan saling marah hanya gara-gara hal-hal yang sangat sepele.
Mini… kau masih muda kan ? Kalau boleh aku menebak, kau tidak akan lebih dari 20 tahun. Kalaupu lebih paling 21 atau 22. Ada yang bilang kau lahir tahun 80, 1980. Tahun monyet. Tahun 2004 ini juga tahun monyet, monyet merah…. Tapi mengapa kau benci warna merah…
Sepertinya kau suka warna merah. Kau jadi tidak suka warna merah karena ibumu yang sudah keterlaluan dengan warna merah. Mungkin sekali kau sudah bosan dan muak dengan warna merah. Tapi…. Mengapa kau lari ke warna hitam, sampai pakai cadar segala ? Kau balut tubuhmu dengan kain hitam dari ujung kepala sampai jari-jari kaki.
Ah kalau terus-terusan bercadar seperti itu aku tidak bisa mengenalimu. Kalaupun kita berhadapan, aku tidak bisa mengenalimu samapi kau berbicara. Suara dan caramu berbicara tidak akan pernah aku lupakan. Dan tidak akan ada orang lain yang bisa menirukannya.
Dulu aku selalu bisa dengan segera mengenalimu hanya dengan melihat kumismu. Ha ha ha mungkin kau akan bilang aku berlebihan. Ya begitulah kenyataannya. Kau boleh percaya, boleh tidak.
Oh ya kapan kau berangkat ke Medan? Sudah mantapkah kau dengan pilihan kerjamu itu? Kau siap hidup di Medan sementara kakak dan ibumu di sini? Kau benar-benar siap meninggalkan mereka ? Ah ya kau mungkin lebih senang hidup tanah kelahiranmu.
Kau tentu sangat rindu dengan bapak. Ah…. Tapi aku tidak begitu yakin kalau kau merindukan bapakmu. Dulu kau pernah bercerita bahwa kau juga sering bertengkar dengan bapakmu. Bapakmu memakasamu masuk fakultas kedokteran tapi kau ngotot… kau tidak mau menuruti keinginan bapakmu. Kau tidak mau menjadi dokter.
Sekarang kau baru menyesal. Sekarang kau ingin menjadi dokter; menjadi penolong orang sakit. Apalagi mereka yang tidak punya uang untuk berobat ke dokter atau sekedar beli obat murahan. Ah sudahlah…. Aku hanya bisa menduga-duga. Aku tidak tahu seperti apa sebenarnya.
Yang pasti kunci sepedamu -kalau tidak salah- sudah diperbaiki oleh kakakmu sendiri. Dia telah merasa bersalah.
Jadi, masalahnya sudah selesai kan?! Kan kuncinya sudah bisa dipakai seperti semula…. Ya nggak ?! iya dong. Tapi mengapa kau masih ngambek?

Siapakah Kamu

Sore itu kami duduk di atas trotoar yang masih basah. Siang tadi memang hujan deras sekali. Di dekat trotoar itu ada pohon yang cukup besar. Entah apa namanya. Daun-daun kuning bertebaran di atas trotoar. Mungkin karena tadi siang ada angin dan hujan lebat. Kami bertujuh duduk melingkar di atas trotoar yang masih basah bersama daun-daun kuning yang berserakan di sana-sini. Kami membicarakan banyak hal. Salah satunya tentang kamu, Mini. Ada yang bilang kunci sepadamu rusak karena dibanting oleh kakakmu. Kakakmu memang nakal tapi ada yang bilang kamu juga nakal. Benarkah kamu nakal, Mini ? Kau sering bertengkar dengan Kakakmu?
Oh ya bagaimana kabar kaktusmu? Apakah kau masih menyiramnya setiap minggu ? Apakah ibumu masih benci dengan tanaman berduri itu? Benarkah kau memilih memelihara kaktus hanya karena dia tidak butuh banyak air sehingga kau tidak perlu repot-repot mengangkat ember berisi untuk menyiramnya setiap pagi dan sore hari?
Mungkin kakakmu memang suka iseng. Aku tidak yakin kalau dia merusak kunci sepedamu hanya gara-gara kaktus ? Apakah dia juga benci kaktus atau dia hanya mencari-cari alasan untuk mengusilimu?
Mini…. Ada yang bilang walaupun sering bertengkar tapi sebenarnya kalian saling menyayangi. Kau selalu memberikan lauk daging kepada kakakmu. Kakakmu juga selalu membelikanmu kembang gula berwarna merah setiap kali pulang dari sekolah.
Kata kakakmu, kau suka warna merah. Benarkah itu, Mini? Tapi… Mengapa kau marah-marah dan ngambek ketika rok hitammu dicat merah oleh kakakmu. Ya sepertinya kau memang suka warna hitam. Kau sangat benci warna merah yang telah mendominasi rumahmu. Aku tahu, ibumu suka warna merah. Aku juga tahu, kau jengkel dengan ibumu yang selalu memilih wrana merah setiap kali membeli perabot rumah tangga. Aku tahu dirumahmu tidak ada warna selain merah. Dinding, lantai, jendela, pintu dan langit-langit rumah semua berwarna merah. Ah pasti sangat tidak nyaman tinggal di ruangan yang semuanya berwarna merah. Mungkin terasa panas dan …. Ah mungkin itulah yang menyebabkan keluargamu dan kamu sendiri sering bertengkar dan saling marah hanya gara-gara hal-hal yang sangat sepele.
Mini… kau masih muda kan ? Kalau boleh aku menebak, kau tidak akan lebih dari 20 tahun. Kalaupu lebih paling 21 atau 22. Ada yang bilang kau lahir tahun 80, 1980. Tahun monyet. Tahun 2004 ini juga tahun monyet, monyet merah…. Tapi mengapa kau benci warna merah…
Sepertinya kau suka warna merah. Kau jadi tidak suka warna merah karena ibumu yang sudah keterlaluan dengan warna merah. Mungkin sekali kau sudah bosan dan muak dengan warna merah. Tapi…. Mengapa kau lari ke warna hitam, sampai pakai cadar segala ? Kau balut tubuhmu dengan kain hitam dari ujung kepala sampai jari-jari kaki.
Ah kalau terus-terusan bercadar seperti itu aku tidak bisa mengenalimu. Kalaupun kita berhadapan, aku tidak bisa mengenalimu samapi kau berbicara. Suara dan caramu berbicara tidak akan pernah aku lupakan. Dan tidak akan ada orang lain yang bisa menirukannya.
Dulu aku selalu bisa dengan segera mengenalimu hanya dengan melihat kumismu. Ha ha ha mungkin kau akan bilang aku berlebihan. Ya begitulah kenyataannya. Kau boleh percaya, boleh tidak.
Oh ya kapan kau berangkat ke Medan? Sudah mantapkah kau dengan pilihan kerjamu itu? Kau siap hidup di Medan sementara kakak dan ibumu di sini? Kau benar-benar siap meninggalkan mereka ? Ah ya kau mungkin lebih senang hidup tanah kelahiranmu.
Kau tentu sangat rindu dengan bapak. Ah…. Tapi aku tidak begitu yakin kalau kau merindukan bapakmu. Dulu kau pernah bercerita bahwa kau juga sering bertengkar dengan bapakmu. Bapakmu memakasamu masuk fakultas kedokteran tapi kau ngotot… kau tidak mau menuruti keinginan bapakmu. Kau tidak mau menjadi dokter.
Sekarang kau baru menyesal. Sekarang kau ingin menjadi dokter; menjadi penolong orang sakit. Apalagi mereka yang tidak punya uang untuk berobat ke dokter atau sekedar beli obat murahan. Ah sudahlah…. Aku hanya bisa menduga-duga. Aku tidak tahu seperti apa sebenarnya.
Yang pasti kunci sepedamu -kalau tidak salah- sudah diperbaiki oleh kakakmu sendiri. Dia telah merasa bersalah.
Jadi, masalahnya sudah selesai kan?! Kan kuncinya sudah bisa dipakai seperti semula…. Ya nggak ?! iya dong. Tapi mengapa kau masih ngambek?

Sunday, July 04, 2004

Yth. Sampeyan
Di taman melati


Salam
Sebenarnya sudah berkali-kali kumencoba menulis surat ini tapi selalu saja tidak rampung. Dulu sudah pernah kumulai merangkai kata lalu menuliskannya. Tiba-tiba aku terhenti ketika di atas HVS putih itu baru ada tiga setengah baris kalimat. Sebuah keraguan menyarangku. Aku merasa tidak sepatutnya menulis surat untuk sampeyan. Mungkin memang lebih baik aku bicara langsung padamu. Entah mengapa aku merasa tidak sopan kalau berbicara kepadamu lewat kertas. Maka tidak kulanjutkan surat itu dan aku mulai mencoba menyingkirkan kesungkanan dan mengumpulkan keberanian untuk berbicara di depan sampeyan.
Sudah seminggu tapi aku belum juga mengungkapkan uneg-unegku kepadamu. Maka kucoba kembali mengambil bolpen. Membuka tutupnya lalu mulai menggerakkan ujungnya di atas hvs. Kutulis lagi kalimat-kalimat yang dulu pernah kutulis. Aku mencoba terus menulis walau keraguan telah mengahadangku. Empat baris, lima baris, dan… bolpenku terhenti. Aku bingung mencari kata-kata. Aku tidak tahu harus menulis apa lagi. Bayangan sampeyan hadir di depanku. Kulihat kau sedang membaca surat yang sedang kutulis. Kuperhatikan raut wajah sampeyan yang ayu itu. Kutunggu perubahan mimikmu setelah membaca suratku. Ah kau mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Maka kusambar hvs di depanku, kuremas-remas, kulempar ke dinding kamar. Bola kecil itu melayang cepat dan menabrak hidung sampeyan. Di dalam bingkai hitam itu kau berdiri dengan kedua tangan berkacak pinggang. Ya memang tidak cocok dengan toga dan jubah hitam yang sampeyan pakai. Tapi itulah foto yang paling aku suka. Sampeyan terlihat gagah, tidak manja. Sampeyan tertawa kecil. Ah sampeyan sudah bukan mahasiswi lagi. Dan aku ….
Kata demi kata bersliweran di kepalaku, bertabrakan,bergandengan membentuk ungkapan-ungkapan ketidaksetujuanku pada sampeyan. Ya, ada beberapa hal yang kusayangkan. Mengapa sampeyan tidak seperti dulu lagi. Dari cara sampeyan berpakaian saja aku tiba-tiba merasa ada pagar yang mengelilingi tubuh sampeyan. Ada jarak yang sepertinya sengaja sampeyan buat dengan cara sampeyan bicara. Mengapa tiba-triba semuanya terasa menjadi formal, kaku dan…… menyebalkan. Maaf.
Kata demi kata bersliweran di kepalaku, bertabrakan,bergandengan membentuk kalimat-kalimat yang harus kusampaikan kepda sampeyan. Hanya saja aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat dan paling aman untuk menyampaikannya. Seandainya saja kau bisa mengetahui apa yang sedang bergejolak di dalam dadaku, tentu aku tidak perlu repot-repot menulis surat ini. Aku tidak yakin apakah surat ini akan bisa keuselesaikan ataukah akan berakhir menjadi bola kertas dan terhempas di lantai.
Seharusnya aku berbicara langsung di hadapan sampeyan. Itu akan lebih asyik dan kita bisa saling menatap dan beradu pendapat. Tapi aku tidak bisa. Pernah terpikir di kepalaku untuk minta tolong orang lain. Tapi pantaskah menyampaikan kegelisan pribadi lewat orang lain. Walau aku agak ragu aku sudah mencoba minta tolong temanku. Dia malah tertawa. Dia bilang, tak ada gunanya ngomong ke sampeyan. Benarkah sampeyan tidak akan mendengar pendapat kami. Benarkah cara pandang kita sudah benar-benar berbeda. Tidak adakah kemungkinan untuk kita kompromikan.
Ya. Kompromi. Awalnya, saat pertama kali sampeyan menegur dan menyalahkanku karena pakaian yang kupakai, waktu itu aku mencoba menganggap sampeyan sedang lupa. Ya lupa karena baru larut dalam dunia baru. Dunia para birokrat. Sebagai dosen baru, aku bisa memaklumi kalau sampeyan tiba-tiba bersikap aneh.
Begitu juga ketika sampeyan menegurku lagi untuk yang kedua kali. Aku tidak menyalakan sampeyan. Aku masih yakin bahwa sampeyan sebenarnya sepakat denganku. Sampeyan menegurku hanya untuk mematuhi perintah atasan sampeyan. Ya sudah biasa kita dengar bahwa staff baru akan selalu menurut. Aku yakin sampeyan juga merasa tersiksa dengan aturan-aturan konyol itu. Aku memahami kalau kau tidak bisa menolak karena semua orang di komunitas sampeyan tidak ada yang membangkang bahkan hanya mempertanyakannya. Semua menurut dan patuh.
Aku mulai gelisah ketika sampeyan menegurku untuk ketiga kali. Sampeyan telah latah dan mulai benar-benar merasa terganggu ketika melihat orang lain tidak mematuhi aturan yan telah menjajah sampeyan. Ah, walaupun misalnya sampeyan tidak merasa terjajah dengan aturan gila itu, sampeyan tentu tahu bahwa aku dan kawan-kawanku, mungkin juga orang lain merasa dirampas kebebasanya oleh aturan wagu itu. Sekarang aku tidak mengerti seperti apa cara sampeyan berpikir. Maka kutilis surat ini.
Kutulis surat ini karean sampeyan telah menegurku lebih dari tiga kali. Aku tidak bisa bertahan dalam diam. Sepertinya aku memang harus ngomong kepada sampeyan. Mungkin kita perlu diskusi. Ya seharusnya aku tidak menulis surat, melainkan ngomong langsung di hadapanmu. Saling mendengar, menanggapi, dan mengoreksi. Saling menatap dan beradu pendapat. Maaf, sekali lagi maaf. Aku sudah mencobanya dan teryata aku tidak mampu. Ah lebih tepatnya, tidak berani. Maaf
Lewat surat ini aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sama sekali tidak bermaksud menghina sampeyan. Sebagai mahasiswa, tentu saja aku menghormati sampeyan. Sampeyan dosen dan aku mahasiswa dan juga temanmu. Bagiku, dosen tidak jauh berbeda dengan guru atau ustadz. Dia adalah orang yang bersedia membantuku dalam menuntut ilmu, menambah dan mengembangkan pengetahuan. Ya, aku tetap menghargai sampeyan walau pakaianku, sampeyan bilang, tidak rapi. Dengan sandal jepit dan kaos tak berkerah aku tetap menghargaimu. Aku tidak bermaksud menghina atau melecehkan sampeyan dan dosen-dosen yang lain walau tidak memakai sepatu dan tidak memakai baju berkerah.
Tapi… kuakui aku memang melanggar aturan kampus. Tapi… kurasa aturan yang tidak tepat wajar saja bila ada yang melanggarnya. Menurutku tidak seharusnya kampus melarang mahasiwa memakai sandal jepit dan kaos. Aku sepakat bila sampeyan bilang: Sebaiknya orang berpakaian rapi. Tapi menurutku rapi tidak berarti kemeja dan sepatu. Dulu sampeyan tidak pernah ribut atau sekedar mempertanyakan caraku berpakaian. Padahal waktu itu aku sering bertamu ke rumamu setidaknya seminggu sekali. Padahal aku hampir selalu memakai kaos dan sandal japit. Persis bila aku ke kampus. Dan tentu kau masih ingat ketika suatu kali aku datang dengan dandanan yang berbeda; kemeja lengan panjang, dimasukkan ke celana, pakai ikat pinggang, dan bersepatu. Sampeyan malah menertawakanku dan waktu aku pamit sampeyan membisiki telingaku sambil mencubit lenganku; kalau ke sini jangan berpakaian seperti ini lagi. Dulu sampeyan juga tidak merisaukan kaos dan sandal japitku walau kupakai ke kampus. Mengapa sekarang berkali-kali menegurku di kampus. Dan waktu kita bertemu di rumah, sampeyan selalu mengungkit-ngungkit masalah itu. Aku tidak mau ribut, maka aku lebih memilih diam. Sejak saat itu. Kencan kita tak indah lagi.
Mungkin sampeyan akan bilang bahwa kita harus menyesuaikan dengan lingkungan kita. Kita harus berpakaian sesuai dengan tempat dan suasana saat itu. Kalau main ke rumah boleh saja berpakaian santai, tapi kalau berangkat ke kampus harus rapi dan formal.
Ya kita harus menyesuaikan pakaian kita dengan kondisi dan aktivitas yang akan kita lakukan. Aku lebih memilih sandal jepit dari pada sepatu bukan berarti aku membenci sepatu. Aku kadang memakai sepatu juga. Mengapa aku tidak memakai sepatu ke kampus? Karena menurutku untuk berangkat ke kampus tidak perlu berlari-lari. Aktivitas di kampus tidak banyak membutuhkan mobilitas. Aktivitas di kampus lebih banyak duduk dan diam. Oleh karena itu aku lebih suka pakai sandal jepit. Sandal jepit tidak seberat sepatu, lebih santai dan kalau mau pergi ke kamar mandi tidak repot. Sandal jepit telah teruji tahan air, serba guna.
Aku tidak tahu mengapa anak-anak sekolah diwajibkan memakai sepatu. Dulu waktu aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah. Aku dan teman-teman kelas enam diwajibkan memakai sepatu tapi kaki kami tidak tahan. Kalau pakai sepatu, kaki kami terasa panas, gerah. Sering kali kami melepas dan meninggalkannya teronggok di bawah bangku. Waktu istirahat, kami bermain dan pergi ke warung untuk jajan, kaki telanjang. Kalau pulang kami tenteng seperti menenteng kepiting.
Aku masih ingat ceramah kepala sekolah waktu upacara bendera hari senin. Beliau bilang agar lebih sehat kita harus memakai alas kaki. Di dalam tanah ada banyak kuman yang berbahaya. Oleh karena itu bila berangkat sekolah sebaiknya memakai sepatu. Tapi masalahnya saat itu sepatu terlalu mahal bagi kami, anak-anak desa. Bahkan tidak semua murid punya sandal japit sekalipun dan pak guru bilang, dari pada pakai sandal jepit lebih baik telanjang kaki. Jadi, kurasa saat itu pak kepala sekolah mengajurkan kami bersepatu bukan karena alasan kesehatan. Paling-paling hanya karena telah ditegur pengawas sekolah dari kecamatan.
Sekarang ingin bertanya, sebenarnya apa sih fungsi sepatu?
Sekali lagi aku tetap menghormatimu walau aku berkaos dan bersandal jepit.
Salam.
Yogyakarta, 26 Juli 2004
Salam hangat dari temanmu
Faiq

This page is powered by Blogger. Isn't yours?